- Warga Tambakrejo hidup bertahun-tahun berdampingan dengan rob akibat reklamasi dan penurunan tanah.
- Mereka menanam mangrove sebagai benteng alami yang sekaligus menghidupkan ekonomi dan menyerap karbon biru.
- Tanggul laut terbukti tidak efektif, dan solusi sejati ada pada pemulihan ekosistem pesisir berbasis alam.
Suara.com - Slamet Riyadi duduk di depan rumahnya. Hujan baru saja reda. Udara masih lembap, dan bau asin laut terasa di hidung.
Jalan kecil di depan rumahnya di Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Mas, tampak berkilau oleh genangan air. Langit mendung memantul di permukaannya.
Ia menatap tanpa banyak gerak. Pemandangan seperti ini sudah sering ia lihat. Sejak bertahun-tahun lalu, air selalu datang, entah dari hujan, laut, atau tanggul yang tak lagi mampu menahan tekanan.
Genangan di RW 16 bukan sekadar limpasan air hujan. Ada rasa asin di udara, tanda air laut ikut menyusup dari arah barat. Dari balik tanggul, air perlahan merembes, melewati jalan, masuk ke halaman rumah.
Kawasan pesisir itu sejak lama terpaksa berdamai dengan bencana ekologis berupa rob atau naiknya permukaan air laut. Warga Tambakrejo bahkan berulang kali harus meninggikan rumah mereka agar tidak tenggelam.
Namun alam tidak bekerja sendiri. Reklamasi di kawasan Marina, pembangunan industri, dan penurunan tanah akibat penyedotan air bawah tanah membuat keadaan semakin buruk. Arus laut berubah, dan air mencari tempat lain untuk kembali. Tempat itu adalah permukiman.
“Selain alam, rob juga karena ulah manusia,” kata Slamet pelan, pandangannya tak lepas dari genangan di depan rumah.
“Dulu pesisir itu wadah air yang luas. Sekarang makin sempit. Mau tidak mau, air akan cari tempat yang rendah, dan akhirnya, ya ke sini lagi.”
Warga Kehilangan Tambak dan Puluhan Rumah Rusak Akibat Rob
Baca Juga: Atasi ketimpangan, Startup Dilibatkan untuk Ciptakan Solusi Permanen Bagi Kemiskinan Pesisir
Slamet, yang lahir dan besar di Tambakrejo, menuturkan saat ia kecil sekitar 1980-an, masyarakat di wilayah itu didominasi petani tambak. Saat itu, kehidupan masyarakat tergolong makmur berkat hasil budidaya ikan dan jarak antara laut dengan permukiman masih cukup jauh, sekitar satu kilometer.
Namun, pembangunan yang masif di wilayah pesisir menjadi bencana. Medio 2000-an, air rob mulai memasuki kawasan permukiman, dan puncaknya terjadi pada 2020 ketika genangan air mencapai setinggi pinggang orang dewasa.
Laki-laki yang juga menjabat sebagai Ketua RW 16 itu mengatakan rob yang tak kunjung tertangani membuat puluhan warga kehilangan tempat tinggal. Di wilayah RT 005, sekitar 25 rumah rusak parah akibat terus-menerus dihantam air laut, sementara warga kesulitan mencari biaya untuk memperbaiki rumah mereka.
Slamet mengatakan warga yang rumahnya rusak parah, mereka terpaksa meninggalkan Kampung Tambakrejo. Sebagian menumpang di rumah saudara, sisanya memilih mengontrak di lokasi yang lebih aman.
“Sisa puing-puing rumah yang rusak di RT 005 masih ada. Warga kami terpaksa pindah tempat, tapi mereka belum pindah secara administrasi,” ungkap Slamet.
Tanggul Laut Belum Menjadi Solusi
Harapan warga untuk terbebas dari rob sempat tumbuh ketika pemerintah mulai membangun infrastruktur tanggul laut atau sheet pile di sisi barat dan timur kawasan tersebut.
Pada tahun 2018, sheet pile yang membentang di wilayah Tambakrejo dan Tambakmulyo selesai dibangun. Sementara itu, sheet pile di bagian timur Tambakrejo baru rampung pada tahun 2024.
Sheet pile itu nyatanya belum menjadi solusi permanen terhadap rob yang terus menghantui Tambakrejo. Hingga saat ini air laut masih merendam permukiman akibat adanya rembesan.
