News / Nasional
Selasa, 30 September 2025 | 10:00 WIB
Buku berjudul “Di Bawah Lentera Merah” tulisan aktivis Soe Hok Gie. (tangkap layar/Ist)
Baca 10 detik
  • Kondisi sosial-ekonomi masyarakat di era kolonial, seperti yang digambarkan Gie dalam bukunya, menjadi lahan subur bagi tumbuhnya ideologi kiri.
  • PKI pernah menjadi salah satu kekuatan politik terbesar di Indonesia, dengan jutaan pendukung dari kaum buruh dan tani.
  • Hendi Jo menjelaskan bahwa kelompok-kelompok kiri, sebagai respons, sering kali membuat media tandingan atau bahkan media bawah tanah.

Pertemuan itu menunjukkan bahwa komunisme awal di Indonesia bukanlah sekadar ideologi impor, melainkan hasil akulturasi dengan budaya perlawanan yang sudah ada di Indonesia.

Adapun, Iklim politik yang dinamis memberikan ruang bagi berbagai pemikiran untuk tumbuh, namun di saat yang sama, ketegangan ideologis muncul hingga memuncak pada tragedi di tahun 1965.

Soe Hok Gie. [Wikipedia]

Era itulah yang kemudian melahirkan sebuah pemerintahan baru, Orde Baru, yang membangun legitimasinya di atas narasi anti-komunisme.

Pemerintahan tersebut menciptakan sebuah iklim politik yang penuh curiga terhadap segala hal yang berbau “kiri”.

“Jadi itu sifatnya sangat politis, karena pada saat itu situasi politik sangat tidak bersahabat dengan pemikiran-pemikiran yang dianggap sebagai musuh ideologi negara, yaitu komunisme. Komunisme dianggap sebagai sebuah ideologi yang tidak boleh dibahas,” ungkap Hendi Jo.

Orde Baru, yang lahir dari tragedi G30S, sangat bergantung pada narasi anti-komunis untuk mempertahankan kekuasaannya.

Membiarkan sejarah PKI dibahas dari sudut pandang lain yang lebih objektif dianggap bagaikan membuka kotak pandora yang mengancam stabilitas pemerintahan.

Adanya kontrol narasi tidak hanya dilakukan melalui pelarangan buku, tetapi juga dengan membungkam pers.

Menurut Hendi Jo, kehidupan media pada saat itu berada dalam situasi “setengah terintimidasi”. Media yang berani menyuarakan kepentingan yang tidak sejalan dengan pemerintah akan direpresi dengan menghadapi ancaman hukum yang dikenal sebagai persdelict (delik pers).

Baca Juga: Ketika DN Aidit dan Petinggi PKI Khusyuk Berdoa...

“Karena kalau misalnya ada media yang saat itu cenderung membela kepentingan yang tidak pro pemerintah maka yang terjadi media itu akan dibredel. Alih-alih dibredel pemimpin redaksinya mungkin juga akan dipenjarakan pada saat itu,” ucapnya, menyamakan praktik represif era Orde Baru dengan apa yang terjadi di zaman kolonialisme.

Represi tersebut memicu lahirnya perlawanan di ranah media. Hendi Jo menjelaskan bahwa kelompok-kelompok kiri, sebagai respons, sering kali membuat media tandingan atau bahkan media bawah tanah.

Media-media tersebut menjadi oposisi dari pers besar yang saat itu cenderung pragmatis dan membela kepentingan pemerintah kolonial Hindia-Belanda.

“Jadi ada media-media yang dibentuk oleh orang-orang ini yang kemudian menjadi antitesa dari media-media besar yang pada saat itu mungkin melakukan sebuah gerakan pragmatisme dengan membela pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Siapa yang kemudian menyuarakan kepentingan-kepentingan orang-orang PKI itu ya mereka bikin media sendiri,” jelasnya.

Sedangkan narasi yang dibangun Orde Baru untuk komunisme bersifat tunggal dan memberikan konotasi negatif pada PKI dan ajarannya yang selalu digambarkan sebagai anti-Tuhan, ateis, dan ancaman moral bagi bangsa.

Stigma itu membuat diskusi apapun tentang komunisme, bahkan dari sudut pandang sejarah, menjadi tabu dan terlarang.

Load More