Suara.com - Surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang memuat data dan informasi kegiatan usaha yang terbangun di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di bidang perkebunan (SK DATIN) berpotensi menimbulkan intimidasi terhadap para pelaku usaha perkebunan, baik perusahaan maupun petani sawit.
Pasalnya, ungkap Pakar Hukum Kehutanan dan Pengajar Hukum Universitas Al Azhar Jakarta, Dr Sadino, SH, MH, pihak pelaku usaha perkebunan selaku subyek hukum dalam SK DATIN tersebut, tidak pernah dimintai penjelasan berupa pemanggilan klarifikasi maupun verifikasi sehingga dapat saling menjelaskan tentang sumber perizinan dari usaha yang dimiliki dan juga status kawasan yang dipergunakan untuk melakukan kegiatan perkebunannya.
Hingga saat ini, lanjut sadino dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi kemarin, di Jakarta, telah dikeluarkan SK DATIN I — XV yang mencakup banyak subyek hukum dengan luas perkebunan sawit yang sangat luas.
SK DATIN tersebut berisi subyek hukum, jenis kegiatan, lokasi kegiatan yang meliputi wilayah administratif, kawasan hutan dan kesesuaian ruang, luasan administratif areal terbuka dan skema penyelesaian sesuai UU Cipta Kerja.
Sadino menjelaskan, setelah diterbitkan SK DATIN oleh Menteri LHK, maka selanjutnya Sekretaris Jenderal KLHK selaku Ketua Satuan Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pengendalian Implementasi Undang-Undang tentang Cipta Kerja Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SATLAKWALDA-UUCK) segera menerbitkan surat, hal kelengkapan data Permohonan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) melalui Skema PP No. 24 Tahun 2021.
“Jika diperhatikan dari SK DATIN dan Surat SATLAKWALDA-UUCK, maka secara prosedur harusnya dapat dikoreksi, mengingat pada saat dimasukkan ke SK DATIN tidak dilakukan klarifikasi terlebih dahulu,” tukasnya ditulis Senin (16/10/2023).
Padahal, ujar Sadino, dengan adanya SK DATIN, telah menempatkan posisi Subyek Hukum baik pelaku usaha dari perusahaan maupun non perusahaan yang telah dicantumkan di dalam SK DATIN bersangkutan, sudah dapat menimbulkan akibat hukum bagi mereka.
“Pencantuman nama-nama subyek hukum tersebut telah memposisikan subyek hukum tidak patuh hukum dan dianggap telah melanggar hukum, sehingga subyek hukum menerima dampak dari adanya pencantuman subyek hukum dalam SK DATIN,” katanya menegaskan.
Menurut Sadino, SK DATIN yang selain memuat subyek hukum juga memuat jenis kegiatan, lokasi kegiatan (wilayah administratif, kawasan hutan dan kesesuaian ruang), luasan administratif areal terbuka dan skema penyelesaian sesuai UU Cipta Kerja dilakukan secara sepihak dan diumumkan melalui surat yang tersebar kepada berbagai pihak seharusnya perlu dikoreksi terlebih dahulu karena isi SK DATIN bisa saja tidak sesuai dengan data pelaku usaha perkebunan.
Baca Juga: Bursa CPO Resmi Diluncurkan, RI Miliki Acuan Harga Minyak Sawit
“Pola pencantuman secara kelompok dalam satu SK DATIN tentunya dapat dikatakan merugikan pelaku perkebunan. Seharusnya secara administratif dapat ditempuh dengan pola interaksi pemanggilan sehingga ada fairness dalam pemuatan DATIN sebelum dimasukkan SK DATIN. Semua adalah pekerjaan pejabat pemerintah dan seyogianya dilakukan secara patut menurut hukum,” katanya.
