News / Nasional
Jum'at, 05 Desember 2025 | 13:38 WIB
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit. (Suara.com/Aldie)
Baca 10 detik
  • Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa kelapa sawit menyerap karbon dioksida, memicu perdebatan di tengah bencana banjir Sumatra.
  • Penelitian UGM menunjukkan hutan alam berfungsi penyerap air superior berbanding terbalik dengan perkebunan kelapa sawit monokultur.
  • Data WALHI dan KLHK mengonfirmasi hilangnya hutan signifikan terkait ekspansi sawit, berkorelasi dengan peningkatan bencana hidrologis.

“Ketika hutan hulu rusak atau gundul, siklus hidrologi alami itu ikut terganggu... mayoritas hujan menjadi limpasan permukaan yang langsung mengalir deras ke hilir,” kata Hatma.

Sungai pun mengalami dua masalah sekaligus: debit air yang meledak tiba-tiba dan pendangkalan parah akibat sedimentasi. Inilah resep sempurna untuk bencana banjir bandang.

Dari Teori ke Bencana: Angka Tak Bisa Bohong

Ilustrasi kelapa sawit. (Freepik)

Apa yang dijelaskan para ilmuwan bukanlah sekadar teori. Data di lapangan menunjukkan korelasi yang mengerikan antara hilangnya hutan dan meluasnya kebun sawit dengan frekuensi bencana di Sumatra.

Menurut data BPS 2024, Indonesia memiliki kebun sawit seluas 16 juta hektare, dengan Riau menjadi provinsi terluas di Sumatra (3,4 juta hektare).

Di sisi lain, data kompilasi WALHI menunjukkan, hanya dalam periode 2016 hingga 2025, seluas 1,4 juta hektare hutan di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat telah hilang akibat aktivitas 631 perusahaan, termasuk pemegang Hak Guna Usaha (HGU) sawit.

Bahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2022 menegaskan bahwa sawit bukan tanaman hutan dan mencatat ada sekitar 3,2 juta hektare sawit ilegal di dalam kawasan hutan.

“Ini menunjukkan bahwa pernyataan Presiden Prabowo tidak berdasarkan data dan fakta yang diterbitkan pemerintah sendiri,” kata Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, Uli Arta Siagian (31/12/2024) lalu.

Suara dari Lokasi Bencana: Akumulasi Kerusakan

Baca Juga: Viral Bupati Bireuen Sebut Tanah Banjir Cocok Ditanami Sawit, Tuai Kecaman Publik

1,4 juta hektare hutan di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat terdeforestasi (2016-2025). (Dok. WALHI)

Para aktivis di daerah yang terdampak langsung merasakan akibat dari perubahan lanskap ini selama bertahun-tahun. Mereka menyebut bencana yang terjadi bukanlah fenomena alam biasa, melainkan bencana ekologis yang diproduksi oleh kebijakan.

Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Ahmad Solihin, menyebut banjir berulang di wilayahnya adalah hasil akumulasi dari deforestasi dan ekspansi sawit. Ia mencontohkan Daerah Aliran Sungai (DAS) Singkil yang telah kehilangan tutupan hutan seluas 820.243 hektar atau 66% dalam 10 tahun terakhir.

“Banjir berulang ini sebagai hasil akumulasi dari deforestasi, ekspansi sawit, hingga Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang dibiarkan merajalela,” ujar Solihin.

Kondisi serupa terjadi di Sumatera Utara, di mana wilayah kritis seperti Tapanuli Tengah dan Sibolga yang hulunya berada di Ekosistem Batang Toru terus tergerus.

“Dalam delapan tahun terakhir WALHI Sumut mengkritisi terus-menerus model pengelolaan Batang Toru... Semua aktivitas eksploitasi dilegalisasi oleh pemerintah melalui proses pelepasan kawasan hutan,” tutur Direktur Eksekutif WALHI Sumut, Riandra Purba.

Greenpeace Indonesia menambahkan, pemerintah harus berhenti menyalahkan faktor tunggal seperti penebangan liar dan mulai mengakui kegagalan tata kelola lahan yang lebih sistemik.

Load More