-
Permentan 33/2025 wajibkan 36 indikator tenaga kerja untuk sertifikasi ISPO.
-
Perlindungan anak dan pekerja perempuan jadi fokus utama keberlanjutan sawit.
-
69% anggota GAPKI sudah tersertifikasi ISPO, kampanye pekerja anak dinilai keliru.
Suara.com - Industri kelapa sawit kini memasuki fase pengawasan ketenagakerjaan yang jauh lebih ketat setelah Kementerian Pertanian menetapkan Permentan 33/2025 tentang Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan (ISPO) sebagai payung hukum baru.
Regulasi ini mengikat seluruh perusahaan sawit untuk memenuhi 5 kriteria dan 36 indikator ketenagakerjaan, termasuk larangan pekerja anak, kesetaraan gender, hingga perlindungan menyeluruh bagi tenaga kerja.
Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma Kementerian Pertanian, Baginda Siagian, menegaskan bahwa seluruh aktivitas perusahaan sawit kini harus mencerminkan kontribusi terhadap 17 tujuan SDGs. Kinerja ketenagakerjaan akan berpengaruh langsung pada hasil audit ISPO, apalagi Bappenas telah mengaitkan standar SDG’s dengan penilaian pembangunan nasional.
Menurut Baginda, penguatan aspek ketenagakerjaan bukan sekadar memenuhi tuntutan global, tetapi kebutuhan domestik. Indonesia memiliki 9,6 juta pekerja langsung dan 7–8 juta pekerja tidak langsung di sektor sawit, dengan sedikitnya 50 juta jiwa bergantung pada ekosistem ini. Sawit pun menyumbang 3,5% PDB dan menopang ketahanan energi melalui program B40 dan rencana B50.
Meski demikian, ia mengakui persisten adanya tantangan lapangan seperti penempatan pekerja perempuan di pekerjaan berisiko, kesenjangan upah, keterbatasan APD, belum meratanya fasilitas penitipan anak, serta akses kesehatan yang tidak seragam. Isu pekerja anak juga kerap muncul akibat salah persepsi ketika anak hanya ikut orang tuanya sepulang sekolah.
“Namun perusahaan tetap dilarang mempekerjakan anak dalam bentuk apa pun,” tegas Baginda dalam sebuah diskusi di Kementerian Pertanian awal pekan ini.
Sejumlah pemangku kepentingan industri sawit menilai, perlindungan anak dan pekerja perempuan kini menjadi prioritas utama perusahaan besar. Banyak fasilitas perkebunan telah setara dengan standar kantor di kota besar, seperti ruang laktasi, posyandu, layanan kesehatan, PAUD, hingga Rumah Perlindungan Pekerja Perempuan (RP3).
Ketua Forwatan, Beledug Bantolo, menilai isu humanisme masih kurang mendapat perhatian publik, terutama terkait beban ganda perempuan dan belum meratanya fasilitas penitipan anak. Di sisi lain, tantangan seperti penyitaan lahan dan stigma pekerja anak masih perlu diluruskan.
Peneliti Utama BRIN, Delima Hasri Azahari, menegaskan bahwa banyak temuan “pekerja anak” berasal dari kesimpulan keliru pihak eksternal. Ia mendorong penguatan fasilitas lapangan, termasuk klinik kebun 24 jam dan sanitasi di sekitar perkebunan. “Kerangka hukum sudah kuat, implementasinya yang perlu diperketat melalui audit,” ujarnya.
Baca Juga: Menkeu Purbaya Ingin Kelapa Sawit Tetap Jadi Tulang Punggung Industri Indonesia
Dari sisi pelaku usaha, GAPKI menegaskan bahwa 758 perusahaan anggotanya telah menjalankan program perlindungan pekerja—mulai dari APD, pelatihan K3, posyandu, ruang laktasi, hingga RP3. GAPKI juga menyatakan isu upah perempuan tidak akurat karena perbedaan lebih banyak terjadi akibat pilihan jam kerja, bukan diskriminasi. “Kalau karyawan tetap, upahnya sama,” tegas Marja Yulianti dari GAPKI.
