News / Nasional
Senin, 01 Desember 2025 | 18:32 WIB
Ilustrasi Hafitar, bocah kelas 1 SD yang berangkat sekolah naik KRL dari Tangerang ke Klender, Jakarta Timur. [Suara.com]
Baca 10 detik
  • Perjuangan Hafitar menempuh puluhan kilometer demi sekolah menjadi viral di media sosial.
  • Kisahnya mengungkap potret buram ketimpangan akses pendidikan yang nyata di Indonesia.
  • Kebijakan reaktif pemerintah dinilai belum menjawab akar masalah sistemik dunia pendidikan.

"Media sosial mengubah pola respons pemerintah. Kebijakan seringkali responsif, menunggu viral dulu baru bertindak," tambahnya.

Infografis amanat pendidikan untuk semua. [Dok. Suara.com]

Meski ada kekhawatiran akan viral fatigue, di mana perhatian publik cepat surut, Nova meyakini isu-isu seperti ini akan terus mendapat respons. Namun, ia menekankan bahwa kasus seperti Hafitar seharusnya tak perlu viral jika pemerintah memiliki sistem deteksi dini dan proaktif mencari solusi.

Pendidikan yang Belum Berpihak pada Semua

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matarji, menggarisbawahi akar masalahnya: layanan pendidikan di Indonesia yang belum berkeadilan. Menurutnya, pemerintah kerap lebih memprioritaskan anak-anak berprestasi dan mengabaikan mereka yang memiliki nilai akademik biasa.

"Mestinya semua anak punya kesempatan dan mendapatkan layanan pendidikan yang berkeadilan," tegasnya.

Ubaid mendesak pemerintah untuk memastikan ketersediaan bangku sekolah sebanding dengan jumlah anak usia sekolah.

"Kalau bangkunya kurang, ya wajib ditambah. Kalau sekolahnya tidak ada, ya wajib membangun sekolah baru. Bukan seperti saat ini, masuk sekolah kok diseleksi," kritiknya.

Ia menilai, meski peraturan perundang-undangan sudah ideal, komitmen pemerintah dalam melaksanakannya sangat buruk. Anggaran pendidikan, yang seharusnya menjadi prioritas, justru kerap dialihkan ke program lain yang kurang mendesak.

Menurut Ubaid, kegagalan ini berpangkal pada satu hal: komitmen pemerintah yang buruk dalam menjalankan amanat konstitusi. Ia secara gamblang menunjuk adanya kebijakan yang salah arah, di mana anggaran pendidikan rela dikorbankan untuk program seperti makan bergizi gratis (MBG). 

Baca Juga: Perempuan yang Dorong Petugas hingga Nyaris Tersambar KRL Ternyata ODGJ

"Padahal banyak sekolah roboh, banyak daerah kekurangan bangku sekolah, bahkan sekolah saja tidak ada," pungkasnya.

Load More