Menurut dia, perlu dicermati pula bahwa data yang dimasukkan dalam SK DATIN hanya memuat data sepihak oleh KLHK. Padahal, pelaku usaha perkebunan mempunyai data yang berbeda dengan data DATIN mengingat kondisi di lapangan yang berbeda.
“Kondisi di Provinsi Sumatera Utara sangat berbeda dengan Provinsi Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Provinsi lainnya. Begitu juga di Kalimantan kondisi lahan perkebunan di Kalimantan Barat berbeda dengan Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan juga Kalimantan Utara. Begitu di Sulawesi dan lainnya,” katanya.
Bahkan, tambahnya, pelaku usaha perkebunan yang sudah memiliki HGU saja sebelum adanya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga dimasukkan dalam SK DATIN. Tentu Data yang ada dalam SK DATIN berpotensi merugikan pelaku perkebunan kelapa sawit.
Menurut Sadino, dari berbagai informasi yang diperoleh terungkap bahwa para pelaku usaha perkebunan telah secara sepihak dimasukkan dalam Data SK DATIN dan cenderung dipaksa untuk mengikuti Skema PP 24 tahun 2021.
Bagaimana mungkin HGU yang sudah ada sebelum UUCK harus mengikuti skema PP 24/2021? Bagaimana mungkin masyarakat transmigran dan masyarakat lokal yang sudah mempunyai hak atas tanah seperti SHM, hak garap, hak kelola, hak adat, tempat tinggal yang turun temurun dan lainnya harus mengikuti skema PP 24/2021 yang dinilai membebani karena biayanya mahal?
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 8 Promo Makanan Spesial Hari Ibu 2025, dari Hidangan Jepang hingga Kue
- Media Swiss Sebut PSSI Salah Pilih John Herdman, Dianggap Setipe dengan Patrick Kluivert
- 7 Sepatu Murah Lokal Buat Jogging Mulai Rp100 Ribuan, Ada Pilihan Dokter Tirta
- 4 Sepatu Lari Teknologi Tinggi Rekomendasi Dokter Tirta untuk Kecepatan Maksimal
- 5 Sepatu Lari Hoka Diskon 50% di Sports Station, Akhir Tahun Makin Hemat
Pilihan
-
Bukan Sekadar Tenda: Menanti Ruang Aman bagi Perempuan di Pengungsian
-
4 Rekomendasi HP Xiaomi Murah, RAM Besar Memori Jumbo untuk Pengguna Aktif
-
Cek di Sini Jadwal Lengkap Pengumuman BI-Rate Tahun 2026
-
Seluruh Gubernur Wajib Umumkan Kenaikan UMP 2026 Hari Ini
-
Indosat Gandeng Arsari dan Northstar Bangun FiberCo Independent, Dana Rp14,6 Triliun Dikucurkan!
Terkini
-
Pemerintah Tetapkan SOP Ketat Cegah Masuknya Zat Radioaktif di Tanjung Priok
-
Saham INET Anjlok di Tengah Rencana Rights Issue Rp3,2 Triliun, Ini Penyebabnya
-
Rupiah Terus Menguat, Dolar AS Melemah ke Level Rp16.765
-
BRI Tetap Melayani Saat Libur Nataru: Berikut Jadwal 159 Unit Kerja Operasional
-
Purbaya Kaji Geo Dipa Pasok Gas ke Kawasan Industri, Harga Lebih Murah dari Pertamina
-
Harga Perak Antam Naik Berturut-turut, Tahun Baru Cetak Rekor Baru?
-
8 Ide Usaha yang Belum Banyak Pesaing di 2026, Cocok untuk Pemula?
-
Trump 'Ngebet' Caplok 4 Juta Barel Minyak Venezuela, China dan Rusia Geram
-
PKH Tahap 4 2025 Segera Cair, Ini Cara Cek Statusnya di Cekbansos.kemensos.go.id
-
Purbaya Siapkan Rp 2 Triliun dari LPEI untuk Pembiayaan Ekspor Industri Tekstil dan Furnitur