- Penganugerahan gelar pahlawan Soeharto menuai sorotan media internasional.
- Media asing mengungkit kembali masa lalu kelam rezim Orde Baru.
- Aktivis HAM dan para korban menentang keras keputusan tersebut.
Suara.com - Keputusan pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto untuk menganugerahkan gelar pahlawan nasional secara anumerta kepada Soeharto, memicu gelombang kontroversi di dalam negeri dan sorotan tajam dari media internasional.
Media asing tidak hanya melaporkan penganugerahan gelar, tetapi juga mengungkit kembali warisan kelam sang jenderal yang berkuasa selama 32 tahun.
"He was a US-backed dictator who led sweeping massacres. Why is he now being named a national hero?" demikian judul artikel daring pada laman CNN Internasional, misalnya.
Dalam bahasa, judul artikel CNN Internasional itu berarti: Dia adalah seorang diktator dukungan AS yang memimpin pembantaian besar-besaran. Mengapa dia sekarang dinobatkan sebagai pahlawan nasional?
Media internasional secara serempak mengingatkan publik global bahwa selama beberapa dekade, Soeharto adalah seorang diktator yang didukung Amerika Serikat.
Rezimnya mengawasi pembantaian massal berdarah di era Perang Dingin dan dituduh menyelewengkan uang negara dalam jumlah besar untuk melambungkan keluarga dan kroninya ke puncak kemewahan, serta kekuasaan politik.
Penganugerahan gelar pada hari Senin lalu digambarkan sebagai sebuah ironi.
Pemberian gelar ini dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo Subianto—mantan menantu Soeharto, yang juga merupakan figur kontroversial dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia saat masih berseragam militer.
Meskipun dalam upacara tersebut Soeharto dipuji sebagai pahlawan perjuangan, media asing menekankan bahwa karakterisasi ini sangat diperdebatkan.
Baca Juga: Dua Menko Ikut ke Sydney, Apa Saja Agenda Lawatan Prabowo di Australia?
"Seorang tokoh terkemuka dari provinsi Jawa Tengah, pahlawan perjuangan kemerdekaan, Jenderal Soeharto menonjol sejak era kemerdekaan," ujar seorang pembawa acara saat penganugerahan, menurut laporan Reuters.
Namun, narasi ini bertabrakan dengan catatan sejarah kelam yang menyertainya.
Sejarah Berdarah di Balik Kekuasaan Orde Baru
Sorotan media internasional kembali mengarah pada peristiwa 1965. Setelah kudeta yang gagal dan pembunuhan sejumlah jenderal, Soeharto menyalahkan kaum komunis, menggulingkan Presiden Sukarno, dan melancarkan perburuan besar-besaran.
Apa yang terjadi selanjutnya adalah pembersihan nasional terhadap terduga komunis yang diawasi oleh militer.
Sejarawan dan kelompok hak asasi manusia memperkirakan antara 500.000 hingga satu juta orang tewas dalam tragedi tersebut.
Dokumen rahasia yang dirilis pada 2017 menunjukkan bahwa Amerika Serikat mendukung pembantaian anti-komunis ini dengan memberikan daftar nama petinggi partai komunis, peralatan, hingga uang kepada tentara Indonesia.
Banyak yang berpendapat bahwa target pembersihan bukan hanya komunis, tetapi juga etnis Tionghoa atau siapa pun yang memiliki pandangan kiri.
Pada tahun 2016, sebuah pengadilan internasional di Den Haag bahkan menyatakan AS, Inggris, dan Australia terlibat dalam kejahatan kemanusiaan pada pembunuhan massal 1965.
Selama 31 tahun berkuasa, Soeharto menindak keras para kritikus dan lawan politik.
Di sisi lain, beberapa pihak memujinya atas kebijakan yang memacu pertumbuhan ekonomi pesat dan stabilitas politik.
Namun, pada saat yang sama, ia dituduh menyedot uang negara dalam jumlah fantastis, membiayai gaya hidup mewah keluarganya yang memicu kemarahan publik.
Kekuasaannya berakhir pada 1998 setelah krisis finansial Asia memicu protes massal dan memaksanya mundur.
Mengapa Prabowo Memberi Gelar Pahlawan?
Keterkaitan personal antara Prabowo dan Soeharto menjadi fokus utama analisis media asing.
Prabowo pernah menjadi bagian dari keluarga Cendana setelah menikahi putri Soeharto pada tahun 1983, meskipun mereka bercerai setelah Soeharto lengser.
Prabowo juga seorang komandan militer di era Soeharto dan bertugas dalam kampanye kontroversial di Papua Barat dan Timor Timur.
Ia dituduh menculik aktivis selama protes massal 1998 yang menyebabkan kejatuhan Soeharto, tuduhan yang selalu ia sangkal.
"Kini, sebagai presiden, keputusannya dianggap berisiko memundurkan kemajuan demokrasi yang diraih sejak era otoritarianisme," demikian tertulis dalam artikel CNN Internasional.
Kelompok masyarakat sipil mengkritik langkah Prabowo yang memperluas peran militer ke wilayah sipil, yang dianggap bisa membawa Indonesia kembali ke militerisme era Soeharto.
