Suara.com - Kemajuan media digital adalah pedang bermata dua. Di Asia Tenggara, media digital hadir sebagai alat penting aktivisme. Namun, kelicikan politikus otoriter dan peningkatan kontrol pada internet nyatanya menindas masyarakat demokratis, demikian dikatakan pakar politik Aim Sinpeng dari University of Sidney, Australia.
Gesekan antara kekuatan digital yang saling bertentangan ini juga sedang terjadi di Indonesia. Di satu sisi, internet telah membantu publik menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Namun, di sisi lain, teknologi digital telah membantu penguasa membungkam kritik.
Pelanggaran kebebasan selama pandemi
Selama pandemi, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan dan inisiatif baru untuk mengendalikan arus informasi di dunia maya.
Pihak berwenang mengklaim bahwa langkah-langkah ini perlu untuk melindungi bangsa di tengah kemajuan teknologi digital. Tapi tampaknya, peraturan dan inisiatif ini justru menghalangi warga untuk berinteraksi di dunia digital.
Tahun lalu, kepolisian memerintahkan personilnya untuk mengadakan patroli siber.
Patroli tersebut bertujuan untuk memantau peredaran opini dan berita, penyebaran hoaks terkait COVID-19, respons pemerintah terhadap pandemi, dan penghinaan terhadap presiden dan pejabat pemerintah.
Namun, parameter yang digunakan dalam patroli untuk menentukan informasi COVID-19 serta respons atas hoaks tidak jelas.
Pada awal 2021, polisi mengumumkan pemberian penghargaan bagi warga yang aktif melaporkan tindak kriminal yang dilakukan di media sosial. Lagi-lagi, bagaimana persisnya penilaian dan mekanisme pemberian “Badge Award” tersebut hingga kini belum jelas. Dengan demikian, hal itu justru dapat mendorong warga untuk saling mencari-cari kesalahan dalam aktivitas online.
Polisi juga membentuk unit baru, yaitu “polisi virtual” atau polisi siber. Unit ini bertugas memantau media sosial dan mengeluarkan peringatan untuk konten yang melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Baca Juga: Datang Langsung, Moeldoko Laporkan Dua Peneliti ICW ke Bareskrim Polri Pakai UU ITE
UU ITE disahkan pada 2008 untuk melindungi konsumen dalam transaksi elektronik via internet seiring meningkatnya kegiatan ekonomi daring. Tapi, dalam praktiknya, pemerintah dan aparat penegak hukum justru menyalahgunakan UU ini untuk membungkam para pengritik.
Polisi siber adalah model pemantauan baru. Kehadiran “Badge Award” dan polisi siber ini dikhawatirkan akan membuat warga takut mengekspresikan pendapat mereka di dunia maya. Ini adalah bentuk serangan terhadap kebebasan berekspresi.
Selain itu, kriminalisasi terhadap pengguna online lewat UU ITE telah meningkat selama pandemi. Efeknya adalah pembungkaman kritik publik atas respons negara selama pandemi.
Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara SAFEnet telah mencatat setidaknya 84 kasus kriminalisasi netizen pada 2020 - hampir empat kali lipat dibanding 24 kasus yang tercatat pada 2019.
Otoritarianisme digital
Sebuah analisis oleh peneliti politik Tiberiu Dragu dari Universitas New York dan Yonatan Lupu dari Universitas George Washington, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa inovasi teknologi telah menyebabkan peningkatan penyalahgunaan untuk mencegah kelompok oposisi bergerak.
Kemajuan teknologi juga meningkatkan kemungkinan pihak otoriter untuk dapat berhasil melumpuhkan para oposisi.
Berita Terkait
- 
            
              Buntut 'Xpose Uncensored': Trans7 Terseret UU ITE, Dituduh Hina Santri dan Kiai
- 
            
              Demo di DPR, Koalisi Sipil hingga Mahasiswa Desak Hentikan Represi dan Bebaskan Tahanan Politik
- 
            
              Bukan Bjorka Asli! Polisi Bekuk Pemuda Minahasa Usai yang Klaim 4,9 Juta Data Nasabah Bank
- 
            
              Diancam Bakal Dipolisikan Terduga Pelaku Pelecehan di Bekasi, Richard Lee: Perlukah Saya Minta Maaf?
- 
            
              Konten Hina Suku Dayak, Riezky Kabah Terancam Denda Rp1 Miliar
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas 30 Jutaan untuk Harian, Cocok buat Mahasiswa dan Keluarga Baru
- 7 Mobil Bekas Terbaik untuk Anak Muda 2025: Irit Bensin, Stylish Dibawa Nongkrong
- Gibran Hadiri Acara Mancing Gratis di Bekasi, Netizen Heboh: Akhirnya Ketemu Jobdesk yang Pas!
- Suzuki Ignis Berapa cc? Harga Bekas Makin Cucok, Intip Spesifikasi dan Pajak Tahunannya
- 5 HP RAM 8 GB Paling Murah Cocok untuk Gamer dan Multitasking Berat
Pilihan
- 
            
              Harga Emas Turun Tiga Hari Beruntun: Emas Jadi Cuma 2,3 Jutaan di Pegadaian
- 
            
              Indonesia Ngebut Kejar Tarif Nol Persen dari AS, Bidik Kelapa Sawit Hingga Karet!
- 
            
              Prabowo Turun Gunung Bereskan Polemik Utang Whoosh
- 
            
              Jokowi Klaim Proyek Whoosh Investasi Sosial, Tapi Dinikmati Kelas Atas
- 
            
              Barcelona Bakal Kirim Orang Pantau Laga Timnas Indonesia di Piala Dunia U-172025
Terkini
- 
            
              25 Kode Redeem FC Mobile Aktif 30 Oktober: Segera Klaim Gems, Jersey Packs & Pemain OVR Tinggi!
- 
            
              Acer Swift AI Hadirkan Performa Ultra Cepat, Desain Premium, dan Privilage Buat Penggunanya
- 
            
              Oppo Find X9 dan X9 Pro Hadir ke Indonesia 5 November, Cek Spesifikasinya
- 
            
              23 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 29 Oktober 2025, Banjir Ribuan Gems dan Pemain 113 Gratis
- 
            
              Spesifikasi Realme 15T yang Segera Hadir ke Indonesia, Punya Desain ala iPhone
- 
            
              Salah Satu Ponsel Tertipis, Render Motorola Edge 70 Beredar ke Publik
- 
            
              Drama China Laris: Pendapatan Capai Rp156 Triliun, Lampaui Box Office Lokal
- 
            
              HP Flagship Oppo Terima Update ColorOS 16 pada November 2025, Begini Fiturnya
- 
            
              Spartan Survivors Hadir di Steam, Game Gratis Buatan Penggemar Dapat Restu Microsoft
- 
            
              25 Kode Redeem FC Mobile 29 Oktober: Segera Klaim Hadiah Gems, Icon, dan Skin Jersey Edisi Terbatas!