Suara.com - Di tengah gegap gempita perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia, sebuah kabar ironis datang dari Lapas Sukamiskin, Bandung.
Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI dan terpidana kasus korupsi mega proyek e-KTP, resmi menghirup udara bebas.
Ia mendapatkan status pembebasan bersyarat pada Sabtu, 16 Agustus 2025, setelah menjalani sekitar tujuh tahun dari vonis yang seharusnya berakhir pada 2029.
Pembebasan ini bukan sekadar kabar hukum biasa.
Ia menjadi simbol pahit bagi perjuangan pemberantasan korupsi dan melukai rasa keadilan publik.
Ketika rakyat merayakan kemerdekaan dari penjajahan, sistem hukum justru seolah memberikan kemerdekaan kepada seorang koruptor yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun—uang yang berasal dari pajak masyarakat.
Kepala Kanwil Ditjen PAS Jawa Barat, Kusnali, mengonfirmasi pembebasan tersebut.
"Setnov bebas bersyarat setelah putusan PK memangkas hukumannya dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan. Hitungan dua pertiga masa pidana sudah terpenuhi,” ujarnya dikutip Senin (18/8/2025).
Namun, matematika hukum di balik kebebasan Setya Novanto jauh lebih kompleks dan problematis.
Baca Juga: 5 Fakta Kunci di Balik Parole 'Papa' Setya Novanto, Kini Bebas dari Lapas Sukamiskin
Divonis pada April 2018, ia baru menjalani sekitar 7 tahun 4 bulan.
Sementara putusan Peninjauan Kembali (PK) pada Juli 2025 menjatuhkan vonis 12,5 tahun atau 150 bulan.
Syarat utama pembebasan bersyarat adalah telah menjalani dua pertiga masa pidana.
Dalam kasus Setnov ini, dua pertiga dari 12,5 tahun adalah 100 bulan atau sekitar 8 tahun 4 bulan.
Lantas, bagaimana ia bisa bebas lebih cepat?
Jawabannya terletak pada akumulasi remisi atau potongan masa tahanan yang ia dapatkan selama di penjara, yang memangkas waktu tunggunya menuju gerbang kebebasan bersyarat.
Aturan Baru yang Mempermudah Jalan Koruptor?
Lebih dari sekadar hitungan matematis, pembebasan Setya Novanto menyoroti perubahan fundamental dalam regulasi yang kini lebih lunak terhadap narapidana korupsi.
Sebelumnya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 menjadi tembok penghalang bagi koruptor untuk mudah mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.
Aturan tersebut mensyaratkan narapidana kasus luar biasa seperti korupsi untuk menjadi justice collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatan yang lebih besar.
Namun, syarat ketat ini secara efektif dihapuskan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.
UU baru ini menyamaratakan hak semua narapidana, termasuk koruptor, untuk mendapatkan hak-hak seperti remisi dan pembebasan bersyarat tanpa perlu menjadi JC.
Kebijakan ini dinilai sebagai langkah mundur yang serius, karena menghilangkan insentif bagi koruptor untuk membongkar jaringan mereka dan melemahkan efek jera.
Pembebasan Setya Novanto adalah buah dari perubahan kebijakan ini.
Ia menjadi salah satu contoh paling gamblang bagaimana sistem hukum memberikan "karpet merah" bagi pelaku kejahatan kerah putih untuk kembali ke masyarakat lebih cepat, tanpa syarat yang sepadan dengan kerusakan masif yang telah mereka timbulkan.
Paradoks 'Berkelakuan Baik' dan Luka Keadilan
Syarat lain untuk pembebasan bersyarat adalah berkelakuan baik selama menjalani masa pidana.
Namun, konsep "berkelakuan baik" bagi seorang Setya Novanto terasa absurd.
Apakah tidak membuat onar di dalam penjara cukup untuk menebus dosa korupsi triliunan rupiah yang memiskinkan negara dan mengkhianati amanat publik?
