Suara.com - Peraturan pemerintah yang mewajibkan penumpang pesawat melakukan tes PCR 2x24 jam sebelum keberangkatan menuai pro-kontra. Sejumlah pihak menyebut, kebijakan ini memberatkan masyarakat.
Usai jadi sorotan, lantas muncul pertanyaan, siapa yang paling diuntungkan dari peraturan ini? Salah satunya yang adalah importir PCR dan Rapid Test Antigen.
Saat ini, importir dari dua alat tersebut didominasi dari perserorangan atau korporasi non-pemerintah. Dikutip dari Solopos.com --jaringan Suara.com, 77,16 persen impor kebutuhan penanganan pandemi dipegang korporasi non-pemerintah.
Sedangkan pemerintah hanya kebagian 6,67 persen dari keseluruhan aktivitas impor kebutuhan penanganan pandemi COVID-19 dan 6,18 persen pengadaan barang dari luar negeri dilakukan oleh lembaga non-profit.
Uniknya, pihak yang memiliki andil besar dalam impor itu ternyata tidak semuanya memiliki bisnis di bidang kesehatan.
Masih bersumber yang sama, dokumen terkait menyebut, beberapa perusahaan bahkan bergerak di bidang kecantikan, tekstil hingga ketel uap.
Berikut 7 importir tersebsar alat kesehatan, salah satunya seperti PCR dan Rapid Test hingga akhir Juli 2021 lalu:
1. Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB sebesar US$68,6 juta atau 6,29 persen
2. PT Jenny Cosmetics dengan nilai impor sebesar US$43,6 juta atau 4 persen
Baca Juga: Naik Pesawat Wajib PCR, Sekarpura 11 Sampaikan Keberatan Mewakili Penumpang
3. Kelompok usaha Dexa Group PT. Beta Pharmacon sebesar US$36,4 juta atau 3,34 persen. Kelompok usaha Dexa Group khusus melakukan importasi obat terapi Covid-19, tak terkait importasi rapid test maupun PCR.
4. Perusahaan teknologi medis asal Jerman Dräger Medical Indonesia sebesar US$21,5 juta atau 1,98 persen
5. Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia dengan nilai US$21,07 juta atau 1,93 persen
6. Perusahaan tekstil multi nasional PT Pan Brothers US$21,07 juta atau 1,93 persen
7. Perusahaan ketel uap PT Trimitra Wisesa Abadi sebesar US$20,8 juta atau 1,91 persen
Selain tujuh perusahaan itu, ada pula sejumlah pihak yang turut impor alat kesehatan seperti PT Sinergi Utama Sejahtera, Cahaya Medical Indonesia hingga Pusat Keuangan Kementerian Pertahanan.
Berita Terkait
-
Ada Siswa dan Guru Positif COVID-19, Belasan Sekolah di Kota Bandung PJJ Lagi
-
Bebani Rakyat, Relawan Jokowi Joman Gugat Inmendagri soal Syarat Tes PCR di PTUN Besok
-
Jadi Syarat Penerbangan, YLKI ke Pemerintah: Turunkan Harga Tes PCR hingga Rp200 Ribuan
-
Penerbangan Domestik Wajib Tes PCR, YLKI: Diskriminatif dan Kental Aura Bisnis
-
Teriak Minta Harga PCR Harus Benar, Susi Pudjiastuti: Ayo Mbak Puan Wakili Kami Please
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas yang Anti-Rugi: Pemakaian Jangka Panjang Tetap Aman Sentosa
- 3 Mobil Bekas 60 Jutaan Kapasitas Penumpang di Atas Innova, Keluarga Pasti Suka!
- 5 Mobil Listrik 8 Seater Pesaing BYD M6, Kabin Lega Cocok untuk Keluarga
- Cek Fakta: Viral Ferdy Sambo Ditemukan Meninggal di Penjara, Benarkah?
- Target Harga Saham CDIA Jelang Pergantian Tahun
Pilihan
-
Catatan Akhir Tahun: Emas Jadi Primadona 2025
-
Dasco Tegaskan Satgas DPR RI Akan Berkantor di Aceh untuk Percepat Pemulihan Pascabencana
-
6 Rekomendasi HP Murah Layar AMOLED Terbaik untuk Pengalaman Menonton yang Seru
-
Kaleidoskop Sumsel 2025: Menjemput Investasi Asing, Melawan Kepungan Asap dan Banjir
-
Mengungkap Gaji John Herdman dari PSSI, Setara Harga Rumah Pinggiran Tangsel?
Terkini
-
LPDB Koperasi Akselerasi Penyelesaian Dana Bergulir di Provinsi Bali
-
Dongkrak Produksi Minyak di Papua, SKK Migas dan Petrogas Mulai Injeksi Kimia di Lapangan Walio
-
Menperin Minta Insentif Otomotif ke Menkeu
-
Barcelona dan BRI Kolaborasi, Bayar Cicilan di BRImo Bisa Ketemu Lamine Yamal
-
IHSG Menutup 2025 di Level Tertinggi, OJK Buka Rahasia Pasar Modal RI yang Solid
-
Catatan Akhir Tahun, Aktivitas Industri Manufaktur RI Melambat
-
Cicilan HP ShopeePayLater vs Kredivo, Mana yang Lebih Murah
-
Pemerintah Tegaskan Impor Daging Sapi untuk Industri Bukan Kosumsi Masyarakat
-
Catatan Akhir Tahun: Waspada Efek 'Involusi' China dan Banjir Barang Murah di Pasar ASEAN
-
Pencabutan Insentif Mobil Listrik Perlu Kajian Matang di Tengah Gejolak Harga Minyak