Suara.com - Keputusan pemerintah melanjutkan program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) bakal menghadapi banyak tantangan. Selain ketersediaan pasokan gas pipa di dalam negeri yang terus menurun, tingginya harga Liquid Natural Gas (LNG) sebagai subtitusi gas pipa akan menyulitkan konsumen industri.
Program HGBT menetapkan harga gas bumi USD6 per MMBTU kepada 7 sektor industri tertentu. Adapun tujuh sektor penerima HGBT meliputi pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca, sarung tangan karet.
Ketua Koordinator Gas Industri KADIN Indonesia sekaligus Wakil Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Achmad Widjaja mengatakan terdapat fakta dan merupakan persoalan yang sudah diketahui bersama bahwa terjadi natural declining atau penurunan produksi secara alami di sejumlah sumber utama gas. Terutama di wilayah Barat yang selama ini memasok sebagian besar industri.
”Pertama, saat ini di semua sisi yang disebut industrialisasi di Jawa Barat sudah kurang. Di Timur kelebihan. Artinya shifting areanya juga belum clear. Nah proses ini sangat membingungkan buat kita apakah HGBT ini benar-benar bisa diimplementasikan secara volume,” ungkapnya di sebuah diskusi tentang Energi di Jakarta, Kamis (11/7/2024).
Dengan situasi itu, lanjutnya, melimpahnya cadangan gas tidak bisa lagi menjadi acuan utama karena pemerintah, termasuk Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah mengetahui adanya natural decline tersebut. ”Melimpahnya gas itu bukan jadi suatu topik lagi saat ini karena pemerintah kan juga sudah tahu ada declining sumur yang ada di Sumatera,” terangnya.
Maka, Achmad menegaskan, yang dibutuhkan sebenarnya adalah kepastian skema dan kebijakan yang bersifat jangka menengah dan jangka panjang. ”Menurut kita di posisi seperti ini kita bisa tahu apa yang akan menjadi pegangan kita di industri 5 tahun ke depan, 2 tahun ke depan, itu intinya,” tegasnya.
Ditambah lagi dengan rencana pemerintah yang juga akan membuka lebih banyak pihak untuk infrastruktur regasifikasi gas alam cair (LNG) di kawasan tertentu. Artinya skema blending price adalah keniscayaan dan tidak bisa dengan sekadar mematok harga murah.
”Jadi PR-nya masih panjang ya sampai ketemu satu titik antara pemangku kepentingan, duduk bersama ya paling tidak,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, dalam kesempatan yang sama mengingatkan bahwa pemerintah memang perlu berhati-hati dalam kebijakan gas bumi terutama HGBT ini. Terlebih pada akhirnya juga akan mengoptimalkan LNG sebagai solusi terjadinya natural declining ini.
Baca Juga: Tokoh-tokoh ITS Dorong Ikatan Alumni Berani Berkontribusi Bagi Kemajuan Industri Nasional
”Kemampuan fiskal pemerintah sanggup tidak untuk intervensi? Kalau misalkan ICP (Indonesia Crude Price) 100, kita tergantung pada LNG, paling tidak harga LNG-nya sudah USD10. Kalau diminta USD6 (sesuai HGBT) pemerintah harus intervensi sekitar USD4 dan tidak punya bagian sama sekali ya ini di dalam LNG,” jelasnya.
Belum lagi jika nantinya bahan baku LNG harus impor penuh. Dalam situasi ini, kata Komaidi, terdapat potensi bahwa pasokan gas ke industri tidak selalu bisa terealisasi. ”Ini yang jauh lebih mengkhawatirkan. Nah karena itu perlu diinformasikan kebijakan yang lebih pas. Kalau hanya kasih HGBT dalam satu sampai dua tahun ke depan, tahun ketiga dan seterusnya menjadi bencana, saya kira ini pilihan kebijakan yang perlu dikaji ulang,” sarannya.
Maka Komaidi berharap seluruh pemangku kepentingan terutama pemerintah menjelaskan situasi sebenarnya. ”Sebetulnya perlu jujur sih problemnya apa, kita cari titik optimalnya ada di mana. Saya kira pengguna gas juga tidak akan menolak ketika harga rasionalnya harus USD7 (per MMBTU) misalnya mereka pasti akan sanggup membayar USD7,” ungkapnya.
Sebab yang lebih dibutuhkan industri adalah kepastian. ”Sebagai ilustrasi misalnya ketika pabrik hari ini katakan lah dapat pasokan gas bumi 1000, itu kan kapasitas pabriknya sudah disetting 1000. Jika nanti turun menjadi 500 otomatis harus turun settingnya. Tapi untuk mengubah lagi settingan itu kan tidak sederhana,” Komaidi menggambarkan.
Pemerintah sebagai fasilitator diyakini bisa berlaku adil untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Kuncinya adalah keadilan untuk seluruh pemangku kepentingan. Bukan hanya industri konsumen gas bumi saja tetapi juga industri hulu, midstream, dan downstream migas.
”Problemnya itu ada di mana kita selesaikan. Kalau misalkan dari hulu sampai hilir ada untungnya USD4 yang untung itu juga didistribusikan; hulu dapat berapa, tengah dapat berapa, industri pengguna dapat pasokannya dan marginnya dapat berapa. Nah pemerintah sebagai fasilitator atau sebagai wasit, harus adil ke semua pemain,” Komaidi mengusulkan.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Bedak Viva Terbaik untuk Tutupi Flek Hitam, Harga Mulai Rp20 Ribuan
- 25 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 1 November: Ada Rank Up dan Pemain 111-113
- Mulai Hari Ini! Sembako dan Minyak Goreng Diskon hingga 25 Persen di Super Indo
- 7 Rekomendasi Mobil Bekas Sekelas Brio untuk Keluarga Kecil
- 7 Mobil Bekas Favorit 2025: Tangguh, Irit dan Paling Dicari Keluarga Indonesia
Pilihan
-
Jokowi Takziah Wafatnya PB XIII, Ungkap Pesan Ini untuk Keluarga
-
Nasib Sial Mees Hilgers: Dihukum Tak Main, Kini Cedera Parah dan Absen Panjang
-
5 HP dengan Kamera Beresolusi Tinggi Paling Murah, Foto Jernih Minimal 50 MP
-
Terungkap! Ini Lokasi Pemakaman Raja Keraton Solo PB XIII Hangabehi
-
BREAKING NEWS! Raja Keraton Solo PB XIII Hangabehi Wafat
Terkini
-
Rahmad Pribadi Jamin Ketersediaan Pupuk Subsidi hingga Akhir 2025
-
Fundamental Kuat dan Prospektif, BRI Siapkan Buyback Saham
-
LRT Jabodebek Bisa Tap In dengan QRIS NFC Android, iPhone Kapan Nyusul?
-
Harga Emas Dunia Diramal Bertahan di Atas US$ 4.000, Emas Lokal Bakal Terdampak?
-
6.000 Karyawan Kena PHK, CEO Microsoft Lebih Berminat Gunakan AI
-
Tol Padaleunyi Terapkan Contraflow Selama 10 Hari Pemeliharaan Jalan, Cek Jadwalnya
-
4 Bansos Disalurkan Bulan November 2025: Kapan Mulai Cair?
-
Dukung FLOII Expo 2025, BRI Dorong Ekosistem Hortikultura Indonesia ke Pasar Global
-
Cara Cek Status Penerima Bansos PKH dan BPNT via HP, Semua Jadi Transparan
-
Puluhan Ribu Lulusan SMA/SMK Jadi Penggerak Ekonomi Wong Cilik Lewat PNM