Korupsi e-KTP bukan hanya soal angka kerugian negara.
Proyek ini gagal dan berantakan, menyebabkan jutaan rakyat Indonesia kesulitan mengakses layanan publik karena terhambat identitas kependudukan.
Dampaknya sistemik dan jangka panjang.
Memberikan pembebasan bersyarat dengan dalih 'berkelakuan baik' seolah mereduksi kejahatan luar biasa ini menjadi sekadar pelanggaran biasa.
Pembebasan Setya Novanto di momen hari kemerdekaan adalah preseden yang sangat berbahaya.
Ini mengirimkan sinyal yang salah kepada publik dan calon koruptor: bahwa hukuman untuk korupsi besar sekalipun bisa dinegosiasikan dan dipersingkat.
Keadilan terasa tumpul ke atas, sementara perjuangan untuk Indonesia yang "merdeka" dari korupsi terasa semakin jauh dari harapan.
Berita Terkait
Terpopuler
- Selamat Datang Mees Hilgers Akhirnya Kembali Jelang Timnas Indonesia vs Arab Saudi
- Seret Nama Mantan Bupati Sleman, Dana Hibah Pariwisata Dikorupsi, Negara Rugi Rp10,9 Miliar
- Kompetisi Menulis dari AXIS Belum Usai, Gemakan #SuaraParaJuara dan Dapatkan Hadiah
- Ini 5 Shio Paling Beruntung di Bulan Oktober 2025, Kamu Termasuk?
- Rumah Tangga Deddy Corbuzier dan Sabrina Diisukan Retak, Dulu Pacaran Diam-Diam Tanpa Restu Orangtua
Pilihan
-
Proyek Ponpes Al Khoziny dari Tahun 2015-2024 Terekam, Tiang Penyangga Terlalu Kecil?
-
Evakuasi Ponpes Al-Khoziny: Nihil Tanda Kehidupan, Alat Berat Dikerahkan Diirigi Tangis
-
Statistik Brutal Dean James: Bek Timnas Indonesia Jadi Pahlawan Go Ahead Eagles di Liga Europa
-
Harga Emas Antam Stagnan, Hari Ini Dibanderol Rp 2.235.000 per Gram
-
Poin-poin Utama UU BUMN: Resmi Disahkan DPR RI, Selamat Tinggal Kementerian BUMN
Terkini
-
Proyek Ponpes Al Khoziny dari Tahun 2015-2024 Terekam, Tiang Penyangga Terlalu Kecil?
-
Cek Daftar Lengkap Kereta Jarak Jauh yang Berhenti di Stasiun Jatinegara Selama HUT ke-80 TNI
-
Santai, Menkum Tak Masalah SK PPP Kubu Mardiono Digugat Kubu Supratmanto, Mengapa?
-
Jenderal Bintang 2 Pengawal Pasukan Perdamaian, Ini Sosok Mayjen TNI Taufik Budi Santoso
-
Soal Tangkap dan Adili Jokowi, Rocky Gerung: Harus Ada Proses, Dimulai di DPR atau Meja Pengadilan
-
Khawatir Kekuatan Disalahgunakan? Pesan Prabowo ke TNI: Jangan Khianati Bangsa dan Rakyat!
-
Dana Hibah Jatim Jadi Bancakan Berjemaah, Proyek Rakyat Cuma Kebagian Ampas
-
Dari Puncak JI ke Pangkuan Ibu Pertiwi: Kisah Abu Rusydan dan Komitmen Deradikalisasi Negara
-
Drama Eks Ketua DPRD Jatim Kusnadi: Pernah Dilaporkan Hilang, Pulang Jadi Tersangka Korupsi Rp32,2 M
-
Rekening Istri dan Staf Pribadi Jadi Penampung Aliran Dana Rp32,2 M Eks Ketua DPRD Jatim Kusnadi