“Tanpa kami sadari, setelah sheet pile yang baru selesai dibangun, sheet pile di sisi barat justru mengalami rembesan,” tutur Slamet.
“Masalahnya, terjadi penurunan tanah di bawah lantai sheet pile, sehingga muncul rongga yang menjadi jalan bagi air laut masuk ke permukiman,” tambahnya.
Slamet menjelaskan jika rembesan dari sheet pile itu mengikuti jadwal pasang air laut, bisa terjadi pagi, siang atau malam hari. Genangan akibat rembesan biasanya mencapai sekitar 10 sentimeter atau semata kaki meredam akses jalan di wilayah RW 16.
Meski tidak terlalu mengganggu aktivitas warga, rembesan rob dari tanggul laut tetap dikeluhkan. Banyak warga mengeluh sepeda motor mereka berkarat karena sering melintas di jalan yang tergenang air rob tersebut.
Rembesan air rob itu juga memaksa anak-anak di PAUD Patra Sutera kehilangan tempat belajar. Sekolah usia dini yang berdekatan dengan sheet pile di sisi barat itu, ruang utama dan halamannya bahkan masih tergenang air laut.
“Warga gotong royong membuat selokan atau gorong-gorong yang mengalirkan air rob ke rumah pompa. Sebelum ada selokan, air rob lama surutnya. Sekarang jauh lebih cepat karena ada upaya dari warga sendiri. Kami swadaya, memunculkan kesadaran kalau bukan sekarang, kapan lagi. Kalau bukan kita, siapa lagi?,” tegas Slamet.
Namun, alih-alih mengevaluasi Presiden Prabowo Subianto mengungkap proyek besar yang kini tengah dijalani oleh pemerintahan. Proyek tersebut adalah pembangunan tanggul laut di Pantai Utara Pulau Jawa.
"Kami juga sudah mulai membangun 535 Km tanggul laut di Pantai Utara Jawa," kata Prabowo dalam rapat terbatas (Ratas) Kabinet Merah Putih di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (20/10/2025).
Menanam Mangrove untuk Menjaga Kawasan Pesisir
Sebagai upaya untuk membendung bencana ekologis, warga Tambakrejo sejak 2011 sudah melakukan penanaman untuk mendirikan kawasan mangrove. Mereka meyakini, benteng alami itu dapat menyelamatkan pemukiman dari ancaman tenggelam.
Kelompok Peduli Lingkungan (KPL) Cinta Alam Mangrove Asri dan Rimbun (Camar) Tambakrejo terbentuk dari kesadaran warga untuk mengurangi dampak rob. Meski tidak memiliki latar belakang di bidang konservasi, warga bertekad untuk belajar dengan tujuan utama menyelamatkan kampung mereka yang terus terendam air laut.
“Awalnya kami belajar secara otodidak, dari apa yang kami lihat dan dengar. Penanaman mangrove yang kami lakukan semata-mata untuk mengurangi rob di lingkungan sekitar kami,” ujar Sekertaris KPL Camar Muhammad Yazid.
Tak hanya menanam, KPL Camar juga belajar melakukan pembibitan mangrove. Mereka terus mempelajari jenis-jenis mangrove yang mampu bertahan dan tumbuh di pesisir utara Kampung Tambakrejo.
Buah dari konsistensi melakukan penanaman, banyak pohon mangrove tumbuh rimbun di kawasan itu. Area hijau tersebut juga membentuk ekosistem baru yang menjadi habitat bagi berbagai makhluk hidup, seperti ikan dan burung.
“Ada perubahan kehidupan ekologi yang kami lihat di kawasan mangrove. Misalnya, kepiting bisa berkembang biak di bawahnya, ikan memijah di sela akar dan burung berteduh serta membuat sarang di atas (pohon mangrove),” imbuh Yazid.
Selain memberi dampak bagi lingkungan, kawasan mangrove juga membawa manfaat ekonomi bagi warga. Masyarakat Tambakrejo mengembangkan wisata edukasi serta memanfaatkan daun mangrove untuk dijadikan olahan menjadi keripik.
