Senin, 13 Oktober 2025 | 16:22 WIB
Presiden Prabowo Subianto bersama Presiden Vladimir Putin, Xin Jinpin dan Kim Jong Un di Beijing, China pada September lalu. [Ist]
Baca 10 detik
  • Kehadiran Prabowo bersama strongman global menegaskan citra pemimpin kuat, memicu diskusi tentang gaya kepemimpinannya.

  • Gaya strongman resonan di Indonesia, namun berisiko melemahkan demokrasi dan inklusivitas politik.

  • Prabowo dihadapkan pada pilihan: strongman otoriter atau pemimpin kuat yang mendengarkan dan kolaboratif.

Suara.com - Kehadiran Presiden Prabowo Subianto di peringatan 80 tahun Kemenangan Rakyat Tiongkok bersama Xi Jinping, Vladimir Putin, dan Kim Jong-un bukan sekadar diplomasi.

Ia juga mencerminkan bagaimana Prabowo ingin dilihat—sebagai pemimpin kuat di tengah arus global yang menyanjung figur “strongman”.

Publik tentu masih mengingat momen Prabowo berdiri sejajar dengan Xi Jinping, Vladimir Putin, dan Kim Jong-un di Beijing awal September lalu.

Foto yang tersebar luas itu menimbulkan perbincangan: mengapa Prabowo hadir di tengah para pemimpin dunia yang dikenal dengan gaya keras dan otoriter?

Apakah ia sekadar berperan sebagai kepala negara dalam diplomasi global, atau sedang mengokohkan citra kepemimpinan “kuat” di mata publik?

Dalam politik, simbol sering lebih berbicara daripada kata-kata. Prabowo tak hanya menunjukkan kedekatan diplomatik dengan negara-negara kuat, tetapi juga menegaskan dirinya sebagai figur berwibawa di panggung global.

Namun, ada lapisan makna lain: kehadirannya di antara para strongman mengingatkan publik pada gaya kepemimpinan yang menonjolkan kekuatan, kedisiplinan, dan kontrol—ciri khas pemimpin militeristik yang karismatik namun hierarkis.

Jurnalis Gideon Rachman dalam The Age of the Strongman (2022) menyebut pemimpin semacam itu biasanya mengandalkan nasionalisme dan loyalitas personal.

Mereka tampil sebagai pelindung rakyat, namun sering kali mengaburkan batas antara otoritas dan demokrasi.

Baca Juga: Prabowo Siap Kerahkan 20 Ribu Pasukan Perdamaian ke Gaza, MPR Beri Respons Begini

Kepemimpinan Kuat dan Ujian Demokrasi

Gaya ini mudah diterima di masyarakat Indonesia yang masih lekat dengan budaya patriarkal.

Dalam survei Populi Center (Juni 2023), 70,8 persen responden masih meyakini laki-laki lebih mampu memimpin dibanding perempuan.

Artinya, narasi kepemimpinan berbasis maskulinitas—kuat, tegas, penyelamat—masih menjadi ideal yang disukai publik.

Sejak lama, Prabowo memelihara citra serupa. Retorikanya tentang 'bangkitnya bangsa' dan 'menegakkan kehormatan nasional' berpadu dengan simbol-simbol militer: seragam safari, gestur tegap, dan gaya komunikasi yang penuh energi.

Namun gaya ini, jika tidak diimbangi keterbukaan dan partisipasi, berisiko memperkuat pola kepemimpinan top-down yang militeristik dan minim ruang kritik.

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti (2025) menilai pola komunikasi Pemerintahan Prabowo cenderung elitis dan tidak transparan. Sejumlah kebijakan besar diumumkan secara sepihak, tanpa partisipasi publik yang berarti.

Dalam konteks demokrasi, ini mengkhawatirkan: semakin besar peran figur tunggal, semakin lemah fungsi pengawasan dan keseimbangan antar-lembaga negara.

Kabinet Prabowo juga menunjukkan kecenderungan lama. Setelah keluarnya Sri Mulyani, hanya empat perempuan tersisa di jajaran menteri.

Kehadiran perempuan memang bukan satu-satunya tolok ukur inklusivitas, namun ketimpangan ini memperlihatkan masih kuatnya nilai patriarkal dalam distribusi kekuasaan politik di Indonesia.

Daya Tarik Strongman

Fenomena Prabowo bukan hal unik. Dunia tengah menyaksikan kembalinya politik strongman, dari Trump di Amerika, Putin di Rusia, hingga Modi di India.

Figur semacam ini sering hadir sebagai “penyelamat bangsa” di tengah krisis sosial dan kekecewaan publik terhadap birokrasi demokratis yang dianggap lamban dan berisik.

Namun, daya tarik itu menyimpan paradoks. Kepemimpinan yang terlalu berpusat pada satu figur sering kali mengikis deliberasi publik dan melemahkan institusi.

Ketika semua keputusan bergantung pada kehendak seorang pemimpin, demokrasi berubah menjadi ritual formal tanpa substansi.

Menuju Kepemimpinan Inklusif

Studi-studi kepemimpinan menunjukkan efektivitas tidak ditentukan oleh jenis kelamin atau gaya keras semata.

Eagly dan Carli (2011) misalnya, menemukan bahwa pemimpin perempuan cenderung lebih kolaboratif dan empatik, sedangkan laki-laki lebih asertif. Namun, yang menentukan keberhasilan justru konteks, integritas, dan kemampuan mendengar.

Kepemimpinan yang inklusif tidak berarti lemah. Sebaliknya, ia memanfaatkan kekuasaan untuk memperluas partisipasi dan membangun kepercayaan.

Coalition of Feminists for Social Change (2021) menekankan bahwa model kepemimpinan seperti ini lebih adaptif menghadapi krisis sosial karena mendorong transparansi dan akuntabilitas.

Tantangan terbesar Prabowo bukan hanya menegaskan posisi Indonesia di dunia, tetapi membuktikan bahwa kekuatan tidak harus identik dengan dominasi.

Kekuatan sejati justru lahir dari kemampuan mendengarkan, berbagi wewenang, dan menghormati keberagaman.

Antara Warisan dan Pilihan

Secara geopolitik, tampil sejajar dengan para strongman mungkin menguntungkan Prabowo secara simbolik.

Namun, di tingkat domestik, demokrasi Indonesia menunggu arah baru: apakah ia akan melanjutkan pola kepemimpinan hierarkis dan tertutup, atau membuka ruang bagi kolaborasi yang lebih egaliter?

Kepemimpinan yang inklusif bukan sekadar tuntutan moral, melainkan kebutuhan politik.

Dengan mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan keberanian untuk mendengar suara rakyat, Prabowo bisa meninggalkan warisan kepemimpinan yang kuat tanpa menjadi otoriter.

Dalam sejarah, banyak pemimpin besar yang dikenang bukan karena kekerasannya, tapi karena kemampuannya membangun kepercayaan.

Kini, giliran Prabowo memilih: ingin diingat sebagai strongman yang menegaskan kekuasaan, atau sebagai pemimpin yang kuat justru karena mampu membuka diri.

Cut Cinta Rimandya Marezi
Peneliti isu gender dan politik di Populi Center, Jakarta

Load More