GAPKI juga menyebut isu pekerja anak sering digunakan sebagai kampanye hitam terhadap industri sawit. Saat ini 69% perusahaan anggota GAPKI telah tersertifikasi ISPO, menandakan peningkatan signifikan terhadap perlindungan anak dan perempuan.
Dari sisi pemberdayaan, Solidaridad Indonesia menilai bahwa penguatan peran perempuan petani dan pekerja merupakan investasi strategis mewujudkan sawit bebas pekerja anak. Studi UNICEF dan PAACLA menunjukkan bahwa formalisasi pekerja perempuan menjadi tenaga kerja berkontrak adalah intervensi paling efektif memutus rantai pekerja anak, jauh lebih kuat daripada sekadar larangan.
“Kami percaya ketika perempuan memiliki akses setara terhadap sumber daya dan hak, stabilitas ekonomi keluarga meningkat, dan risiko anak ikut bekerja di kebun menurun,” ujar Edy Dwi Hartono, Solidaridad Indonesia.
Dengan Permentan 33/2025, seluruh perusahaan sawit kini wajib memenuhi standar ketenagakerjaan secara menyeluruh. Regulasi ini menandai era baru ISPO: lebih ketat, lebih berorientasi pada SDGs, dan semakin menekankan perlindungan anak serta pekerja perempuan sebagai fondasi sawit berkelanjutan.
Berita Terkait
Terpopuler
- Naksir Avanza Tahun 2015? Harga Tinggal Segini, Intip Pajak dan Spesifikasi Lengkap
- 5 Krim Kolagen Terbaik yang Bikin Wajah Kencang, Cocok untuk Usia 30 Tahun ke Atas
- 7 Rekomendasi Ban Motor Anti Slip dan Tidak Cepat Botak, Cocok Buat Ojol
- 5 Mobil Bekas Senyaman Karimun Budget Rp60 Jutaan untuk Anak Kuliah
- 5 Rekomendasi Bedak Waterproof Terbaik, Anti Luntur Saat Musim Hujan
Pilihan
-
Google Munculkan Peringatan saat Pencarian Bencana Banjir dan Longsor
-
Google Year in Search 2025: Dari Budaya Timur hingga AI, Purbaya dan Ahmad Sahroni Ikut Jadi Sorotan
-
Seberapa Kaya Haji Halim? Crazy Rich dengan Kerajaan Kekayaan tapi Didakwa Rp127 Miliar
-
Toba Pulp Lestari Dituding Biang Kerok Bencana, Ini Fakta Perusahaan, Pemilik dan Reaksi Luhut
-
Viral Bupati Bireuen Sebut Tanah Banjir Cocok Ditanami Sawit, Tuai Kecaman Publik
Terkini
-
Harga Bitcoin Mulai Naik Lagi, Apa Pemicunya?
-
Transisi Hijau dalam Konstruksi Jadi Kunci Reindustrialisasi Regeneratif
-
Harga Emas Pegadaian Turun Tiga Hari Beruntun
-
OJK: Industri Asuransi Dilarang Naikkan Tarif Premi Tanpa Izin Nasabah
-
Pemerintah Diminta Kompak Atasi Pertumbuhan Industri Otomotif yang Lesu
-
Toba Pulp Lestari Dituding Biang Kerok Bencana, Ini Fakta Perusahaan, Pemilik dan Reaksi Luhut
-
Cara Transfer Saham di Stockbit dari Sekuritas Lain
-
Bangunan Tercemar Radioaktif, Bapeten Pertimbangkan Pindahkan Warga di Cikande Secara Permanen
-
BRI 130 Tahun: Menguatkan Inklusi Keuangan dari Desa ke Kota
-
PLTN Ditargetkan Beroperasi 2032, Aturan tentang Badan Operasional Tinggal Tunggu Persetujuan