“Kami memiliki dua kelompok. KPL Camar yang anggotanya bapak-bapak fokus pada penanaman, pembibitan dan perawatan kawasan mangrove. Sementara para ibu yang tergabung dalam kelompok Merah Delima memanfaatkan mangrove untuk membuat berbagai produk, seperti brownies, stik dan keripik,” tuturnya.
Namun, dampak dari penanaman itu bukan hanya terasa di tingkat lokal.
Apa yang dilakukan warga Tambakrejo sejatinya juga berperan penting dalam menghadapi isu global yang lebih luas, perubahan iklim. Dari akar-akar mangrove itu, tersimpan potensi besar dalam menyerap karbon yang disebut sebagai “karbon biru.”
Modal Karbon Biru yang Belum Jadi Prioritas
Ekosistem mangrove dikenal sebagai bagian dari “karbon biru” (blue carbon), sistem alami yang mampu menyerap dan menyimpan karbon dalam jumlah besar dari atmosfer.
Berbeda dengan hutan darat, hutan mangrove dapat menyimpan karbon hingga lima kali lebih banyak di dalam tanah dan akar-akarnya. Karena itu, inisiatif warga Tambakrejo bukan hanya upaya lokal melawan rob, tetapi juga bagian dari solusi iklim global untuk menekan emisi karbon.
DI sisi lain, dosen dan peneliti kelautan Universitas Padjadjaran, Noir Primadona Purba, seperti dikutip dari The Conversation menilai target pengurangan emisi Indonesia masih tergolong kurang ambisius dibandingkan negara-negara lain di kawasan ASEAN.
Padahal, Indonesia memiliki potensi besar untuk berperan lebih kuat dalam mitigasi perubahan iklim lewat modal “karbon biru”.
Karbon biru merupakan karbon yang diserap dan disimpan oleh ekosistem pesisir dan perairan—seperti mangrove dan padang lamun, dalam sedimen dan biomassa mereka.
Indonesia memiliki sekitar 17 persen cadangan karbon biru dunia, menjadikannya salah satu negara dengan potensi penyerap karbon alami terbesar di planet ini.
Namun potensi ini, menurut Noir, belum dijadikan prioritas dalam kebijakan nasional.
“Kebijakan kita masih lebih banyak diarahkan ke sektor ekonomi konvensional, yang terlalu bergantung pada konsumsi domestik, bukan pada investasi jangka panjang untuk pemulihan ekosistem,” tulis Noir.
Restorasi dan perlindungan ekosistem pesisir belum ditempatkan sebagai pilar utama dalam dokumen Second NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia, padahal keduanya dapat menjadi kunci untuk menekan emisi sekaligus melindungi masyarakat pesisir dari dampak perubahan iklim seperti abrasi dan rob.
Jika pemerintah berani menjadikan blue carbon sebagai pilar kebijakan iklim, Indonesia bukan hanya dapat memperkuat posisi diplomatiknya di forum internasional, tetapi juga membuka peluang pendanaan baru untuk konservasi laut dan pembangunan rendah karbon.
Noir merekomendasikan agar pemerintah menaikkan target pengurangan emisi dengan memasukkan perlindungan ekosistem mangrove dan lamun sebagai bagian integral dari kebijakan iklim.
“Pemulihan dan perlindungan ekosistem pesisir harus menjadi fondasi dalam strategi iklim nasional,” tegasnya.
Dua Hektar Mangrove Rusak Terhantam Gelombang
Namun, di lapangan, fondasi itu tak selalu kokoh. Di Tambakrejo, menjaga ekosistem pesisir berarti juga berhadapan dengan gelombang, angin, dan waktu yang tak pernah benar-benar bersahabat.
Yazid menyampaikan bahwa merawat kawasan mangrove bukanlah pekerjaan yang mudah.
Tantangan terbesarnya bagaimana melindungi tanaman mangrove saat datang gelombang besar atau pada musim baratan.
Bahkan kawasan mangrove yang difokuskan untuk wisata edukasi sekitar dua hektare rusak parah pada akhir Desember 2024. Kerusakan itu disebabkan oleh gelombang besar yang memantul setelah menghantam tanggul laut di sisi timur.
Kini, Yazid merasa dilema. Di satu sisi, tanggul laut membantu mengurangi dampak rob, tetapi di sisi lain ia khawatir perubahan arah gelombang air laut bisa mengancam dan merusak kawasan mangrove tersebut.
