Suara.com - Dunia internasional mendorong peran Indonesia untuk mengedepankan isu perubahan iklim dan pemulihan hubungan manusia dengan planet bumi di perhelatan Stockholm +50, terutama mengingat kepimpinan Indonesia di G-20 tahun ini.
Perhelatan Stockholm +50 yang akan digelar tanggal 2-3 Juni mendatang juga bertepatan dengan peringatan 50 tahun sejak Deklarasi Stockholm diadopsi di pertemuan PBB pertama terkait lingkungan hidup di Stockholm. Deklarasi ini merupakan pernyataan dunia pertama yang menjelaskan interkoneksi antara pembangunan, kemiskinan dan lingkungan hidup.
Pertemuan Stokcholm +50 juga akan membahas kelangsungan lingkungan hidup dunia setelah dunia dihantam pandemic. Dua tahun pandemi telah membuat terjadinya kemunduran dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals). Ini karena adanya peningkatan kemiskinan, pola konsumsi yang tidak sustainable serta eksploitasi sumber daya alam.
Dosen Departemen SKPM IPB University Soeryo Adiwobowo menjelaskan, pembangunan yang selama ini dilakukan harus bersahabat dengan alam agar bisa menciptakan planet yang sehat.
Dari tatanan makro, untuk memulihkan dan menumbuhkan kembali relasi positif dengan alam, diperlukan perubahan radikal pada tatanan kehidupan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dengan konsumsi sebagai mesin pertumbuhan.
“Selain itu juga perlu perubahan paradigma ilmu pengetahuan sehingga muncul fondasi teoritik baru yang mampu menganalisis kompleksitas relasi sosial, ekonomi, dan politik di mana perubahan lingkungan terkandung di dalamnya,” kata Soeryo Adiwibowo dalam webinar Stockholm+50: a healthy planet for the prosperity of all - What are Indonesia’s lessons learned? yang digelar UNDP, Kementerian Luar Negeri dan Kedutaan Besar Swedia di Jakarta bersama Katadata pada Kamis (17/3/2022).
Soeryo menambahkan, inti masalah ekologi pada dasarnya berakar pada persoalan sosial, ekonomi politik, bukan persoalan teknis dan manajemen.
Kata Soeryo, pemulihan dan regenerasi hubungan manusia dengan alam untuk Indonesia dapat dilakukan dengan cara menyelenggarakan pendidikan green transformational leadership di kalangan remaja dan pemuda desa yang kontekstual dengan situasi sosial ekologi setempat
Selain itu, pertumbuhan peserta Program Kampung Iklim (ProKlim) harus diakselerasi. Saat ini telah terbentuk lebih dari 3.000 Kampung Iklim di Indonesia dengan target tahun 2024 sebanyak 20.000 Kampung Iklim.
Baca Juga: Pimpinan BKSAP Sampaikan Empat Agenda Utama IPU ke-144
Kepala Kajian Ekonomi Lingkungan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Alin Halimatussadiah mengatakan, untuk memperbaiki lingkungan sekaligus juga ekonomi nasional, sangat penting bagi Indonesia untuk menerapkan pemulihan berkelanjutan alias sustainable recovery. Di mana hal ini dapat pula memanfaatkan momentum pandemi Covid-19, yang menyebabkan berbagai taget SDGs yang sudah ditetapkan sebelumnya berisiko untuk sulit tercapai.
“Kita bisa memanfaatkan situasi krisis pandemi ini untuk memforward menuju masa depan yang bukan lagi kembali ke situasi sebelumnya, tapi lebih baik dengan sustainable recovery,” kata dia.
Namun demikian, untuk menerapkan pemulihan berkelanjutan, perlu bagi Indonesia untuk melihat jauh ke depan. Seperti dampak apa saja yang mungkin diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan yang ada saat ini. Terlepas apakah kebijakan tersebut sudah mengarah pada ekonomi hijau atau masih berupa kebijakan konvensional.
Di samping itu, dengan melihat lebih jauh dampak negative dari kebijakan business as usual, ini sama artinya Indonesia sedang memitigasi future losses atau kerugian di masa depan. “Mungkin benefitnya tidak terlihat, tapi kita ingin menghindari bencana di masa depan,” tutur Alin.
Sementara itu, menurut Alin, selama ini, khususnya saat pagebluk, kebijakan ekonomi yang diambil oleh Indonesia dinilai memberikan kontribusi negatif lebih banyak terhadap lingkungan, ketimbang yang memberikan dampak positif.
Karena itu, untuk benar-benar menerapkan green economy, Indonesia sangat perlu memerhatikan permasalahan global yang terjadi saat ini, yakni perubahan iklim.
Berita Terkait
Terpopuler
- Nikmati Belanja Hemat F&B dan Home Living, Potongan Harga s/d Rp1,3 Juta Rayakan HUT ke-130 BRI
- 7 Mobil Bekas Keluarga 3 Baris Rp50 Jutaan Paling Dicari, Terbaik Sepanjang Masa
- JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
- 5 Sepatu Running Lokal Selevel Asics Original, Kualitas Juara Harga Aman di Dompet
- 7 HP Samsung Seri A Turun Harga hingga Rp 1 Jutaan, Mana yang Paling Worth It?
Pilihan
-
Jadwal dan Link Streaming Nonton Rizky Ridho Bakal Raih Puskas Award 2025 Malam Ini
-
5 HP RAM 6 GB Paling Murah untuk Multitasking Lancar bagi Pengguna Umum
-
Viral Atlet Indonesia Lagi Hamil 4 Bulan Tetap Bertanding di SEA Games 2025, Eh Dapat Emas
-
6 HP Snapdragon RAM 8 GB Termurah: Terbaik untuk Daily Driver Gaming dan Multitasking
-
Analisis: Taktik Jitu Andoni Iraola Obrak Abrik Jantung Pertahanan Manchester United
Terkini
-
Negosiasi Tarif Dagang dengan AS Terancam Gagal, Apa yang Terjadi?
-
BRI Rebranding Jadi Bank Universal Agar Lebih Dekat dengan Anak Muda
-
Kemenkeu Matangkan Regulasi Bea Keluar Batu Bara, Berlaku 1 Januari 2026
-
Cara Mengurus Pembatalan Cicilan Kendaraan di Adira Finance dan FIFGROUP
-
Pemerintah Tegaskan Tak Ada Impor Beras untuk Industri
-
CIMB Niaga Sekuritas Kedatangan Bos Baru, Ini Daftar Jajaran Direksi Teranyar
-
Eri Budiono Lapor: Bank Neo Kempit Laba Rp517 Miliar Hingga Oktober 2025
-
IPO SUPA: Ritel Cuma Dapat 3-9 Lot Saham, Ini Penjelasan Lengkapnya
-
OJK Akan Tertibkan Debt Collector, Kreditur Diminta Ikut Tanggung Jawab
-
Mengenal Flexible Futures Pada Bittime untuk Trading Kripto