Suara.com - Pandemi Covid-19 yang menyebar sepanjang tahun 2020 merupakan badai besar yang membawa guncangan hebat baik pada sisi supply akibat terganggunya rantai produksi global maupun domestik dan dari sisi demand akibat penurunan pendapatan masyarakat sebagai dampak terbatasnya mobilitas dan turunnya kegiatan ekonomi.
Di sektor jasa keuangan, pandemi ini telah berdampak pada meningkatnya beberapa potensi risiko, baik di sisi risiko likuiditas berupa aliran dana keluar, risiko kredit berupa debitur yang default akibat penurunan aktivitas usahanya, serta tekanan profitabilitas baik pada perusahaan maupun debitur.
Potensi berlanjutnya pemburukan ekonomi akibat pandemik Covid-19 ini akan mengancam stabilitas sistem jasa keuangan apabila tidak dilakukan pencegahan (mitigasi) lebih dini.
Beruntung, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merespon sangat cepat dengan mengeluarkan forward looking and countercyclical policies yang ditujukan untuk mengurangi volatilitas pasar dan outflow non-residen, serta menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.
Pemerintah dan Bank Indonesia juga sangat membantu dengan stimulus fiskal dan kebijakan moneter yang akomodatif.
"OJK bersama Pemerintah dan Bank Indonesia telah memberikan ruang bagi sektor riil untuk bertahan dalam menghadapi dampak pelemahan ekonomi khususnya dalam memitigasi risiko gagal bayar debitur (default) dan risiko likuiditas di pasar keuangan," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan secara virtual di Jakarta, ditulis Senin (18/1/2021).
Wimboh menuturkan, dengan berbagai kebijakan tersebut, perekonomian domestik secara bertahap terus membaik didorong oleh percepatan realisasi stimulusfiskal dan perbaikan ekspor, serta kebijakan restrukturisasi kredit untuk meringankan beban masyarakat, pelaku sektor informal, dan UMKM serta pelaku usaha lainnya.
“Kebijakan-kebijakan tersebut sangat efektif sehingga perekonomian domestik secara bertahap terus membaik Selain itu, stabilitas sistem keuangan sampai saat ini masih terjaga dengan baik,” kata Wimboh.
Di industri pasar modal, kebijakan pengendalian volatilitas yang dikeluarkan OJK sejak awal pandemi serta tindakan tegas pengawasan OJK telah meningkatkan kepercayaan investor yang tercermin dengan membaiknya IHSG di atas 6.000 pada awal 2021 setelah sebelumnya terpuruk di posisi terendah di 3.937,6 pada 24 Maret 2020.
Baca Juga: Rekayasa Laporan Keuangan, OJK Perlu Bikin Divisi Khusus Lindungi Investor
"OJK juga fokus untuk meningkatkan integritas pasar dengan serangkaian kebijakan dan langkah-langkah pengawasan yang lebih tegas. Dengan integritas pasar yang lebih baik, aktivitas penghimpunan dana melalui penawaran umum relatif besar yaitu sebesar Rp118,7 triliun dengan 53 emiten baru. Pertumbuhan emiten baru ini merupakan yang tertinggi di ASEAN," jelas Wimboh.
Di sektor perbankan, kebijakan restrukturisasi kredit hingga akhir Desember telah mencapai Rp971 triliun (18% dari total kredit) yang diberikan kepada 7,6 juta debitur UKM dan korporasi.
"Kebijakan ini menghasilkan profil risiko perbankan yang terkendali dengan rasio NPL gross pada level 3,06% (2019: 2,53%) atau net 0,98% (2019: 1,19%) dan didukung oleh permodalan yang cukup tinggi, yaitu CAR sebesar 23,78% (2019: 23,31%)," ungkapnya.
Sejalan dengan itu, likuiditas perbankan masih cukup memadai (ample) ditandai oleh alat likuid perbankan yang terus meningkat mencapai sebesar Rp 2.111 triliun dibandingkan tahun lalu sebesar Rp 1.251 triliun, dan Dana Pihak Ketiga yang tumbuh sebesar 11,11% yoy. Alat likuid per non-core deposit 146,72% dan liquidity coverage ratio 262,78%, lebih tinggi dari threshold-nya.
Sementara itu, kebijakan restrukturisasi kredit di Perusahaan Pembiayaan juga berjalan dengan baik yang mencapai Rp 189,96 triliun (48,52% dari total pembiayaan) dari 5 juta kontrak. Hal ini telah menjaga profil risiko Perusahaan Pembiayaan dengan NPF yang masih terkendali sebesar 4,5%.
"Profil risiko IKNB masih terjaga dalam level yang terkendali terlihat dari Risk-Based Capital (RBC) industri asuransi jiwa dan asuransi umum masing-masing sebesar 540% dan 354%, jauh di atas ambang batas ketentuan sebesar 120%. Begitupun Gearing Ratio Perusahaan Pembiayaan yang tercatat sebesar 2,19%, jauh di bawah maksimum 10%," sebut Wimboh.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas Punya Sunroof Mulai 30 Jutaan, Gaya Sultan Budget Kos-kosan
- 3 Pilihan Cruiser Ganteng ala Harley-Davidson: Lebih Murah dari Yamaha NMAX, Cocok untuk Pemula
- 5 HP Murah Terbaik dengan Baterai 7000 mAh, Buat Streaming dan Multitasking
- 4 Mobil Bekas 7 Seater Harga 70 Jutaan, Tangguh dan Nyaman untuk Jalan Jauh
- 5 Rekomendasi Mobil Keluarga Bekas Tahan Banjir, Mesin Gagah Bertenaga
Pilihan
-
Tragedi Pilu dari Kendal: Ibu Meninggal, Dua Gadis Bertahan Hidup dalam Kelaparan
-
Menko Airlangga Ungkap Rekor Kenaikan Harga Emas Dunia Karena Ulah Freeport
-
Emas Hari Ini Anjlok! Harganya Turun Drastis di Pegadaian, Antam Masih Kosong
-
Pemilik Tabungan 'Sultan' di Atas Rp5 Miliar Makin Gendut
-
Media Inggris Sebut IKN Bakal Jadi Kota Hantu, Menkeu Purbaya: Tidak Perlu Takut!
Terkini
-
Kenapa Proyek Jalan Trans Halmahera Disebut Hanya Untungkan Korporasi Tambang?
-
Bertemu Wapres Gibran, Komite Otsus Papua Minta Tambahan Anggaran Hingga Dana BLT Langsung ke Rakyat
-
Sambut Bryan Adams Live in Jakarta 2026, BRI Sediakan Tiket Eksklusif Lewat BRImo
-
Proyek Waste to Energy Jangan Hanya Akal-akalan dan Timbulkan Masalah Baru
-
Geger Fraud Rp30 Miliar di Maybank Hingga Nasabah Meninggal Dunia, OJK: Kejadian Serius!
-
Laba PT Timah Anjlok 33 Persen di Kuartal III 2025
-
Kala Purbaya Ingin Rakyat Kaya
-
Didesak Pensiun, Ini Daftar 20 PLTU Paling Berbahaya di Indonesia
-
IHSG Berakhir Merosot Dipicu Aksi Jual Bersih Asing
-
Riset: Penundaan Suntik Mati PLTU Justru Bahayakan 156 Ribu Jiwa dan Rugikan Negara Rp 1,822 T