“Dulu kan belum ada pelindung, jadi air laut langsung menghantam dan masuk ke kampung,” ungkap Yazid.
“Sekarang kebalikannya, gelombang berbalik ke timur dan merusak kawasan pohon mangrove. Sekitar dua hektare area mangrove habis, pohon-pohon yang sudah besar pun tumbang,” lanjutnya.
Berharap Tanggul Raksasa Tidak Merusak Kawasan Mangrove
Sebagai warga yang selama ini berjuang untuk menjaga kawasan pesisir secara alami, Yazid meminta pemerintah memperhatikan tata ruang seandainya rencana pembangunan Giant Sea Wall atau tanggul raksasa direalisasikan agar kawasan mangrove tidak terdampak. Atau sebaiknya pemerintah menangani persoalan pesisir dengan cara yang lebih ramah.
Yazid mengaku was-was mendengar rencana besar pemerintah pusat tersebut. Kawasan mangrove harus tetap dipertahankan karena berperan penting sebagai wilayah penyerapan karbon sekaligus penjaga keseimbangan ekosistem pesisir.
Hal senada disampaikan Ketua KPL Camar, Juraimi, yang meminta pemerintah melakukan analisis AMDAL secara mendalam sebelum membangun tanggul raksasa di wilayah pesisir. Proyek besar tersebut jangan sampai merusak ekosistem alami yang selama ini dibangun dan dijaga oleh warga.
Luas kawasan mangrove di Tambakrejo pernah hampir mencapai 10 hektare. Namun, akibat gelombang dan abrasi yang terus mengikis, kini area tersebut tersisa sekitar 7 hektare.
“Kawasan mangrove ini sebagai upaya kami menghijaukan pesisir. Tanpa kita sadari, mangrove ini menghasilkan karbon yang baik untuk pesisir,” ujar Juraimi.
Melalui benteng alami dan upaya penghijauan yang tidak pernah berhenti. Juraimi memiliki mimpi untuk mengembalikan Tambakrejo seperti dulu, warganya hidup makmur dari hasil tambak dan terbebas dari bencana ekologis.
Saat ini, Juraimi mengaku belum bisa menilai secara pasti apakah dampak pembangunan tanggul raksasa akan lebih banyak positif atau negatifnya. Namun, jika dampak negatifnya terhadap kawasan mangrove lebih besar, dia menegaskan secara lantang akan menolak.
Dia meyakini jika perlindungan kawasan pesisir hanya mengandalkan infrastruktur beton, hal itu justru dikhawatirkan akan merusak lingkungan dan ekosistem pesisir.
Tanggul Bukan Jawaban
Apa yang diyakini warga seperti Slamet ternyata sejalan dengan pandangan para peneliti. Menurut Aris Ismanto, dosen dan peneliti oseanografi Universitas Diponegoro, struktur beton seperti tanggul laut tidak bekerja selaras dengan dinamika alam.
Energi gelombang yang memantul ke arah daratan justru mengikis wilayah di sekitarnya. Abrasi muncul di titik-titik baru.
Masalah hanya berpindah tempat, sementara ekosistem pantai yang semestinya menyerap energi ombak—seperti mangrove dan padang lamun, semakin kehilangan perannya.
Lebih jauh, tanggul laut mengganggu keseimbangan ekologis pantai. Ia memutus aliran sedimen yang menjaga bentuk garis pantai dan menopang kehidupan biota laut.
Saat pasokan lumpur dan pasir terhenti, pantai perlahan menyempit. Kehidupan di dalamnya ikut memudar. Kepiting kehilangan tempat berkembang biak, burung pantai tak lagi bersarang, vegetasi pesisir mati perlahan, dan ikan-ikan muda kehilangan ruang untuk tumbuh.
Dampaknya merambat ke manusia. Nelayan kehilangan wilayah tangkap. Masyarakat pesisir kehilangan sumber penghidupan yang selama turun-temurun mereka jaga.
Dari sisi ekonomi, tanggul laut juga bukan solusi yang efisien. Proyek raksasa seperti Giant Sea Wall di Jakarta, misalnya, menelan biaya hingga Rp500 triliun.
Belum termasuk perawatan tahunan yang bisa mencapai Rp25 triliun. Tapi hasilnya sama saja. Dari Semarang, Pekalongan, hingga Jakarta, tanggul tetap bocor dan rembes.
