Suara.com - Sekitar enam abad lalu, wabah pes yang dikenal sebagai Black death menelan korban puluhan juta jiwa dalam waktu singkat di Eropa dan Afrika Utara. Wabah besar ini menyapu habis hingga 60 persen dari populasi Eropa di abad 14.
Pada masa itu teknologi kedokteran masih sederhana. Hanya orang-orang yang dapat beradaptasi yang mampu bertahan hidup di tengah wabah yang disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis itu. Hal ini meninggalkan jejak seleksi alam yang dapat diamati oleh para ilmuwan saat ini pada populasi manusia.
Riset tentang kasus malaria di Afrika juga menunjukkan proses seleksi alam. Sebagian populasi bertahan terhadap serangan penyakit ini, sebagian lagi mati dan tergantikan.
Apakah kisah seleksi alam serupa akan terjadi pada pandemi COVID-19 yang dalam satu setengah tahun terakhir menelan korban lebih dari 4,1 juta orang di seluruh dunia? Apakah COVID-19 bisa menjadi faktor pemicu seleksi alam pada manusia? Mungkin saja.
Sebuah studi terbaru terbitan awal Mei lalu, yang melibatkan hampir 50.000 pasien COVID-19 dari sembilan belas negara, berhasil memetakan asosiasi signifikan antara keparahan gejala klinis dengan sekelompok varian genetik yang terkait dengan setidaknya delapan gen pada genom manusia.
Hasil riset ini menyatakan variasi tertentu pada gen-gen itu yang dapat membuat kita rentan untuk sakit parah atau kita dapat bertahan.
Wabah dan seleksi alam
Dari sekitar 192 juta orang yang kini terinfeksi COVID-19, mayoritas kasus bergejala ringan. Hanya sekitar 15 persen yang bergejala berat yang menyebabkan sindrom pernafasan akut dengan respons imun yang tidak teratur.
Proporsi kematian terbesar terkait COVID-19 memang pada pasien berumur lanjut atau pasien yang memiliki kondisi penyakit penyerta. Namun banyak juga kematian terjadi pada orang-orang yang dewasa dan anak-anak tanpa penyakit penyerta.
Baca Juga: Kemenkes Israel: Kemanjuran Vaksin Pfizer Anjlok Jadi 39 Persen Hadapi Varian Delta
Meski mekanisme kerentanan terhadap COVID-19 belum diketahui secara pasti, faktor imun dan genetik inang (manusia) dapat memiliki peran yang menyebabkan perbedaan level keparahan penyakit COVID-19. Sebagai contoh, orang-orang yang memiliki respons imun Interferon tipe I lebih kuat, dapat bertahan lebih baik terhadap infeksi akut.
Seperti halnya wabah influenza pada 1918, faktor genetik inang memainkan peran penting dalam pertahanan terhadap virus flu yang saat ini dapat diamati pada populasi Eropa. Varian genetik tertentu yang ditemukan banyak di populasi Eropa Barat pada gen IFITM3 membantu ketahanan terhadap infeksi virus influenza A, yang patologinya sangat mirip dengan infeksi virus H1N1 pada wabah 1918.
Sementara itu, suatu studi genomik pada populasi gipsi Rroma di Eropa menjabarkan tentang bukti adaptasi genetik terhadap wabah pes. Para peneliti membandingkan genetik autosom pada populasi gipsi Rroma di Romania yang terisolasi dari populasi Eropa pada umumnya, dengan populasi Romania Eropa (non-gipsi). Bakteri yang menyebabkan wabah pes juga menginfeksi populasi Rroma di Eropa saat itu, namun tidak di daerah asalnya di India.
Populasi gipsi Rroma diperkirakan berasal dari Asia Selatan, tepatnya di bagian utara India, pada sekira 1.500 tahun lalu. Mereka bermigrasi ke Eropa sekitar lima abad setelahnya.
Populasi gipsi Rroma memiliki latar belakang genetik yang berbeda dengan populasi Romania Eropa, namun memiliki paparan yang sama terhadap wabah pes.
Menariknya, studi genetik menunjukkan terdapat bukti seleksi alam pada empat gen dalam genom populasi Rroma yang memiliki kemiripan dengan populasi Romania Eropa saat ini. Namun bukti seleksi alam tersebut tidak teramati pada populasi asalnya di India bagian utara.
Berita Terkait
-
Ariana Grande Idap Salah Satu Virus Mematikan, Mendadak Batal Hadiri Acara
-
Kasus TBC di Jakarta Capai 49 Ribu, Wamenkes: Kematian Akibat TBC Lebih Tinggi dari Covid-19
-
Anggaran Daerah Dipotong, Menteri Tito Minta Pemda Tiru Jurus Sukses Sultan HB X di Era Covid
-
Korupsi Wastafel, Anggota DPRK Aceh Besar jadi Tersangka usai Polisi Dapat 'Restu' Muzakir Manaf
-
Indonesia Nomor 2 Dunia Kasus TBC, Menko PMK Minta Daerah Bertindak Seperti Pandemi!
Terpopuler
- Timur Kapadze Tolak Timnas Indonesia karena Komposisi Pemain
- 5 Body Lotion dengan Kolagen untuk Usia 50-an, Kulit Kencang dan Halus
- 19 Kode Redeem FC Mobile 5 Desember 2025: Klaim Matthus 115 dan 1.000 Rank Up Gratis
- 7 Rekomendasi Sabun Cuci Muka dengan Niacinamide untuk Mencerahkan Kulit Kusam
- John Heitingga: Timnas Indonesia Punya Pemain Luar Biasa
Pilihan
-
Stok BBM Shell Mulai Tersedia, Cek Lokasi SPBU dan Harganya
-
Kekuatan Tersembunyi Mangrove: Bisakah Jadi Solusi Iklim Jangka Panjang?
-
Orang Pintar Ramal Kans Argentina Masuk Grup Neraka di Piala Dunia 2026, Begini Hasilnya
-
6 Rekomendasi HP Rp 3 Jutaan Terbaik Desember 2025, Siap Gaming Berat Tanpa Ngelag
-
Listrik Aceh, Sumut, Sumbar Dipulihkan Bertahap Usai Banjir dan Longsor: Berikut Progresnya!
Terkini
-
52 Kode Redeem FF Aktif 7 Desember 2025, Klaim Skin Winterlands dan Arrival Animation
-
22 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 7 Desember 2025: Ada Koin, Rank Up, dan Pemain OVR 115
-
HP Seken Rasa Baru? Cek 5 Rekomendasi Terbaik Rp500 Ribuan yang Masih Worth It di Tahun Ini
-
4 Tablet dengan Slot SIM Card untuk Tetap Terhubung dan Produktif di Mana Saja
-
4 Rekomendasi Tablet Layar Besar Murah, Cocok untuk Edit Video Ringan dan Streaming
-
Update Battlefield 6 Winter Offensive, Perombakan Besar untuk Mode Breakthrough dan Rush
-
Akhir Penantian 19 Tahun, Game 'Total War: Medieval 3' Resmi Diumumkan
-
4 Varian Warna Vivo S50 Beredar ke Publik: Debut Bulan Ini, Ada Rebrand Global
-
5 Rekomendasi HP Infinix Paling Murah Terbaru Desember 2025
-
Bocoran Xiaomi 17S dan Xiaomi 17 Ultra, Bakal Usung Chipset Terbaru