Tekno / Tekno
Jum'at, 22 Agustus 2025 | 12:37 WIB
Ilustrasi berita hoaks (freepik/freepik)

Suara.com - Banjir informasi di era digital tak ubahnya tsunami yang bisa menenggelamkan akal sehat.

Di tengah maraknya misinformasi dan disinformasi yang menyebar secepat kilat, integritas media massa diuji habis-habisan.

Situasi genting inilah yang menjadi sorotan utama dalam forum diskusi yang digelar oleh Bisnis Indonesia di Radio Republik Indonesia (RRI), Jakarta, pada hari Kamis (21/8/2025).

Para pakar dari berbagai bidang, mulai dari Dewan Pers, Kominfo, Google, BBC Media Action, hingga Koordinator Cek Fakta, berkumpul untuk membongkar betapa berbahayanya "penyakit" salah informasi yang kini menggerogoti masyarakat.

"Bagaimana tidak, data yang diungkap menunjukkan rata-rata orang Indonesia bisa menghabiskan 7 hingga 11 jam sehari hanya untuk berselancar di media sosial, menjadi sasaran empuk konten-konten yang belum tentu benar," jelas Research Manager BBC Media Action, Rosiana Eko.

Prof. Komaruddin Hidayat dari Dewan Pers membuka diskusi dengan sebuah analogi lawas yang menohok.

Ilustrasi media massa (freepik)

Ia mengingatkan publik pada sinetron legendaris "Siti Nurbaya", di mana tokoh antagonis Datuk Maringgi begitu dibenci penonton hingga sang aktor, HIM Damsyik, ikut dimusuhi di dunia nyata.

"Masyarakat mengambil kesimpulan berdasarkan apa yang dilihat dan didengar lewat media. Padahal itu bisa jadi misinformasi," ungkap Prof. Komaruddin.

Menurutnya, fenomena ini adalah cerminan dari era "post truth", di mana kebenaran objektif kalah pengaruh dengan emosi dan keyakinan personal. Jika dulu hanya sebatas sinetron, kini ancamannya jauh lebih nyata dengan teknologi AI.

Baca Juga: DPRD DKI Dorong Digitalisasi Pasar Tradisional, Transaksi Lebih Cepat, Aman, dan Efisien

Situasi semakin pelik karena banyak yang tidak sadar bahwa mendapatkan informasi yang sehat adalah hak asasi manusia.

Hal ini ditegaskan oleh Helena Rea dari BBC Media Action yang menyebut perjuangan melawan disinformasi sudah ada sejak zaman kuno.

"Ada satu filsuf yang mati minum racun karena gara-gara misinformasi dan disinformasi, yaitu Sokrates," tuturnya. Sokrates, yang dianggap merusak pikiran anak muda dengan mengajak mereka berpikir kritis, akhirnya dihukum mati akibat provokasi dan informasi yang dipelintir oleh lawan-lawannya.

Kisah tragis ini, menurut Helena, menjadi pengingat bahwa dampak misinformasi bukan main-main.

"Kita punya tanggung jawab untuk memberikan informasi yang paling tidak, jangan negatif-negatif kalilah," tegasnya.


Reporter: Maylaffayza Adinda Hollaoena

Load More