News / Nasional
Senin, 29 September 2025 | 20:35 WIB
Ilustrasi menu program makan bergizi gratis alias MBG. (ist)

Suara.com - Seorang netizen yang mengaku sebagai ahli gizi di program Makan Bergizi Gratis (MBG) membagikan curahan hatinya di media sosial soal berbagai tantangan yang dihadapi di lapangan.

Dalam unggahannya, dia menggambarkan betapa kompleks dan beratnya tanggung jawab seorang ahli gizi dalam program tersebut.

Pertama, dia menyebutkan bahwa dirinya harus ikut dalam proses penerimaan bahan pangan bersama akuntan yang menunjukkan betapa luas cakupan tugas yang harus dijalankan di luar tanggung jawab gizi semata.

Tak hanya itu, dia juga harus membuat purchase order (PO) bahan pangan bersama akuntan.

Namun, beban kerja tersebut belum seberapa dibandingkan dengan tantangan utama yakni menyusun siklus menu sehat.


Ahli gizi itu mengaku telah membuat siklus menu 10 hari untuk program MBG namun ujung-ujungnya justru kerap diganti sesuka hati oleh atasan.

"Bikin siklus menu 10 hari walaupun ujung-ujungnya suka gak kepake karena diganti-ganti sama atasan," tulis netizen tersebut dari unggahan di akun @bushcoo pada Senin, 29 September 2025.

Padahal, menu tersebut disusun berdasarkan standar gizi dan kebutuhan anak-anak penerima program.

Selain menyusun menu, ahli gizi ini juga turun langsung ke dapur untuk mengawasi proses produksi makanan dalam skala besar.

Baca Juga: Ingin Benahi Masalah Keracunan MBG, Prabowo Minta Ompreng Dicuci Ultraviolet hingga Lakukan Ini

Dia bahkan mengaku harus ikut memantau dan membantu tim pemorsian dari pukul 02.00 dini hari sampai pukul 09.00 pagi. Bahkan ketika tidak berada di dapur, dia tetap harus memantau CCTV.

Permasalahan distribusi juga tak luput menjadi sorotan.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Sekolah Dasar Negeri

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Jatiasih 4, Kota Bekasi, Senin (6/1/2025). [Suara.com/Mae Harsa]

Menjawab melalui kolom komentar unggahan tersebut, ahli gizi itu menjelaskan bahwa memasak untuk 3.500 porsi membutuhkan ratusan kilogram bahan makanan, sehingga tidak mungkin memulai proses masak dari jam 2 pagi.

Dia menambahkan bahwa program perlu evaluasi besar-besaran karena satu dapur melayani terlalu banyak penerima manfaat.

Proses distribusi menjadi tidak maksimal, makanan sampai dalam kondisi dingin karena sudah lebih dari dua jam sejak dimasak.

Bahkan kondisi tersebut menjadi penyebab salah satu terjadinya keracunan yang kerap menyasar siswa-siswa penerima MBG.

“Akhirnya bakteri mudah masuk, terlebih tidak ada pemanas di mobil pengantaran, sehingga memungkinkan banyaknya terjadi keracunan,” tulisnya.

Merasa beban pekerjaan yang terlalu berat, ahli gizi tersebut akhirnya memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya itu.

Kontributor : Rizka Utami

Load More