Kenaikan muka laut memaksa tembok terus ditinggikan, menciptakan siklus biaya tanpa akhir dan ilusi keamanan yang rapuh.
Aris menekankan, pendekatan fisik semacam ini gagal menjawab akar persoalan.
Yang dibutuhkan bukan membangun lebih tinggi, tetapi lebih bijak. Melalui Integrated Coastal Zone Management (ICZM), pengelolaan wilayah pesisir dilakukan secara terpadu, menggabungkan perlindungan lingkungan, ekonomi berkelanjutan, dan keadilan sosial.
Rehabilitasi mangrove, restorasi terumbu karang, dan penguatan ekosistem pesisir bukan hanya menahan gelombang secara alami, tapi juga menghidupkan ekonomi warga lewat perikanan berkelanjutan dan ekowisata.
Menurut Aris, Indonesia bisa belajar dari Belanda. Negara itu tidak menantang laut, tapi bernegosiasi dengannya.
Lewat program Room for the River, mereka memperluas ruang air, memperkuat garis pantai dengan pasir, dan memulihkan ekosistem rawa serta lamun yang mampu meredam gelombang hingga 80%. Solusi berbasis alam terbukti lebih hemat, tangguh, dan berpihak pada manusia.
“Ketangguhan pesisir bukan soal seberapa tinggi tembok yang kita bangun,” kata Aris, “tetapi seberapa selaras kita hidup dengan alam yang menjaganya.”
Kontributor: Ikhsan
Berita Terkait
Terpopuler
- Terungkap! Kronologi Perampokan dan Penculikan Istri Pegawai Pajak, Pelaku Pakai HP Korban
- 5 Rekomendasi Motor yang Bisa Bawa Galon untuk Hidup Mandiri Sehari-hari
- 5 Bedak Padat yang Bagus dan Tahan Lama, Cocok untuk Kulit Berminyak
- 5 Parfum Aroma Sabun Mandi untuk Pekerja Kantoran, Beri Kesan Segar dan Bersih yang Tahan Lama
- 7 Pilihan Sepatu Lokal Selevel Hoka untuk Lari dan Bergaya, Mulai Rp300 Ribuan
Pilihan
-
Minta Restu Merger, GoTo dan Grab Tawarkan 'Saham Emas' ke Danantara
-
SoftBank Sutradara Merger Dua Musuh Bebuyutan GoTo dan Grab
-
Pertamina Bentuk Satgas Nataru Demi Pastikan Ketersediaan dan Pelayanan BBM
-
Jenderal TNI Muncul di Tengah Konflik Lahan Jusuf Kalla vs GMTD, Apa Perannya?
-
Geger Keraton Solo: Putra PB XIII Dinobatkan Mendadak Jadi PB XIV, Berujung Walkout dan Keributan
Terkini
-
Firli Bahuri Sambut Rencana Amnesti: Desak SP3 untuk Akhiri Status Tersangka Menggantung
-
Tragedi Longsor Cilacap: Belasan Rumah Terkubur, 20 Warga Masih dalam Pencarian Dramatis
-
Gegara Rokok, Bripda TT Tega Aniaya 2 Siswa SPN Hingga Viral, Kapolda NTT Tak Tinggal Diam
-
Fakta-fakta Roy Suryo Cs Diperiksa 9 Jam di Kasus Ijazah Jokowi, Berakhir Tak Ditahan
-
Meski Lebih Efisien, TII Ungkap Tantangan Baru dalam Pemisahan Jadwal Pemilu
-
Proyek Mal Mewah di Kelapa Gading Digerebek, 14 WNA China Kepergok Jadi Kuli Bangunan
-
Bobby Nasution Terseret Dugaan Korupsi Jalan, KPK Berani Penuhi Perintah Pengadilan?
-
Fandom Travel Jadi Sorotan di TOURISE 2025: Konten Hiburan yang Mendorong Kunjungan Wisata
-
Erika Carlina Kembali Bertemu DJ Panda di Polda, Pintu Damai Mulai Terbuka?
-
Denny Indrayana Turun Gunung Bela Roy Suryo Cs, Sebut Kasus Ijazah Jokowi Upaya Pembungkaman Kritis