- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan uji materi yang meminta syarat pendidikan minimal sarjana (S-1) untuk capres, cawapres, caleg, dan kepala daerah
- Alasan utama MK adalah penetapan syarat pendidikan merupakan "kebijakan hukum terbuka"
- MK menilai menaikkan syarat pendidikan menjadi S-1 justru akan membatasi dan mempersempit hak konstitusional warga negara
Suara.com - Debat soal kualifikasi pendidikan pemimpin nasional berakhir sudah. Mahkamah Konstitusi (MK) secara final dan mengikat menolak permohonan uji materi yang meminta agar syarat minimal pendidikan untuk menjadi calon presiden (capres), calon wakil presiden (cawapres), calon anggota legislatif (caleg), hingga calon kepala daerah (cakada) diubah menjadi sarjana (S-1).
Putusan ini secara efektif menegaskan bahwa lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat tetap memiliki hak konstitusional yang sama untuk maju dalam kontestasi politik tertinggi di Indonesia.
“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo dengan tegas saat membacakan amar Putusan Nomor 154/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Senin (29/9/2025).
Gugatan ini dilayangkan oleh seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nasional, Hanter Oriko Siregar. Ia mempersoalkan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilu dan Pilkada yang mengatur syarat pendidikan, yakni Pasal 169 huruf r, Pasal 182 huruf e, dan Pasal 240 ayat (1) huruf e UU Pemilu serta Pasal 7 ayat (2) huruf c UU Pilkada.
Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa isu ini bukanlah barang baru bagi Mahkamah. Gugatan serupa terkait syarat pendidikan capres-cawapres pernah diajukan oleh pemohon yang sama dan telah diputus dalam Putusan Nomor 87/PUU-XXIII/2025.
Mahkamah, kata Ridwan, tetap pada pendiriannya bahwa penentuan syarat pendidikan bagi para calon pejabat publik merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Artinya, kewenangan untuk mengubah atau menetapkan syarat tersebut sepenuhnya berada di tangan pembentuk undang-undang, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah, bukan di ranah yudikatif.
MK menegaskan belum menemukan alasan mendasar untuk mengubah sikap tersebut. Oleh karena itu, pertimbangan hukum dalam putusan sebelumnya secara otomatis berlaku untuk perkara ini.
“Dengan demikian, berkenaan dengan syarat pendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas atau yang sederajat bagi calon presiden dan calon wakil presiden masih berlaku norma yang sama,” ucap Ridwan sebagaimana dilansir Antara.
Logika yang sama juga diterapkan MK untuk menolak gugatan terkait syarat pendidikan bagi caleg (DPR, DPD, DPRD) dan calon kepala daerah. Meskipun subjeknya berbeda, norma yang diatur adalah sama, yakni mengenai syarat pencalonan.
Baca Juga: Tok! Palu MK Berbunyi: Iuran Paksa Tapera Resmi Dibatalkan, Pemerintah-DPR Wajib Rombak Total UU
Lebih jauh, MK berpandangan bahwa permintaan pemohon justru berpotensi mencederai hak demokrasi warga negara. Menurut Mahkamah, mengubah syarat menjadi minimal lulusan sarjana akan mempersempit peluang dan membatasi hak warga negara yang kompeten namun tidak memiliki ijazah S-1 untuk mencalonkan diri atau dicalonkan.
Aturan yang berlaku saat ini, menurut MK, tidak menghalangi siapa pun yang berpendidikan lebih tinggi untuk maju. Namun, jika syarat minimal dinaikkan, hal itu justru akan menutup pintu bagi sebagian warga negara lainnya.
Berita Terkait
-
MK Cabut Kewajiban Tapera: Pekerja Tak Perlu Bayar Lagi
-
Tok! Palu MK Berbunyi: Iuran Paksa Tapera Resmi Dibatalkan, Pemerintah-DPR Wajib Rombak Total UU
-
'Pasal Jantung' Bermasalah Jadi Alasan UU Tapera Inkonstitusional, Begini Penjelasannya
-
Tok! MK Tegaskan Seluruh Pekerja Tak Wajib Bayar Tapera
-
'Tugasmu Menjamin, Bukan Memungut!': Tamparan Keras MK untuk Logika Tapera Pemerintah
Terpopuler
- 5 HP RAM 8 GB Memori 256 GB Harga Rp1 Jutaan, Terbaik untuk Pelajar dan Pekerja
- 7 Sepatu Adidas Diskon hingga 60% di Sneakers Dept, Cocok Buat Tahun Baru
- 5 Mobil Bekas yang Anti-Rugi: Pemakaian Jangka Panjang Tetap Aman Sentosa
- Diminta Selawat di Depan Jamaah Majelis Rasulullah, Ruben Onsu: Kaki Saya Gemetar
- Kencang bak Ninja, Harga Rasa Vario: Segini Harga dan Konsumsi BBM Yamaha MT-25 Bekas
Pilihan
-
Kaleidoskop Sumsel 2025: Menjemput Investasi Asing, Melawan Kepungan Asap dan Banjir
-
Mengungkap Gaji John Herdman dari PSSI, Setara Harga Rumah Pinggiran Tangsel?
-
Aksi Adik Kandung Prabowo yang Makin Mencengkeram Bisnis Telekomunikasi
-
Sesaat Lagi! Ini Link Live Streaming Final Futsal ASEAN 2025 Indonesia vs Thailand
-
Cerita 1.000 UMKM Banyuasin: Dapat Modal, Kini Usaha Naik Kelas Berkat Bank Sumsel Babel
Terkini
-
Fraksi Partai Nasdem Dukung Pilkada Lewat DPRD: Sesuai Konstitusi dan Pancasila
-
DPR Desak KPK Jelaskan Penghentian Penyelidikan Kasus Aswad Sulaiman Secara Transparan
-
Hadapi Tantangan Geografis, Pendidikan dan Kesejahteraan Anak di Maluku Utara Jadi Fokus
-
AMAN Catat Konflik 202 Ribu Hektare Wilayah Adat Bengkulu Sepanjang 2025
-
Harapan Publik Tinggi, KPK Tegaskan Penghentian Kasus Aswad Sulaiman Berbasis Alat Bukti
-
Rentetan Kecelakaan Kerja di Galangan PT ASL Shipyard Kembali Terjadi, Polisi Turun Tangan
-
Viral Sekelompok Orang Diduga Berzikir di Candi Prambanan, Pengelola Buka Suara
-
Bahlil Lahadalia Jamu Cak Imin dan Zulhas Hingga Dasco di Kediamannya, Bahas Apa?
-
Tak Bisa Beli Roti Gegara Cuma Punya Uang Tunai: Kenapa Toko Lebih Suka Cashless?
-
Mendagri: Pemerintah Siapkan Bantuan Renovasi dan Hunian bagi Warga Terdampak Bencana Sumatra