Suara.com - Putusan-putusan yang dibuat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam mengatasi dan menyelesaikan dugaan pelanggaran praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang diatur dalam UU No.5 Tahun 1999 guna penegakan hukum usaha selama ini dinilai sarat dengan kepentingan.
KPPU menggelar sidang yang menyerupai pengadilan, tetapi mengabaikan prinsip nir-konflik kepentingan dalam menjalankan kewenangan, tugas, dan tanggung jawabnya dalam mengawasi persaingan usaha. Hal tersebut terungkap dalam webinar publik bertajuk “Due process of Law dan Upaya Hukum terhadap Putusan KPPU Pasca Undang Undang Cipta Kerja”.
Mantan Ketua Komisi Yudisial RI, dan Akademisi, Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si, yang menjadi salah satu pemateri, mengatakan ada keanehan dalam persidangan yang dilakukan KPPU selama ini, di mana investigator KPPU yang diisi oleh staf di sekretariatnya itu bertindak layaknya jaksa penuntut umum, sementara komisioner layaknya hakim.
Artinya, yang melakukan kegiatan penyelidikan atau membacakan laporan dugaan pelanggaran pada pemeriksaan pendahuluan, mengajukan alat bukti, menyampaikan kesimpulan pada pemeriksaan lanjutan, dan mempertahankan alat-alat bukti yang mendukung laporan dugaan pelanggaran tersebut pada tahap pemeriksaan lanjutan, termasuk yang memutuskan itu adalah mereka-mereka sendiri.
“Saya melihat hubungan investigator dan Komisi di sini adalah hubungan subordinat, di mana investigator bekerja atas perintah Komisi. Jadi, dalam posisi itu, sudah jelas Komisioner KPPU terlibat konflik kepentingan dengan semua temuan investigator untuk melayani kepentingan Komisi, dan dapat dipastikan akan menerima dan membenarkan apa pun temuan investigator. Nyaris tidak ada proses memeriksa, mengadili, dan memutus yang berkualitas untuk mencari kebenaran dan keadilan sebagaimana seharusnya peradilan,” ujar Suparman ditulis Senin (5/7/2021).
Selama proses persidangan, pelaku usaha juga dilarang untuk mengakses dokumen penyelidikan yang disusun KPPU, maupun dokumen yang digunakan sebagai acuan utama pengambilan keputusan. Artinya, dokumen itu tidak pernah diperlihatkan dan diuji di dalam pemeriksaan/persidangan.
“Prosedur penegakan aturan seperti itu jelas melanggar prinsip imparsialitas, yaitu tidak memberikan kesempatan yang sama antara pemohon, investigator, dan terlapor. Ini melanggar persamaan perlakuan hukum atau equality before the law,” ujar Suparman.
Selain itu, kata Suparman, dalam proses pembuktian beberapa perkara KPPU, Anggota Majelis Komisi seringkali mengajukan pertanyaan-pertanyaan menjerat, tendensius, menyimpulkan, dan bahkan intimidatif.
Menurutnya, Anggota dan Majelis Komisi tampak berpihak, berprasangka, sehingga cenderung gagal mengedepankan pengungkapan kebenaran terhadap fakta secara komprehensif sebelum suatu putusan dijatuhkan.
Baca Juga: Belum Ditemukan Indikasi Monopoli dalam Merger Gojek - Tokopedia
“Kalau sudah begitu, sehebat dan sebagus apa pun pembelaan terlapor dan kuasa hukumnya nyaris sia-sia, sehingga tidak salah jika ada kritik bahwa persidangan di KPPU tidak memenuhi syarat due process of law (proses hukum yang adil) - prinsip universal yang seharusnya diwujudkan dalam persidangan apapun,” katanya.
Hal senada juga disampaikan mantan Hakim Mahkamah Agung, Dr. Susanti Adi Nugroho, S.H., M.H dalam acara yang sama. Susanti mangatakan kedudukan KPPU yang multifungsi, di mana bisa bertindak sebagai penyidik, penuntut, dan pemutus, akan menjadikan KPPU lembaga “super body”.
Ini yang membuat banyak pelaku usaha yang mengeluh diperlakukan secara tidak adil dalam proses pemeriksaan dan persidangan di KPPU.
Seharusnya, kata Susanti, meski memiliki kewenangan seluas itu, KPPU harus tetap memegang asas praduga tidak bersalah, tidak memberikan informasi perkara kepada public karena akan mempengaruhi putusan, serta asas audi et alteram partem atau memberi keadilan yang seimbang.
“Kalau tidak, saya khawatir akan mengganggu keseimbangan kedudukan pelaku usaha dan masyarakat konsumen, yang akan berakibat merugikan pihak pelaku usaha,” katanya.
Dalam hal penyerahan jaminan pembayaran, dia mengatakan tidak dapat diartikan sebagai pengakuan dugaan pelanggaran dalam putusan KPPU. Karena, sebelum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat, maka asas presumption of innoncence harus ditegakkan.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Breaking News! PSSI Resmi Umumkan Pelatih Timnas Indonesia
- 8 City Car yang Kuat Nanjak dan Tak Manja Dibawa Perjalanan Jauh
- 5 Rekomendasi Cushion Mengandung Skincare Anti-Aging Untuk Usia 40 Ke Atas
- Djarum Buka Suara soal Pencekalan Victor Hartono dalam Kasus Dugaan Korupsi Tax Amnesty
- 5 Smartwatch Terbaik untuk Olahraga dan Pantau Detak Jantung, Harga Mulai Rp300 Ribuan
Pilihan
-
Timnas Indonesia: U-17 Dilatih Timur Kapadze, Nova Arianto Tukangi U-20, Bojan Hodak Pegang Senior?
-
Harga Minyak Dunia Melemah, di Tengah Upaya Trump Tekan Ukraina Terima Damai dengan Rusia
-
Indonesia jadi Raja Sasaran Penipuan Lowongan Kerja di Asia Pasifik
-
Kisah Kematian Dosen Untag yang Penuh Misteri: Hubungan Gelap dengan Polisi Jadi Sorotan
-
Kisi-Kisi Pelatih Timnas Indonesia Akhirnya Dibocorkan Sumardji
Terkini
-
Jelang Akhir Tahun Realisasi Penyaluran KUR Tembus Rp240 Triliun
-
Jabar Incar PDRB Rp4.000 Triliun dan Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen
-
BRI Insurance Bidik Potensi Pasar yang Belum Tersentuh Asuransi
-
Cara SIG Lindungi Infrastruktur Vital Perusahaan dari Serangan Hacker
-
Dukung Implementasi SEOJK No. 7/SEOJK.05/2025, AdMedika Perkuat Peran Dewan Penasihat Medis
-
Fakta-fakta RPP Demutualisasi BEI yang Disiapkan Kemenkeu
-
Rincian Pajak UMKM dan Penghapusan Batas Waktu Tarif 0,5 Persen
-
Tips Efisiensi Bisnis dengan Switchgear Digital, Tekan OPEX Hingga 30 Persen
-
Indef: Pedagang Thrifting Informal, Lebih Bahaya Kalau Industri Tekstil yang Formal Hancur
-
Permata Bank Targetkan Raup Rp 100 Miliar dari GJAW 2025