Kamis, 13 November 2025 | 14:51 WIB
Peneliti Pusat Studi Politik dan Demokrasi FISIP Unpad Ari Ganjar Herdiansah. [Suara.com/Dok. pribadi]
Baca 10 detik
  • Partai Islam alami kemunduran pasca Pemilu 2024, dengan PPP gagal lolos ambang batas parlemen.
  • PKB, PAN, dan PKS pilih strategi realistis-pragmatis dengan bergabung ke pemerintahan.
  • Tantangan utama partai Islam: regenerasi kepemimpinan, relevansi isu publik, dan soliditas internal.

Suara.com - Partai-partai berbasis Islam di Indonesia menghadapi tantangan berat pasca Pemilu 2024. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Reformasi, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terlempar dari Senayan.

Partai warisan Orde Baru ini gagal melampaui ambang batas parlemen, menyisakan kekecewaan di kalangan konstituen loyalnya.

Kini, lebih dari setahun pasca-pilpres, peta politik semakin mengerucut pada tantangan untuk meningkatkan keterwakilan mereka di parlemen pada Tahun 2029.

Di Tahun 2024, jumlah partai berbasis Islam di DPR menyusut drastis. Hanya tersisa tiga pemain, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Realitas politik terkini menunjukkan reaksi partai-partai berbasis Islam yang mudah ditebak. Ketiga partai Islam di DPR (PKB, PAN, dan PKS) kompak berlabuh di kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran, menikmati insentif kekuasaan.

PKS, yang lama dikenal sebagai oposisi vokal mulai dari 2014, akhirnya bergabung dengan koalisi pemerintah.

Dukungannya itu diganjar dengan satu kursi menteri meskipun bukan dari kader partai, yakni Prof Yassierli sebagai Menteri Ketenagakerjaan.

Sementara itu, di luar parlemen, PPP masih sibuk berkonsolidasi melalui Muktamar 2025 sebagai ajang krusial untuk merebut kembali marwah politik umat.

Walaupun harus melalui drama konflik antar-elite yang klise, mereka akhirnya bersepakat untuk berlayar di bawah Mardiono sebagai nakhoda.

Baca Juga: Ironi di Muktamar X PPP; Partai Islam Ricuh, Waketum: Bagaimana Mau Mendapat Simpati Umat?

Penyusutan partai-partai Islam di DPR bukanlah peristiwa yang tiba-tiba. Gejala penurunan kinerja elektoral telah nampak pasca Reformasi.

Puncaknya di Pemilu 2024, gabungan suara PKB, PKS, dan PAN hanya berkisar 26,26 persen yang menandakan makin menyusutnya keterwakilan konstituen partai berbasis Islam di parlemen.

Ilustrasi sidang DPR. Partai berbasis Islam di Indonesia hingga saat ini masih belum bisa bangkit dari keterpurukan dalam kontestasi politik lima tahunan. [ANTARAFOTO/Dhemas Reviyanto/sgd/YU

Setidaknya terdapat tiga kelemahan kronis yang menggerogoti partai-partai ini.

Pertama, kegagalan membuktikan kinerja. Partai Islam cenderung kuat saat situasi ekonomi sulit, di mana jargon spiritualitas laku dijual. Namun, saat ekonomi pulih, pemilih rasional beralih ke partai nasionalis yang dianggap lebih kompeten.

Kedua, konflik internal yang akut. Partai-partai ini seolah tidak pernah belajar dari perpecahan. PPP, PKS, dan PAN telah mengalami fragmentasi hebat dalam satu dekade terakhir. Friksi elite yang tak berkesudahan ini mendegradasi integritas partai di mata pemilih.

Ketiga, dilema antara ideologi, pakem-pakem primordial konstituen, dan pragmatisme. Mereka kesulitan mengemas gagasan religius dan kepentingan basis konstituen dalam kerangka politik modern.

Load More