News / Nasional
Selasa, 25 November 2025 | 15:39 WIB
Pulau Pari yang ditandai dengan patung Ikan Pari. (Suara.com/Ist)
Baca 10 detik
  • Ancaman lingkungan di Pulau Pari telah berlangsung sejak 2014, di mana warga menghadapi intimidasi dan kriminalisasi.
  • Korporasi seperti PT Bumi Raya dan PT CPS mengklaim lahan dan merusak ekosistem seperti terumbu karang melalui reklamasi.
  • Asmania menyuarakan kekecewaan atas pemerintah yang dinilai abai dan memberikan sanksi tidak tegas pada perusak lingkungan.

Suara.com - Konflik agraria dan ancaman kerusakan lingkungan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, masih terus membayangi warga setempat.

Hal ini disuarakan oleh Asmania, seorang warga Pulau Pari, dalam acara Diskusi Buku bertajuk “Pembangunan untuk Siapa? Kisah Perempuan di Kampung Kami” yang digelar pada Selasa, 25 November 2025.

Dalam kesempatan tersebut, Asmania menegaskan identitasnya sebagai bagian dari masyarakat pesisir yang hidupnya bergantung pada laut dan tanah kelahirannya.

Ia menuturkan bahwa upaya mempertahankan ruang hidup mereka belum usai.

“Perjuangan untuk perempuan-perempuan Pulau Pari sampai saat ini. Kami masih berjuang untuk ruang hidup dan penghidupan kita di Pulau Pari,” ucap Asmania dikutip pada Selasa (25/11/2025).

Menurut Asmania, akar permasalahan tak kunjung tuntas meski waktu terus berjalan.

“Karna konflik tanahnya sampai saat ini tidak terselesaikan ya, pemerintahnya lagi-lagi abai untuk hal ini,” ujar dia.

Asmania menceritakan sejarah panjang konflik yang telah berlangsung lebih dari satu dekade.

“Sudah 10 tahun ya kami berjuang, dari 2014 sampai sekarang,” katanya.

Baca Juga: Bekas Lahan Tambang Rusak? Begini Cara SIG Ubah Jadi Area Konservasi

Selama kurun waktu tersebut kata dia, warga kerap menghadapi intimidasi.

“Dari 2014 sudah banyak teman-teman kami dikriminalisasi. Perusahaan itu mengkriminalisasi teman-teman, mengintimidasi teman-teman,” katanya.

Ingatan akan represifitas aparat keamanan bahkan masih membekas kuat di benaknya.

“Ketika kami diinjak-injak polisi, didatangkan, itu yang membuat gak pernah hilang dari ingatan kami kayak gitu, sebagai perempuan,” tutur Asmania dengan getir.

Ancaman kini semakin nyata dengan hadirnya berbagai korporasi di wilayah tersebut.

“Sekarang, banyak sekali perusahan-perusahan yang lain yang akhirnya hadir lagi di gugusan Pulau Pari,” jelasnya.

Ia merinci klaim-klaim perusahaan yang menguasai wilayah darat dan laut.

“Mengklaim Pulau Pari itu di daratannya itu ada PT Bumi Raya, mereka bergerak di bidang resort sedangkan di gugusannya juga sudah ada PT CPS, Panorama, kaya gitu.”

Dampak lingkungan dari kehadiran korporasi tersebut dirasakan langsung oleh warga.

“Mereka merusak ekosistem yang ada di gugusan Pulau Pari. Karena yang mereka terbitkan izinnya itu kawasan mangrove kami, padang lamun, terumbu karang, di situ ekosistem kami yang sangat terjaga, tiba-tiba dirusak, terus setiap harinya dirusak,” ucapnya.

Reklamasi menjadi isu utama yang dikhawatirkan akan mematikan mata pencaharian mereka.

“Jika laut di gugusan Pulau Parinya, terus-terusan direklamasi sama perusahaan-perusahaan yang itu dilancarkan sama pemerintah. Itu akan membuat lebih sengsara kami yang tinggal di Pulau Pari,” tegas Asmania.

“Nah tapi tantangan kami lagi sebagai pejuang lingkungan sekarang laut kami terus-terusan direklamasi sama perusahaan kayak gitu,” tambahnya.

Asmania, seorang warga Pulau Pari. (Suara.com/Safelia)

Asmania meluapkan kekecewaannya terhadap pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat kecil, meskipun rezim berganti.

“Lagi-lagi ketika mereka mereklamasi dan bisa ada terbit izin-izin yang di gugusan Pulau Pari, itu semakin tidak percayanya lagi kami sama pemerintah,” ujarnya.

Kekecewaan itu memuncak ketika melihat sanksi yang tidak tegas bagi perusak lingkungan.

“Kami sedihkan ketika mereka pelaku kerusakan hanya dikenakan sanksi administratif. Itu yang sangat membuat kamu kecewa kepada pemerintah,” ujarnya.

Ia menambahkan pemerintah sampai saat ini belum berpihak kepada warga yang ada di Pulau Pari.

“Lagi-lagi pemerintahnya sampai saat ini, walaupunn berganti-ganti pemimpin, ketika dia tidak berpihak sama kita, kita akan tetap berjuang, gitu. Lagi-lagi tidak ada kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada kami,” katanya.

Asmania juga menampik narasi lapangan kerja yang sering didengungkan pengembang.

“Dengan dalih mereka banyak menciptakan lapangan, bagi kami itu bullshit. Karena sampai saat ini warga-warga yang bekerja di sana hanya jadi tukang kebun,” kata dia.

Di tengah himpitan tersebut, perempuan Pulau Pari mencoba bertahan dengan mengelola potensi alam secara mandiri.

“Sekarang kelompok kami berjuang secara mengolah lahan dan kebun serta membuka pantai di sana sebagai salah satu ikon wisata yang ada di Pulau Pari. Kami perempuan pesisir berjuang melalui bertanam,” kata Asmania.

Namun, pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan tetap menjadi ancaman.

“Dengan adanya pembangunan-pembangunan yang ada di gugusan Pulau Pari, itu sangat menyengsarakan kami. Khususnya nelayan, sekarang sudah menghadapi krisis iklim, korporasi yang terus-terusan merusak,” kata dia.

Lebih lanjut, Asmania juga menegaskan tekad warga untuk tidak menyerah mempertahankan tanah kelahiran mereka.

“Kenapa kami sampai saat ini masih memperjuangkan? ruang hidup kami di sana, karena kami lahir di sana, besar di sana, anak-anak kami lahir di sana, kami mencari nafkah di sana, mungkin kami juga akan mati di Pulau Pari,” ucapnya haru.

“Jadi ada hak dan kewajiban kami untuk tetap memperjuangkan Pulau Pari sampai titik darah penghabisan. Nah kami yang masih berjuang untuk itu gitu, kami tidak mau dan selalu menolak ketika ada kerusakan-kerusakan kayak gitu,” pungkas Asmania.

Reporter: Safelia Putri

Load More