News / Nasional
Senin, 20 Oktober 2025 | 10:44 WIB
Ilustrasi orangutan. (Unsplash.com/ Felix Serre)
Baca 10 detik
    • IPOSS gelar diskusi dan film dokumenter yang menampilkan klaim harmoni antara kebun sawit dan orangutan.
    • Pakar lingkungan menyoroti pentingnya pembaruan data dan manajemen adaptif agar tidak jatuh pada narasi semu.
    • Acara ini membuka kembali perdebatan lama: antara diplomasi hijau dan realitas ekologis di lapangan

Suara.com - Isu lama tentang benturan antara industri kelapa sawit dan kelestarian satwa liar kembali mencuat dalam diskusi publik dan pemutaran film dokumenter “Palm Oil in the Land of Orangutans” yang diselenggarakan oleh Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS).

Acara ini diklaim sebagai upaya edukasi publik mengenai potensi harmoni antara biodiversitas dan perkebunan sawit yang berkelanjutan. Ketua Pengurus IPOSS Nanang Hendarsah menegaskan bahwa kegiatan ini penting untuk membangun perspektif publik di tengah maraknya isu negatif tentang sawit.

“Film ini unik, karena menampilkan perspektif lain tentang kehidupan biodiversitas di kebun kelapa sawit yang ternyata bisa hidup berdampingan tanpa menimbulkan masalah,” kata Nanang dalam keterangannya. 

Ilustrasi orangutan. (Shutterstock)

Namun di tengah klaim harmoni tersebut, pertanyaan kritis tetap menggantung sejauh mana gambaran itu mencerminkan kondisi lapangan secara luas?

Industri sawit memang menjadi tulang punggung ekonomi nasional, tetapi juga kerap dikaitkan dengan deforestasi, kehilangan habitat, dan ancaman terhadap orangutan, terutama di Kalimantan dan Sumatra.

Film produksi Copenhagen Film Company dengan dukungan KBRI Kopenhagen dan Copenhagen Zoo itu menyoroti proyek hutan koridor seluas 318 hektare di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.

Proyek yang dijalankan United Plantation dan Copenhagen Zoo sejak 2015 disebut berhasil menghubungkan kebun sawit dengan hutan lindung di sekitar Taman Nasional Tanjung Puting. Dalam film tersebut terlihat beberapa orangutan hidup dan berkembang biak di sekitar area perkebunan.

Meski menarik, pengamatan ini masih terbatas pada wilayah tertentu dan belum mewakili kompleksitas persoalan sawit di Indonesia secara keseluruhan. Carl Traeholt dari Copenhagen Zoo bahkan mengingatkan, keberlanjutan industri sawit tetap bergantung pada tanggung jawab bersama dan pengelolaan adaptif terhadap spesies, air, dan populasi.

“Jika adapting management ini tidak dilakukan dengan baik, maka yang terjadi adalah penurunan ekosistem,” katanya.

Baca Juga: Terkuak! Burung Merak yang Viral di Jaktim Ternyata Milik Bamsoet, Emang Boleh Dipelihara?

Pakar kehutanan Petrus Gunarso juga menyoroti perlunya perhatian serius terhadap pengelolaan kawasan hutan oleh pemerintah serta pembaruan data ekologis secara berkelanjutan.

“Kawan-kawan dari NGO ini jika membicarakan sesuatu, pasti menggunakan keystone species. Dalam hal ini adalah orangutan dan harimau,” ujarnya.

Acara yang turut dihadiri Darmin Nasution, Sofyan A. Djalil, dan Yuri Octavian Thamrin ini bukan sekadar forum apresiasi film, tetapi juga bagian dari diplomasi hijau Indonesia di tengah tekanan global terhadap praktik sawit.

Namun bagi banyak pengamat, klaim bahwa orangutan dapat hidup berdampingan di kebun sawit masih memerlukan verifikasi ilmiah yang lebih luas. Harmoni mungkin tampak di layar, tetapi di lapangan, pertanyaannya tetap: bisakah ekonomi sawit benar-benar tumbuh tanpa mengorbankan hutan dan satwanya?

Load More