News / Nasional
Sabtu, 22 November 2025 | 14:15 WIB
Ketua Pelaksana Harian Tim Koordinasi MBG, Nanik Sudaryati Deyang dalam rapat membahas Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Jumat (21/11/2025). [Suara.com/Adiyoga]
Baca 10 detik
  • Program MBG terancam krisis tenaga ahli gizi di ribuan dapur operasional.
  • Pemerintah janjikan status PNS untuk para ahli gizi yang bersedia mengisi kekosongan.
  • Ribuan dapur MBG juga belum lolos sertifikasi sanitasi dari Kementerian Kesehatan.

Suara.com - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang tengah digenjot pemerintah menghadapi dua tantangan krusial: krisis tenaga ahli gizi dan lambatnya sertifikasi sanitasi ribuan dapur atau SPPG di lapangan. Akibatnya, banyak dapur MBG terancam tidak dapat beroperasi.

Ketua Pelaksana Harian Tim Koordinasi MBG, Nanik Sudaryati Deyang, mengungkapkan bahwa kelangkaan ahli gizi menjadi kendala utama saat ini.

“Banyak dapur MBG tidak bisa beroperasi karena salah satu syarat utamanya adalah harus memiliki ahli gizi,” kata Nanik dalam rapat di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Jumat (21/11/2025).

Janji Status PNS untuk Ahli Gizi

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah menggandeng Persatuan Ahli Gizi (Persagi) dan menjanjikan status Pegawai Negeri Sipil (PNS) bagi para ahli gizi yang bersedia bertugas di dapur-dapur MBG.

Ketua Umum Persagi, Doddy Izwardy, menyambut baik tawaran tersebut dan menyatakan kesiapannya memobilisasi 53 ribu anggotanya.

“Kami mohon informasi di mana saja yang membutuhkan tenaga ahli gizi, dan kami mohon dibantu pengurusan status mereka nanti,” ujar Doddy.

Kementerian Kesehatan juga akan mengerahkan tenaga sukarela dari Puskesmas sebagai solusi jangka pendek untuk mengisi kekosongan tersebut.

Ribuan Dapur Belum Penuhi Standar Sanitasi

Baca Juga: PERSAGI Siapkan Lulusan Ahli Gizi untuk Perkuat Program Makan Bergizi Gratis

Selain krisis SDM, ribuan dapur juga belum mengantongi sertifikat kelayakan sanitasi. Direktur Kesehatan Lingkungan Kemenkes, Then Suyanti, membeberkan bahwa kegagalan ini disebabkan berbagai faktor, mulai dari kondisi bangunan (54 persen), peralatan (26 persen), hingga penjamah makanan (14 persen).

Menanggapi lambatnya proses sertifikasi, Nanik mendesak pemerintah daerah untuk mengambil langkah taktis, termasuk kembali ke cara manual jika diperlukan, demi mempercepat penerbitan sertifikat.

“Kita perlu cepat. Saya berharap, minggu depan sudah lebih banyak lagi SPPG yang memiliki sertifikat,” pungas Nanik.

Load More