News / Metropolitan
Selasa, 30 Desember 2025 | 22:09 WIB
Ilustrasi Aturan Kawasan Tanpa Rokok di Jakarta. (Suara.com)
Baca 10 detik
  • Industri event Jakarta bernilai vital dengan kontribusi ekonomi signifikan, namun terancam oleh Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) tentang pembatasan sponsor.
  • Kemendagri mengarahkan penghapusan pasal kontroversial dalam Raperda KTR karena kurangnya dasar hukum kuat dan potensi mematikan ekonomi.
  • Pencarian solusi menuntut keseimbangan antara urgensi kesehatan publik dan keberlangsungan ekonomi kreatif melalui pendekatan bertahap dan kolaboratif.

Suara.com - Di bawah langit Jakarta yang kerap dibalut jingga polusi, sebuah ekosistem raksasa terus berdenyut kencang. Industri event, mulai dari festival musik internasional dengan tata lampu yang membelah malam hingga pameran seni kontemporer yang prestisius, telah lama menjadi tulang punggung ekonomi kreatif ibu kota.

Data menunjukkan betapa vitalnya sektor ini. Secara nasional, industri event mencatat nilai ekonomi mencapai Rp84,46 triliun dengan keterlibatan lebih dari 8,8 juta tenaga kerja.

Gelaran seperti Jakarta International Investment, Trade, Tourism and SME Expo (JITEX) 2025 saja mampu membukukan transaksi fantastis sebesar Rp14,3 triliun. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, mereka adalah napas bagi ribuan vendor panggung, kru teknis, hingga UMKM kuliner di sekitar lokasi acara.

Namun, di balik gemerlap lampu panggung, kini muncul keresahan yang nyata. Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) mengenai Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang disahkan di penghujung 2025 membawa bayang-bayang ketidakpastian bagi para promotor.

Kini, Jakarta berdiri di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada urgensi kesehatan publik untuk menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan melindungi generasi muda dari paparan zat adiktif. Di sisi lain, ada kebutuhan mendesak untuk menjaga momentum kebangkitan ekonomi pasca-pandemi agar tetap stabil.

Kenapa Aturan Kawasan Tanpa Rokok Bikin Industri Kreatif Was-Was?

Perdebatan utama terletak pada ketegangan antara sisi kesehatan versus ekonomi. Aktivis kesehatan mendorong pengetatan untuk melindungi anak-anak dari adiksi, sementara kelompok usaha meminta agar aturan tersebut tidak mematikan UMKM dan industri kreatif.

Raperda ini mengusulkan pembatasan iklan rokok, termasuk reklame luar ruang dan digital, dalam radius 500 meter dari KTR.

Pelaku industri kreatif dan periklanan keberatan karena cakupan 500 meter dianggap terlalu luas dan hampir mencakup seluruh jalanan Jakarta.

Baca Juga: Ritel dan UMKM Soroti Larangan Kawasan Tanpa Rokok, Potensi Rugi Puluhan Triliun

Terdapat juga ketentuan yang membatasi atau melarang perusahaan rokok menjadi sponsor dalam kegiatan atau acara (event) di Jakarta.

Para promotor dan event organizer pun menentang keras wacana tersebut, karena selama ini industri tembakau jadi salah satu penyumbang sponsor terbesar bagi konser musik dan festival budaya. Tanpa sponsor tersebut, banyak acara dikhawatirkan tidak dapat berjalan.

Infografis Dilema Perda KTR Jakarta. (Suara.com/Syahda)

Benturan Aturan Pemerintah Daerah dan Pusat

Hasil fasilitasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Jakarta yang dirilis pada akhir Desember 2025 membawa perubahan signifikan terhadap beberapa pasal yang sebelumnya memicu kontroversi.

Berdasarkan hasil fasilitasi, Kemendagri memberikan arahan untuk menghapus atau menyesuaikan pasal-pasal yang dinilai tidak memiliki dasar hukum kuat atau berpotensi mematikan ekonomi kerakyatan.

Larangan pemajangan produk jadi salah satu usulan pasal yang oleh Kemendagri diminta dihilangkan. Aturan tersebut dianggap tidak memiliki pijakan hukum yang kuat dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di tingkat nasional.

Kemendagri juga meminta pengecualian larangan merokok di tempat-tempat ekonomi seperti pasar, hotel dan restoran serta tempat hiburan malam.

Secara hukum, hasil fasilitasi Kemendagri bersifat wajib diikuti agar Raperda tersebut bisa mendapatkan nomor registrasi untuk diundangkan. Jika rekomendasi ini diabaikan, Perda tersebut berisiko cacat hukum atau dibatalkan.

