News / Nasional
Selasa, 18 November 2025 | 15:35 WIB
Ilustrasi terorisme. [Ist]
Baca 10 detik
  • Densus 88 mencatat ada kenaikan masif jumlah anak yang direkrut jaringan terorisme, dari 17 anak dalam enam tahun menjadi 110 anak dalam setahun terakhir
  • Perekrutan dilakukan melalui propaganda di media sosial populer seperti Facebook, Instagram, dan game online, sebelum ditarik ke platform privat untuk doktrinasi
  • Polri menegaskan bahwa peran orang tua dan pengawasan keluarga menjadi benteng pertahanan pertama dan paling efektif untuk melindungi anak dari paparan radikalisme online

Suara.com - Peringatan keras datang dari Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri yang mengungkap fakta mengerikan: jaringan terorisme kini secara masif menyasar anak-anak Indonesia sebagai target rekrutmen baru mereka. Tak tanggung-tanggung, sebanyak 110 anak di bawah umur telah teridentifikasi masuk dalam radar jaringan berbahaya ini.

Angka ini menjadi alarm darurat bagi setiap orang tua di seluruh negeri. Data tersebut dipaparkan secara gamblang oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divhumas Polri, Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko.

“Ada sekitar 110 anak yang berusia rentang antara 10 hingga 18 tahun, tersebar di 23 provinsi, yang diduga terekrut oleh jaringan terorisme,” kata Trunoyudo dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa (18/11/2025).

Yang lebih mengkhawatirkan adalah metode yang digunakan. Para perekrut tidak lagi bergerak secara konvensional, melainkan menyusup melalui ruang digital yang paling dekat dengan anak-anak: media sosial dan game online.

Trunoyudo menjelaskan, propaganda disebar secara bertahap untuk memancing target.

“Propaganda pada awalnya diseminasi melalui platform yang lebih terbuka seperti Facebook, Instagram, dan game online,” katanya sebagaimana dilansir Antara.

Konten-konten tersebut dikemas sangat menarik, mulai dari video pendek, animasi, meme, hingga musik yang dirancang khusus untuk membangun kedekatan emosional dan menanamkan ketertarikan ideologis secara perlahan.

Setelah target terpancing, mereka akan dihubungi secara personal melalui platform yang lebih tertutup seperti Telegram untuk doktrinasi lebih lanjut.

Juru Bicara Densus 88 Antiteror Polri, AKBP Mayndra Eka Wardhana, menegaskan bahwa tren ini menunjukkan lonjakan yang sangat signifikan.

Baca Juga: Bukan Terorisme Jaringan, Bom SMAN 72 Ternyata Aksi 'Memetic Violence' Terinspirasi Dunia Maya

Sebagai perbandingan, pada periode 2011-2017, Densus 88 hanya mengamankan sekitar 17 anak. Kini, angka itu meledak menjadi 110 anak hanya dalam kurun waktu setahun terakhir.

“Ada proses yang sangat masif sekali rekrutmen yang dilakukan melalui media daring,” ujar Mayndra.

Densus 88 juga memetakan sejumlah faktor sosial yang membuat anak-anak menjadi sasaran empuk, di antaranya adalah pengalaman perundungan (bullying), kurangnya perhatian keluarga, krisis identitas, hingga minimnya literasi digital dan pemahaman agama yang dangkal.

Menghadapi ancaman nyata ini, Polri menyerukan kewaspadaan tingkat tinggi dari unit terkecil masyarakat, yaitu keluarga. Mayndra berpesan agar orang tua dan sekolah proaktif melakukan pengawasan dan deteksi dini terhadap perubahan perilaku anak.

“Berawal dari rumah itu yang paling efektif untuk melakukan pencegahan,” katanya.

Load More