-
- Penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional menimbulkan perdebatan moral.
- Bangsa ini tampak ingin berdamai dengan masa lalu tanpa keberanian menghadapi kebenaran.
- Penghargaan terhadap penguasa otoriter mengancam standar moral bangsa dan menghapus makna keadilan sejarah.
Suara.com - Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional menimbulkan guncangan moral yang sulit diabaikan.
Ia bukan sekadar penghargaan terhadap sosok yang pernah memimpin bangsa selama tiga dasawarsa, melainkan sebuah deklarasi politik tentang bagaimana negara ingin mengingat dirinya sendiri.
Di satu sisi, keputusan ini dianggap sebagai pengakuan atas jasa besar dalam pembangunan dan stabilitas nasional.
Namun di sisi lain, ia menimbulkan perasaan getir di hati mereka yang pernah hidup di bawah bayang represi, karena penghormatan itu terasa seperti penegasan bahwa luka mereka tidak pernah penting.
Bagi banyak orang, Soeharto memang hadir sebagai simbol keberhasilan pembangunan. Jalan raya, irigasi, pabrik, dan program swasembada pangan menjadi kenangan masa keemasan yang mudah dirayakan.
Tetapi sejarah tidak hanya dihitung dari beton dan angka pertumbuhan. Di balik 'stabilitas' itu berdiri sistem yang menutup mulut, membungkam kritik, dan menanam ketakutan sebagai mekanisme kekuasaan.
Orang-orang ditahan tanpa pengadilan, aktivis diculik, wartawan disensor, dan korupsi dijadikan bagian dari tata kelola negara.
Ketika figur yang berada di puncak sistem itu kini dinobatkan sebagai pahlawan, banyak korban merasakan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kekecewaan—sebuah kehilangan makna tentang apa itu keadilan.
Bangsa ini tampaknya ingin cepat berdamai dengan masa lalunya, tanpa pernah benar-benar menghadapinya. Kita ingin melupakan karena mengingat terlalu menyakitkan.
Baca Juga: Marsinah: Buruh, Perlawanan, dan Jejak Keadilan yang Tertunda
Namun yang sering luput disadari, luka yang tidak diakui tidak akan pernah sembuh. Penetapan ini, dalam pandangan banyak korban, bukanlah penutup sejarah, melainkan pembuka luka baru.
Ia seperti penghapus yang menghilangkan bekas darah dari catatan nasional, tanpa pernah menjelaskan mengapa darah itu tumpah.
Ketika Sejarah Ingin Dilupakan
Negara seolah lupa bahwa penghargaan adalah bentuk penilaian moral.
Ketika penghargaan tertinggi diberikan kepada tokoh yang di bawah kepemimpinannya lahir begitu banyak penderitaan, maka bangsa ini sesungguhnya sedang menegosiasikan nilai kemanusiaannya sendiri.
Apakah pembangunan ekonomi dapat menebus hilangnya kebebasan? Apakah ketertiban sosial bisa dijadikan alasan untuk meniadakan hak asasi manusia?
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Motor Matic Paling Nyaman & Kuat Nanjak untuk Liburan Naik Gunung Berboncengan
- 4 Rekomendasi Cushion dengan Hasil Akhir Dewy, Diperkaya Skincare Infused
- 5 HP RAM 8 GB Memori 256 GB Harga Rp1 Jutaan, Terbaik untuk Pelajar dan Pekerja
- Diminta Selawat di Depan Jamaah Majelis Rasulullah, Ruben Onsu: Kaki Saya Gemetar
- Daftar Promo Alfamart Akhir Tahun 2025, Banyak yang Beli 2 Gratis 1
Pilihan
-
Cerita 1.000 UMKM Banyuasin: Dapat Modal, Kini Usaha Naik Kelas Berkat Bank Sumsel Babel
-
Seni Perang Unai Emery: Mengupas Transformasi Radikal Aston Villa
-
Senjakala di Molineux: Nestapa Wolves yang Menulis Ulang Rekor Terburuk Liga Inggris
-
Live Sore Ini! Sriwijaya FC vs PSMS Medan di Jakabaring
-
Strategi Ngawur atau Pasar yang Lesu? Mengurai Misteri Rp2.509 Triliun Kredit Nganggur
Terkini
-
Dari Inspeksi ke Inspeksi, Sebuah Upaya Menjaga Kualitas Program MBG
-
Rantai Pasok Indonesia dalam Bayang Bencana Alam: Pelajaran dari Aceh dan Sumatera
-
Mengawal Tata Ruang Sumut demi Menjaga Keutuhan Ekosistem Batang Toru
-
Menakar Masa Depan PPP Pasca Dualisme
-
Teori 'Menumpang Hidup' dan Alasan Mengapa Profesi Polisi Tetap 'Seksi'
-
Menolak Pasien Adalah Pelanggaran Kemanusian dan Hak Asasi Pasien
-
Inovasi Urban Farming Keluarga, Agar Peternak Kecil Tidak Tergilas 'Oligarki Ayam'
-
Daya Beli Lesu Hantam Industri Elektronik, Jurus 'Inovasi Hemat Energi' Jadi Andalan
-
Menimbang Arah Baru Partai Berbasis Islam, Dari Ideologi ke Pragmatisme Kekuasaan
-
Marsinah: Buruh, Perlawanan, dan Jejak Keadilan yang Tertunda