Suara.com - Ketua AJI Jakarta, Ahmad Nurhasim, mengatakan bahwa dunia kini menghadapi era disrupsi. Yaitu situasi di mana pergerakan dunia industri atau persaingan kerja tidak lagi linear. Perubahannya sangat cepat, fundamental dengan mengacak-acak pola tatanan lama untuk menciptakan tatanan baru.
"Disrupsi ini juga terjadi industri media," kata Hasim dalam diskusi publik di Jakarta, Kamis (1/2/2018).
Hasim menyebut sebetulnya sudah banyak perusahaan media yang memiliki platformm cetak dan online sekaligus. Namun perusahaan yang memiliki keduanya, menurutnya sedang menggali liang kuburnya sendiri.
"Karena mereka menukar keuntungan dari yang semula berbayar menjadi gratis," ujarnya.
Disisi lain, kue pendapatan iklan yang masuk ke industri media online yang tumbuh dengan pesat ternyata masih sedikit. Masih sedikit jumlah media online yang sudah mampu meraih untung dalam jumlah besar. "Seperti Detik.com. Pertanyannya, kemana larinya uang iklan tersebut?," ujarnya.
Hasim menengarai kue pendapatan iklan yang seharusnya masuk ke media online justru masuk ke media sosial. Menurutnya, ini terlihat dari pendapatan iklan google yang terus menerus naik sejak tahun 2003 hingga 2013. Sebaliknya, iklan di surat kabar menunjukkan penurunan.
"Duit itu sebetulnya dari dulu tidak pernah berkurang. Masalahnya sekarang duit itu masuk ke kantung siapa," jelasnya.
Hasim mengakui biaya produksi yang dibutuhkan dari industri media online sebetulnya lebih murah dari media cetak. Media online tidak harus keluar biaya cetak dan sebagainya. "Tetapi gaji jurnalis media online juga tidak tinggi dalam survey AJI Jakarta. Kenapa? Karena pendapatan industri media online tidak besar, seperti yang tadi saya jelaskan," ujarnya.
Masalah ini, menurut AJI Jakarta, semakin diperparah dengan banyaknya perusahaan media yang tidak terbuka soal kondisi keuangan perusahaanya terhadap para pekerja. Kecuali perusahan-perusahaan media yang telah menjadi perusahaan terbuka di Bursa Efek Indonesia.
Baca Juga: AJI Jakarta: Ada Empat Kasus PHK Perusahaan Media Tahun 2017
"Ini sangat ironis mengingat media adalah agen demokrasi yang sering menerikaan keterbukaan kepada pemerintah," tuturnya.
Dalam situasi seperti ini, Hasim menegaskan industri media yang bisa beradaptasi pada akhirnya akan mampu bertahan hidup. Begitu juga dengan jurnalisnya, dituntut harus bisa beradaptasi.
"Masalahnya banyak pekerja media cetak susah untuk diajak beradaptasi dengan kultur di media online. Ketika kita tidak bisa beradaptasi, misal fanati sebagai jurnalis media cetak. Sulit bersaing dalam pasar ketenagakerjaan industri media saat ini," imbuhnya.
Berita Terkait
-
Bungkam Saat Ditanya Soal Kasus, Bupati Lampung Tengah Malah Goda Jurnalis Saat Diborgol
-
JK Hingga Jurnalis Korban Pengeroyokan Terima Anugerah Dewan Pers 2025
-
Catatan AJI: Masih Banyak Jurnalis Digaji Pas-pasan, Tanpa Jaminan Kesehatan dan Keselamatan Kerja
-
Suara.com Gelar Workshop Jurnalisme Konstruktif untuk Perkuat Liputan Lingkungan
-
Yura Yunita Ungkap Pernah Liputan ke Penjara Nusakambangan: Challenging!
Terpopuler
Pilihan
-
Bank Sumsel Babel Dorong CSR Berkelanjutan lewat Pemberdayaan UMKM di Sembawa Color Run 2025
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
Terkini
-
Babak Baru Industri Kripto, DPR Ungkap Revisi UU P2SK Tegaskan Kewenangan OJK
-
Punya Kekayaan Rp76 M, Ini Pekerjaan Ade Kuswara Sebelum Jabat Bupati Bekasi
-
DPR Sebut Revisi UU P2SK Bisa Lindungi Nasabah Kripto
-
Hotel Amankila Bali Mendadak Viral Usai Diduga Muncul di Epstein Files
-
Ekspansi Agresif PIK2, Ada 'Aksi Strategis' saat PANI Caplok Saham CBDK
-
Tak Ada Jeda Waktu, Pembatasan Truk di Tol Berlaku Non-stop Hingga 4 Januari
-
Akses Terputus, Ribuan Liter BBM Tiba di Takengon Aceh Lewat Udara dan Darat
-
Kepemilikan NPWP Jadi Syarat Mutlak Koperasi Jika Ingin Naik Kelas
-
Kemenkeu Salurkan Rp 268 Miliar ke Korban Bencana Sumatra
-
APVI Ingatkan Risiko Ekonomi dan Produk Ilegal dari Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok