News / Nasional
Jum'at, 05 Desember 2025 | 13:38 WIB
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit. (Suara.com/Aldie)
Baca 10 detik
  • Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa kelapa sawit menyerap karbon dioksida, memicu perdebatan di tengah bencana banjir Sumatra.
  • Penelitian UGM menunjukkan hutan alam berfungsi penyerap air superior berbanding terbalik dengan perkebunan kelapa sawit monokultur.
  • Data WALHI dan KLHK mengonfirmasi hilangnya hutan signifikan terkait ekspansi sawit, berkorelasi dengan peningkatan bencana hidrologis.

Suara.com - Di tengah deru mesin pompa air dan isak tangis korban banjir di berbagai penjuru Sumatra, sebuah perdebatan kembali mengemuka, dipicu oleh pernyataan sederhana dari sang pemimpin negara.

“Kelapa sawit itu pohon, ada daunnya kan? Dia menyerap karbondioksida,” demikian kata Presiden Prabowo Subianto pada 30 Desember 2024 lalu.

Pernyataan ini sontak menjadi sorotan, bukan karena salah secara harfiah, tetapi karena dianggap menyederhanakan masalah ekologis yang sangat kompleks.

Sebab, ketika banjir bandang dan longsor menerjang Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat pada akhir 2025, banyak ilmuwan dan aktivis lingkungan menunjuk satu 'tersangka' utama yang sama, yakni masifnya alih fungsi hutan menjadi perkebunan, terutama kelapa sawit.

Lantas, mengapa tanaman yang secara kasat mata tampak seperti pohon ini justru dituding sebagai biang kerok bencana hidrologis? Jawabannya terletak pada sains fundamental yang seringkali terabaikan.

Secara Sains, Sawit Memang Bukan Pohon Hutan

Ilustrasi perkebunan sawit. [Ist]

Secara ekologis dan hidrologis, membandingkan kebun kelapa sawit dengan hutan alam ibarat membandingkan lantai keramik dengan spons raksasa. Keduanya adalah permukaan, namun kemampuannya menyerap air sangat jauh berbeda.

Peneliti Hidrologi Hutan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Hatma Suryatmojo, menjelaskan, bahwa hutan alam adalah sebuah sistem penyangga hidrologis yang sempurna. Vegetasi hutan yang berlapis-lapis dan rimbun mampu menahan dan menyerap air hujan secara luar biasa.

Penelitian di hutan tropis Sumatra dan Kalimantan menunjukkan kemampuan hutan menahan air di tajuknya (intersepsi) bisa mencapai 15-35 persen. Lebih penting lagi, tanahnya yang gembur dan penuh dengan jaringan akar mampu menyerap air (infiltrasi) hingga 55 persen.

Baca Juga: Viral Bupati Bireuen Sebut Tanah Banjir Cocok Ditanami Sawit, Tuai Kecaman Publik

“Sehingga limpasan permukaan (surface runoff) yang mengalir ke badan sungai hanya tersisa 10-20 persen saja,” kata Hatma yang dipublikasi oleh UGM, dikutip pada Kamis (4/12/2025).

Kondisi ini berbanding terbalik 180 derajat dengan perkebunan kelapa sawit. Berikut adalah perbedaannya:

Akar Serabut vs Akar Tunggang: Pohon hutan memiliki akar tunggang yang menghujam ke dalam tanah, menciptakan pori-pori dan jalur air, sekaligus mencengkeram tanah dengan kuat. Sebaliknya, sawit memiliki akar serabut yang dangkal dan menyebar di permukaan, membuatnya sangat lemah dalam menahan tanah dari erosi.

Lantai Hutan yang Hilang: Hutan alami memiliki lantai yang ditutupi serasah (daun dan ranting mati) tebal yang berfungsi seperti spons. Di kebun sawit, lantai hutan cenderung 'bersih' karena praktik agronomi, menghilangkan kemampuan vital ini.

Monokultur vs Keanekaragaman: Kebun sawit adalah tanaman monokultur yang seragam. Hutan memiliki kanopi berlapis-lapis yang efektif memecah energi butiran hujan sebelum jatuh ke tanah.

Akibatnya, saat hujan deras mengguyur hamparan kebun sawit, mayoritas air tidak terserap. Ia menjadi aliran permukaan masif yang langsung meluncur ke sungai, membawa serta lapisan tanah atas (topsoil) yang tidak terikat kuat.

Load More