- Jenazah diplomat Arya Daru Pangayunan ditemukan tak bernyawa di Jakarta pada 8 Juli 2025, memicu penyelidikan dengan 24 saksi.
- Polisi menyimpulkan kematian korban adalah bunuh diri berdasarkan autopsi dan jejak digital, namun keluarga menolak karena temuan fisik.
- Polemik timbul akibat kegagalan komunikasi antara nalar hukum polisi dan harapan keluarga korban mengenai bukti kematian.
Dalam riwayat komunikasi itu, Arya juga disebut pernah berhubungan dengan Samaritans — sebuah badan amal yang terdaftar di Inggris dan Irlandia yang memberikan dukungan emosional rahasia bagi orang-orang yang mengalami depresi dan putus asa, termasuk mereka yang berisiko bunuh diri.
Sementara, keluarga menolak mentah-mentah narasi tersebut. Bagi mereka, kondisi fisik jenazah "berteriak" sebaliknya. Adanya lilitan lakban di wajah, luka memar di leher dan pelipis, serta temuan empat sidik jari di lakban —tiga di antaranya belum teridentifikasi—menjadi dasar keluarga meyakini adanya tindak pidana atau keterlibatan pihak lain.
Ketidakpastian ini menciptakan ruang kosong yang menyakitkan. Ketika polisi mengatakan Arya meninggal dunia tanpa keterlibatan orang lain, sementara mata keluarga melihat tanda kekerasan, tanpa adanya penjelasan jembatan yang memadai, maka benih ketidakpercayaan mulai tumbuh.
Krisis Komunikasi Antara Polisi dan Keluarga
Poin paling krusial dari kasus Arya adalah bagaimana keluarga merasa diposisikan sebagai "orang luar" dalam penyelidikan kematian anggota keluarga mereka sendiri.
Kuasa hukum keluarga, Nicholay Aprilindo, berulang kali menyuarakan rasa frustrasi karena minimnya transparansi. Salah satunya soal informasi krusial seperti riwayat check-in hotel dengan Vara yang baru dibuka secara gamblang kepada perwakilan keluarga dalam audiensi yang digelar 26 November 2025 kemarin.
“Tapi tidak diketahui pasti check-in ini untuk apa dan untuk siapa? Yang jelas dikatakan itu bersama seorang wanita bernama Vara. Makanya kami minta untuk diperdalam pemeriksaan terhadap Vara,” tegas Nicholay.
Nicholay menilai polisi selama ini selalu berlindung di balik alasan "privasi" untuk tidak membuka data tersebut. Padahal, bagi keluarga, transparansi—betapapun pahitnya fakta tersebut—jauh lebih berharga daripada perlindungan privasi yang justru memicu tanda tanya.
Penolakan keluarga ini memunculkan pertanyaan besar: mengapa sering terjadi jurang perbedaan (gap) yang lebar antara kesimpulan polisi dengan keyakinan keluarga dalam kasus kematian tak wajar?
Baca Juga: Sebut Polisi Penjaga Supremasi Sipil, Direktur RPI: Ada Hubungan Erat dengan Masyarakat
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, membedah fenomena ini. Menurutnya, persoalan ini bukan sekadar masalah teknis forensik, melainkan adanya kegagalan komunikasi dalam menjembatani "nalar hukum" dengan "nalar publik".
Benturan antara Harapan vs Scientific Crime Investigation
Menurut Bambang, akar masalah dari ketidakpercayaan keluarga bermula dari perbedaan landasan berpikir. Keluarga korban, yang sedang berduka, seringkali memiliki asumsi dan harapan yang didasarkan pada pengenalan mereka terhadap karakter korban.
Namun, kepolisian bekerja dengan metode Scientific Crime Investigation (SCI).
“Kepolisian bekerja mencari alat bukti—baik forensik, autopsi, maupun keterangan saksi—untuk menelusuri penyebab hilangnya nyawa. Alat bukti ini tidak bisa dipaksakan untuk menyesuaikan dengan asumsi atau harapan ahli waris,” ujar Bambang kepada Suara.com
Dalam kasus Arya, Bambang menilai polisi kesulitan atau memang tidak menemukan alat bukti fisik yang menunjukkan kehadiran orang lain di lokasi kejadian (TKP) saat kematian terjadi. Tanpa bukti tersebut, secara hukum, kesimpulan mengarah pada tindakan bunuh diri atau kecelakaan tunggal.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas Selevel Innova Budget Rp60 Jutaan untuk Keluarga Besar
- 5 Pilihan Ban Motor Bebas Licin, Solusi Aman dan Nyaman buat Musim Hujan
- 5 HP Memori 128 GB Paling Murah untuk Penggunaan Jangka Panjang, Terbaik November 2025
- 5 Mobil Keluarga Bekas Kuat Tanjakan, Aman dan Nyaman Temani Jalan Jauh
- Cara Cek NIK KTP Apakah Terdaftar Bansos 2025? Ini Cara Mudahnya!
Pilihan
-
Tidak Ada Nasi di Rumah, Ibu di Makassar Mau Lempar Anak ke Kanal
-
Cuaca Semarang Hari Ini: Waspada Hujan Ringan, BMKG Ingatkan Puncak Musim Hujan Makin Dekat
-
Menkeu Purbaya Mau Bekukan Peran Bea Cukai dan Ganti dengan Perusahaan Asal Swiss
-
4 HP dengan Kamera Selfie Beresolusi Tinggi Paling Murah, Cocok untuk Kantong Pelajar dan Mahasiswa
-
4 Rekomendasi HP Layar AMOLED Paling Murah Terbaru, Nyaman di Mata dan Cocok untuk Nonton Film
Terkini
-
Fisik Mulai Pulih, Psikis Belum Stabil: Pemeriksaan F Pelaku Ledakan SMAN 72 Masih Tertunda
-
Babak Baru Kasus Alvaro Kiano: Polisi Dalami Keterlibatan Pihak Lain, Siapa Komplotan Alex?
-
Polda Siapkan Gelar Perkara Khusus Kasus Ijazah Jokowi: Permintaan Roy Suryo Cs Jadi Pemicu?
-
Viral Bocah SD PP Naik KRL Tangerang-Jakarta Demi Sekolah, Rano Karno: Kamu Hebat Nak!
-
Babak Baru Kasus Ijazah Palsu Jokowi: Polisi Gelar Perkara Khusus, Nasib Roy Suryo Cs Ditentukan
-
Jelang Nataru, Polda Metro Jaya Siagakan 1.500 Satpam dan Satkamling
-
Pakar UGM: Drama Tumbler Viral Jadi Cerminan Lemahnya Prosedur Layanan Publik
-
Momen Mensos Santap Menu MBG Langsung dari Dapurnya, Begini Reaksinya
-
KPK Soal Pembebasan Ira Puspadewi Cs: Secepatnya Ya
-
Belum Terima BLTS? PT Pos Indonesia Pastikan Surat Pemberitahuan Masih Terus Didistribusikan