Urgensi Sisi Kesehatan vs Sisi Ekonomi

Meskipun Jakarta adalah pusat pemerintahan dan bisnis, angka konsumsi tembakau tetap tinggi, bahkan pada kelompok usia muda.

Berdasarkan data BPS (Susenas 2025), persentase penduduk umur 15 tahun ke atas yang merokok di DKI Jakarta mencapai 25,17%.

Data menunjukkan sekitar 26% perokok di Jakarta berusia 7-15 tahun. Selain itu, survei di wilayah Jakarta Barat dan Utara bahkan pernah mencatat 36% remaja mengaku pernah mengonsumsi rokok.

Jakarta yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi juga meningkatkan risiko perokok pasif. Secara nasional, 74,2% orang dewasa terpapar asap rokok di restoran dan 44,8% di tempat kerja.

Konsumsi rokok turut menggeser pengeluaran esensial rumah tangga. Riset CISDI di 2022 menunjukkan bahwa belanja rokok membuat rumah tangga seolah-olah memiliki pengeluaran tinggi (di atas garis kemiskinan), padahal mereka kekurangan asupan gizi. Jika belanja rokok dikeluarkan dari perhitungan, angka kemiskinan riil bisa meningkat signifikan.

Penyakit tidak menular (PTM) seperti stroke, jantung, dan diabetes, yang semuanya terkait erat dengan tembakau, merupakan penyerap anggaran terbesar pada skema JKN (BPJS Kesehatan).

Namun di sisi lain, produk olahan tembakau juga memegang peranan penting dalam menopang roda perekonomian Jakarta.

Potensi hilangnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga menghantui Jakarta kalau aturan ini diterapkan terlalu kaku.

"Rokok itu memberikan dividen, memberikan keuntungan ke kita itu juga lumayan besar," papar Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PAN, Lukmanul Hakim.

Mencari Jalan Tengah

Untuk menyeimbangkan antara perlindungan kesehatan masyarakat dan keberlangsungan industri kreatif yang bernilai triliunan rupiah, diperlukan pendekatan yang gradual (bertahap) dan kolaboratif.

Pemerintah sebaiknya tidak menerapkan pelarangan total secara mendadak, guna memberikan mitra sponsor baru (dari sektor perbankan, teknologi, atau otomotif) dan menyesuaikan model bisnis mereka tanpa harus membatalkan acara yang sudah direncanakan.

"Memang kita ingin mengurangi ke depan, tapi nanti bertahap," kata Anggota Komisi B DPRD DKI, Dwi Rio Sambodo.

Alih-alih melarang aktivitas yang berkaitan dengan rokok secara keseluruhan, kebijakan bisa difokuskan pada penyediaan infrastruktur.

Senada dengan masukan Kemendagri, penting untuk diterapkan pengecualian di kawasan-kawasan tertentu guna mengedepankan kepentingan mereka yang menggantungkan nasib ke produk olahan tembakau.

"Kalau event-event ada memang untuk ini (sponsor rokok), ya bagi yang mereka merokok disediakan tempat tersendiri, yang terpisah," jelas pengamat kebijakan publik, Trubus Rahardiansah kepada Suara.com lewat sambungan telepon.

Andai tetap memilih melakukan pelarangan total, para pengampu kebijakan harus memfasilitasi semua penyelenggara event terdampak untuk mencari sponsor selain rokok.

"Kalau ngelarang tapi nggak kasih solusi, ya buat apa?" sentil Trubus.

Pembentukan dewan penasihat yang terdiri dari Dinas Kesehatan, Dinas Pariwisata & Ekonomi Kreatif, serta asosiasi industri (seperti APMI atau IVENDO) juga dirasa penting dalam hal penyerapan aspirasi.

"Tantangan di industri event saat ini sudah banyak, mulai dari regulasi sampai perizinan. Oleh karena itu, kami butuh perlindungan dan dukungan pemerintah," kata Ketua IVENDO DPD DKI Jakarta, Eka Nugraha.

Di tengah tarik-menarik antara kesehatan publik dan geliat ekonomi kreatif, Jakarta menghadapi momen penting untuk membuktikan bahwa regulasi bisa hadir sebagai jembatan, bukan tembok. Solusi yang inklusif dan kolaboratif, mengakomodasi kepentingan masyarakat, pelaku usaha, dan generasi muda, bisa memastikan industri event tetap hidup, sementara warga tetap terlindungi dari risiko kesehatan. Kesuksesan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok bukan hanya soal aturan yang ditegakkan, tapi seberapa cermat pemerintah mampu menyeimbangkan aspirasi dan kepentingan seluruh pihak, menjadikan Jakarta kota yang sehat, dinamis, dan kreatif sekaligus.

Load More