News / Nasional
Jum'at, 28 November 2025 | 14:41 WIB
Arya Daru Pangayunan. (AI)
Baca 10 detik
  • Jenazah diplomat Arya Daru Pangayunan ditemukan tak bernyawa di Jakarta pada 8 Juli 2025, memicu penyelidikan dengan 24 saksi.
  • Polisi menyimpulkan kematian korban adalah bunuh diri berdasarkan autopsi dan jejak digital, namun keluarga menolak karena temuan fisik.
  • Polemik timbul akibat kegagalan komunikasi antara nalar hukum polisi dan harapan keluarga korban mengenai bukti kematian.

Dalam riwayat komunikasi itu, Arya juga disebut pernah berhubungan dengan Samaritans — sebuah badan amal yang terdaftar di Inggris dan Irlandia yang memberikan dukungan emosional rahasia bagi orang-orang yang mengalami depresi dan putus asa, termasuk mereka yang berisiko bunuh diri.

Sementara, keluarga menolak mentah-mentah narasi tersebut. Bagi mereka, kondisi fisik jenazah "berteriak" sebaliknya. Adanya lilitan lakban di wajah, luka memar di leher dan pelipis, serta temuan empat sidik jari di lakban —tiga di antaranya belum teridentifikasi—menjadi dasar keluarga meyakini adanya tindak pidana atau keterlibatan pihak lain.

Ketidakpastian ini menciptakan ruang kosong yang menyakitkan. Ketika polisi mengatakan Arya meninggal dunia tanpa keterlibatan orang lain, sementara mata keluarga melihat tanda kekerasan, tanpa adanya penjelasan jembatan yang memadai, maka benih ketidakpercayaan mulai tumbuh.

Krisis Komunikasi Antara Polisi dan Keluarga

Poin paling krusial dari kasus Arya adalah bagaimana keluarga merasa diposisikan sebagai "orang luar" dalam penyelidikan kematian anggota keluarga mereka sendiri.

Kuasa hukum keluarga, Nicholay Aprilindo, berulang kali menyuarakan rasa frustrasi karena minimnya transparansi. Salah satunya soal informasi krusial seperti riwayat check-in hotel dengan Vara yang baru dibuka secara gamblang kepada perwakilan keluarga dalam audiensi yang digelar 26 November 2025 kemarin.

“Tapi tidak diketahui pasti check-in ini untuk apa dan untuk siapa? Yang jelas dikatakan itu bersama seorang wanita bernama Vara. Makanya kami minta untuk diperdalam pemeriksaan terhadap Vara,” tegas Nicholay.

Nicholay menilai polisi selama ini selalu berlindung di balik alasan "privasi" untuk tidak membuka data tersebut. Padahal, bagi keluarga, transparansi—betapapun pahitnya fakta tersebut—jauh lebih berharga daripada perlindungan privasi yang justru memicu tanda tanya.

Penolakan keluarga ini memunculkan pertanyaan besar: mengapa sering terjadi jurang perbedaan (gap) yang lebar antara kesimpulan polisi dengan keyakinan keluarga dalam kasus kematian tak wajar?

Baca Juga: Sebut Polisi Penjaga Supremasi Sipil, Direktur RPI: Ada Hubungan Erat dengan Masyarakat

Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, membedah fenomena ini. Menurutnya, persoalan ini bukan sekadar masalah teknis forensik, melainkan adanya kegagalan komunikasi dalam menjembatani "nalar hukum" dengan "nalar publik".

Kuasa hukum pihak keluarga diplomat muda Kemlu RI, Arya Daru Pangayunan (ADP), Nicholay Aprilindo saat ditemui di Mapolda Metro Jaya, Rabu (26/11/2025). ANTARA/Ilham Kausar

Benturan antara Harapan vs Scientific Crime Investigation

Menurut Bambang, akar masalah dari ketidakpercayaan keluarga bermula dari perbedaan landasan berpikir. Keluarga korban, yang sedang berduka, seringkali memiliki asumsi dan harapan yang didasarkan pada pengenalan mereka terhadap karakter korban.

Namun, kepolisian bekerja dengan metode Scientific Crime Investigation (SCI).

“Kepolisian bekerja mencari alat bukti—baik forensik, autopsi, maupun keterangan saksi—untuk menelusuri penyebab hilangnya nyawa. Alat bukti ini tidak bisa dipaksakan untuk menyesuaikan dengan asumsi atau harapan ahli waris,” ujar Bambang kepada Suara.com

Dalam kasus Arya, Bambang menilai polisi kesulitan atau memang tidak menemukan alat bukti fisik yang menunjukkan kehadiran orang lain di lokasi kejadian (TKP) saat kematian terjadi. Tanpa bukti tersebut, secara hukum, kesimpulan mengarah pada tindakan bunuh diri atau kecelakaan tunggal.

Load More