News / Nasional
Selasa, 14 Oktober 2025 | 13:21 WIB
Anggota Tim Khusus Pelaksana mengukur tingkat paparan radiasi terhadap temuan yang tercemar Cesium-137 (Cs-137) saat dekontaminasi di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten, Kamis (2/10/2025). ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto/tom.
Baca 10 detik
    • Kontaminasi radioaktif Cs-137 di produk udang Indonesia bersumber dari industri logam di Cikande, Banten.
    • Greenpeace menilai insiden ini bukti lemahnya pengawasan terhadap limbah logam dan bahan radioaktif.
    • Pemerintah didesak lebih transparan, memperketat pengawasan, dan mengutamakan energi bersih ketimbang PLTN.

Suara.com - Pada Agustus lalu, publik dikejutkan oleh temuan otoritas Amerika Serikat. Food and Drug Administration (FDA) dan Bea Cukai AS menemukan bahwa produk udang beku asal Indonesia mengandung unsur radioaktif caesium-137 (Cs-137).

Temuan ini memunculkan pertanyaan besar: bagaimana bahan pangan bisa terkontaminasi unsur berbahaya seperti itu?

Sebulan setelahnya, hasil penyelidikan bersama berbagai lembaga di Indonesia mengungkap sumber masalahnya. Kontaminasi Cs-137 ternyata berasal dari besi bekas yang digunakan dalam aktivitas industri PT Peter Metal Technology (PMT), yang beroperasi di kawasan industri Cikande, Banten. Besi bekas itu tercemar unsur radioaktif, dan limbahnya kemudian menyebar ke lingkungan sekitar.

Cs-137 bukan unsur alami. Ia merupakan radioisotop buatan manusia yang bisa memancarkan radiasi beta dan gamma, serta memiliki masa paruh hingga 30 tahun.

Jika terlepas ke lingkungan, zat ini dapat menyebabkan mutasi DNA, kanker, hingga kematian. Artinya, dampaknya tidak hanya sesaat, tapi bisa mengancam generasi berikutnya jika tidak tertangani serius.

Tim Khusus Pelaksana melakukan dekontaminasi terhadap temuan yang tercemar radiasi Cesium-137 (Cs-137) di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten, Kamis (2/10/2025). [ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto/nym]

Aktivis lingkungan menilai insiden ini menunjukkan lemahnya sistem pengawasan terhadap bahan radioaktif.

“Kami menyoroti kasus ini sebagai bentuk kecerobohan pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap impor limbah logam bekas serta industri logam. Hal ini menunjukkan ketidakpatuhan atas standar yang ketat dalam pengelolaan dan deteksi dini unsur radioaktif,” ucap Yuyun Harmono, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Padahal, pengelolaan bahan radioaktif sudah diatur ketat dalam PP 45/2023 dan sejumlah peraturan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). Aturan tersebut memuat persyaratan teknis, sistem pemantauan radiasi, pembatas dosis untuk pekerja, serta tata kelola limbah radioaktif. Namun, implementasinya dinilai masih lemah di lapangan.

Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap industri logam dan meningkatkan transparansi kepada publik.

Baca Juga: 9 Orang Positif Radioaktif CS-137 Cikande Dirawat di RS Fatmawati Jakarta, Begini Kondisinya!

“Publik harus tahu apa yang mencemari lingkungan mereka, tindak tegas industri yang melanggar aturan, terapkan zona khusus dan zona aman untuk setiap kawasan industri, dan membatalkan rencana untuk membangun PLTN, jika masih gagap mengelola kontaminasi radioaktif seperti yang kita lihat saat ini. Pemerintah seharusnya fokus mengembangkan Energi Terbarukan seperti surya yang minim emisi dan dampak buruk bagi masyarakat,” pungkas Yuyun.

Kasus ini membuka mata banyak pihak bahwa pengawasan terhadap bahan berbahaya tidak boleh hanya administratif. Kegagalan mendeteksi kontaminasi sejak dini bukan hanya soal kelalaian, tapi ancaman langsung bagi keselamatan publik.

Load More