Protes Keras dari Aktivis dan Korban
Keputusan ini memicu reaksi keras. Para aktivis berkumpul di Jakarta pekan lalu untuk memprotes, membawa plakat bertuliskan: "Pelanggar hak asasi manusia" dan "Soeharto bukan pahlawan."
Amnesty International menyebut tindakan ini sebagai upaya untuk menulis ulang sejarah.
Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch untuk Indonesia, juga mengutuk langkah tersebut.
"Kegagalan meminta pertanggungjawaban (Soeharto) dan para jenderalnya yang kejam memfasilitasi pemutihan dan distorsi sejarah yang kini terjadi di bawah kepemimpinan Prabowo," tulisnya dalam sebuah pernyataan.
Luka paling dalam dirasakan oleh para penyintas dan keluarga korban.
"Saya terkejut, kecewa, dan marah dengan keputusan absurd pemerintah ini," kata Bedjo Untung kepada Associated Press.
Untung dipenjara tanpa pengadilan karena dituduh memiliki hubungan dengan komunis dari tahun 1970-1979, di mana ia disiksa dan keluarganya menghadapi diskriminasi.
"Rasanya sangat tidak adil, kami masih hidup dengan penderitaan hingga hari ini," tambahnya.
Namun, pembelaan datang dari keluarga Soeharto.
"Kami tidak perlu membela diri... tidak ada yang disembunyikan," kata Siti Hardijanti Rukmana, putri Soeharto, kepada wartawan setelah upacara.
"Kami telah mengucapkan terima kasih kepada presiden karena telah menunjuk ayah kami sebagai pahlawan nasional dan mungkin karena beliau juga seorang prajurit jadi beliau tahu apa yang telah ayah saya lakukan."
Tag
Berita Terkait
-
Dua Menko Ikut ke Sydney, Apa Saja Agenda Lawatan Prabowo di Australia?
-
Komnas HAM: Gelar Pahlawan Soeharto Cederai Sejarah Pelanggaran HAM Berat dan Semangat Reformasi
-
Prabowo Terbang ke Sydney: Apa Agenda Rahasia Bertemu PM Albanese?
-
Bukan Hanya Gelar, Keluarga Pahlawan Nasional Dapat 4 Tunjangan Ini per Tahun
-
Tunda Penerbangan 2 Jam untuk Rapat, Ini Arahan Prabowo soal Serapan Anggaran dan Transfer ke Daerah
Terpopuler
- Pandji Pragiwaksono Dihukum Adat Toraja: 48 Kerbau, 48 Babi, dan Denda 2 Miliar
- 6 HP Snapdragon dengan RAM 8 GB Paling Murah, Lancar untuk Gaming dan Multitasking Intens
- 8 Mobil Kecil Bekas Terkenal Irit BBM dan Nyaman, Terbaik buat Harian
- 7 Rekomendasi Parfum Lokal Aroma Citrus yang Segar, Tahan Lama dan Anti Bau Keringat
- 5 Rekomendasi Moisturizer Korea untuk Mencerahkan Wajah, Bisa Bantu Atasi Flek Hitam
Pilihan
-
Pemerintah Mau 'Bebaskan' Reynhard Sinaga, Predator Seksual Terkejam di Sejarah Inggris
-
Bahlil soal Izin Tambang di Raja Ampat : Barang Ini Ada, Sebelum Saya Ada di Muka Bumi!
-
Berapa Gaji Zinedine Zidane Jika Latih Timnas Indonesia?
-
Breaking News! Bahrain Batalkan Uji Coba Hadapi Timnas Indonesia U-22
-
James Riady Tegaskan Tanah Jusuf Kalla Bukan Milik Lippo, Tapi..
Terkini
-
PBNU dan Wamenag Bersuara Keras: Perilaku Gus Elham Nodai Dakwah, Tak Pantas Ditiru!
-
Profil Gus Elham Yahya: Pendakwah Viral 'Kokop Pipi' Asal Kediri, Cucu Kiai dan Idola Anak Muda
-
Rektor Sudirman Said: Pemimpin Sejati Juga Pendidik, Bangsa Butuh Teladan Bukan Kekuasaan
-
Kasus Korupsi Kuota Haji, KPK Panggil Eks Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Kemenag
-
Jasad Istri Pegawai Pajak Manokwari Ditemukan Tak Utuh di Septic Tank, Diduga Dimutilasi Pelaku
-
Jasad Istri Pegawai Pajak Ditemukan Tak Utuh di Septic Tank, Motif Pelaku Masih Jadi Teka-teki
-
Ini Isi Surat Ortu Reynhard Sinaga ke Prabowo, Minta Pulangkan Predator Seks Terkejam di Inggris
-
PBNU Kecam Keras Gus Elham Cium Anak Perempuan: Cederai Martabat Manusia dan Nodai Dakwah
-
KPK Geledah Kantor Dinas PUPR Riau, Dokumen Pergeseran Anggaran Disita
-
Kilas Balik Reynhard Sinaga: Predator Seks Terbesar Inggris, Terungkap Karena Satu Korban Melawan