News / Nasional
Jum'at, 17 Oktober 2025 | 13:38 WIB
Ilustrasi Deforestasi(Penggundulan Hutan).[Unsplash.com]
Baca 10 detik
    • Deforestasi global kembali naik, dan Indonesia kehilangan posisi sebagai contoh keberhasilan.
    • Kebijakan baru pemerintah justru membuka ruang eksploitasi atas nama kedaulatan pangan dan energi.
    • Transisi energi dunia menciptakan paradoks: “energi hijau” dibayar dengan kehancuran ekologis di negara produsen seperti Indonesia.

Suara.com - Dalam tiga tahun terakhir, tren kehilangan hutan atau deforestasi dunia kembali meningkat. Sebelumnya sempat menurun pada periode 2017–2021. Laporan Forest Declaration Assessment (FDA) yang dirilis 13 Oktober 2025 menegaskan bahwa dunia gagal menahan laju deforestasi.

Indonesia, yang sebelumnya dipuji sebagai contoh keberhasilan, kini justru mencerminkan paradoks global,  di satu sisi dianggap pionir perlindungan hutan, di sisi lain membuka ruang baru bagi kerusakan atas nama pembangunan dan investasi.

Penurunan deforestasi di masa lalu merupakan hasil dari kebijakan berani, moratorium sawit, pengendalian kebakaran, dan penegakan hukum. Namun capaian itu perlahan terkikis oleh lemahnya komitmen politik dan kebijakan baru yang memperlonggar izin pembukaan hutan.

Foto menampilkan ekskavator oranye di tengah hutan lebat, merobohkan pepohonan besar. Sekitarnya dipenuhi batang tumbang, ranting, dan dedaunan berserakan, sementara latar belakang menunjukkan lahan terbuka hasil deforestasi." (Foto: Greensers.Co)

Menurut Juru Kampanye Yayasan Auriga Nusantara, Hilman Afif, pemerintah terlihat berusaha menjaga citra hijau di luar negeri, tetapi di dalam negeri arah kebijakannya justru berlawanan.

Program Food and Energy Sovereignty Plan serta pelonggaran izin tambang menandakan pergeseran orientasi dari perlindungan lingkungan menuju eksploitasi ekonomi jangka pendek.

Padahal, kenaikan deforestasi adalah alarm bahwa target FOLU Net Sink 2030 hanya akan menjadi slogan tanpa tindakan nyata untuk menjaga hutan alam tersisa.

Kebijakan pencabutan empat izin tambang di Raja Ampat pada 2025 sempat dipuji sebagai langkah progresif, namun itu baru menyentuh permukaan.

Masih ada lebih dari 380 izin pertambangan aktif di ratusan pulau kecil dengan total luas lebih dari 900 ribu hektare yang terus mengancam ekosistem pesisir.

Di sisi lain, pertanian permanen masih menjadi penyumbang terbesar deforestasi global, mencapai 86 persen menurut FDA. Di Indonesia, ekspansi sawit, hutan tanaman industri, dan proyek hutan energi justru semakin meluas.

Baca Juga: 5 Sepeda Listrik Harga Mulai Rp2 Jutaan, Tangguh dan Ramah Lingkungan

Contohnya terlihat di Gorontalo, di mana proyek biomassa dikembangkan untuk memenuhi permintaan energi “hijau” dari luar negeri. Ironisnya, ekspor biomassa Indonesia ke Jepang melonjak tajam antara 2021–2024, menunjukkan bahwa transisi energi bersih di negara maju dibangun di atas kerusakan ekologis negara lain.

Paradoks serupa juga muncul dalam industri nikel, bahan baku kendaraan listrik yang justru membuka luka baru di kawasan timur Indonesia.

Ketua Yayasan Auriga Nusantara, Timer Manurung, menegaskan bahwa deforestasi bukan hanya akibat lemahnya tata kelola, tetapi juga hasil dari sistem ekonomi dan politik yang menjadikan hutan korban permanen ambisi global dan domestik.

Pemerintah kini berada di persimpangan,  tetap mempertahankan citra hijau di forum internasional, atau benar-benar menegakkan perlindungan terhadap hutan dan masyarakat yang hidup dari sana. Sebab, komitmen hijau yang dibangun di atas abu hutan tropis bukanlah solusi, melainkan pengkhianatan terhadap masa depan bumi.

Load More