Suara.com - OVO Finansial, salah satu penyedia layanan keuangan digital, menyuarakan keprihatinan terhadap tingginya tingkat bunga yang ditawarkan oleh sejumlah perusahaan pinjaman online (pinjol) ilegal.
OVO menilai bahwa bunga pinjol yang mencekik telah merusak citra perusahaan pinjol legal seperti OVO Finansial.
"Bunga pinjol ilegal sangat mencekik, kalau kita ikut aturan OJK (Otoritas Jasa Keuangan)," kata Head of Public Affairs and Policy OVO Finansial, Mekhdi Ibrahim Johan dalam diskusi Ruang Gagasan bertajuk 'Modal Usaha Anti Ribet, di sini Infonya' yang diselenggarakan Core Indonesia bekerjasama dengan Suara.com pada Kamis (25/7/2024).
Menurut dia dengan bunga pinjol selangit dapat membebani masyarakat, terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan finansial.
"Kita itu maksimal aturannya 0,3 persen (per hari), kalau lebih dari itu berarti sudah pasti pinjol ilegal," ungkapnya.
Dalam aturan OJK sendiri batasan tingkat suku bunga jasa layanan fintech peer-to-peer lending (P2P lending) maksimal sampai 0,3 persen. Hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran Nomor 19 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Berbasis Teknologi Informasi.
Dalam beleid itu, batasan bunga yang sebelumnya ditetapkan oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) sebesar 0,4 persen, akan menjadi 0,1 persen sampai 0,3 persen oleh OJK.
Menurutnya praktik bunga tinggi yang dilakukan oleh sejumlah oknum penyedia layanan keuangan digital ini tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga merusak citra industri fintech secara keseluruhan.
Mekhdi mengecam keras praktik pinjol ilegal yang merugikan konsumen dan merusak reputasi industri. Dirinya menegaskan bahwa sebagian besar perusahaan fintech yang tergabung dalam asosiasi berkomitmen untuk menjalankan bisnis secara etis dan transparan.
"Kepercayaan P2P lending pinjol ilegal sudah sangat jelek, kita saat ini mencoba untuk meningkatkan trust (kepercayaan) lagi," katanya.
Makanya saat ini dirinya bersama dengan asosiasi fintech tengah menggodok perubahan istilah pinjol. Menurutnya perubahan ini bertujuan untuk membedakan antara layanan fintech peer-to-peer (P2P) lending yang legal dan terdaftar di OJK dengan praktik pinjaman online ilegal.
"Istilah pinjol selama ini sering diidentikkan dengan praktik-praktik ilegal. Padahal, tidak semua pinjol itu ilegal. Dengan mengubah istilahnya, diharapkan masyarakat bisa lebih memahami dan membedakan," pungkasnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pelatih Argentina Buka Suara Soal Sanksi Facundo Garces: Sindir FAM
- Kiper Keturunan Karawang Rp 2,61 Miliar Calon Pengganti Emil Audero Lawan Arab Saudi
- Usai Temui Jokowi di Solo, Abu Bakar Ba'asyir: Orang Kafir Harus Dinasehati!
- Ingatkan KDM Jangan 'Brengsek!' Prabowo Kantongi Nama Kepala Daerah Petantang-Petenteng
- 30 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 28 September: Raih Hadiah Prime Icon, Skill Boost dan Gems Gratis
Pilihan
-
Here We Go! Jelang Lawan Timnas Indonesia: Arab Saudi Krisis, Irak Limbung
-
Berharap Pada Indra Sjafri: Modal Rekor 59% Kemenangan di Ajang Internasional
-
Penyumbang 30 Juta Ton Emisi Karbon, Bisakah Sepak Bola Jadi Penyelamat Bumi?
-
Muncul Tudingan Ada 'Agen' Dibalik Pertemuan Jokowi dengan Abu Bakar Ba'asyir, Siapa Dia?
-
BBM RI Dituding Mahal Dibandingkan Malaysia, Menkeu Purbaya Bongkar Harga Jual Pertamina
Terkini
-
IHSG Berpotensi Rebound, Ancaman Shutdown AS Diabaikan Wall Street
-
Harga Emas di Pegadaian Hari Ini: Antam Naik Jadi Rp 2.335.000, Emas UBS Lagi Turun!
-
Emas Meroket! Ini 3 Alasan di Balik Kenaikan Harga Mineral Pada September
-
Mengenal Bintang Jasa Utama yang Diberikan Presiden Prabowo ke Ray Dalio
-
Hana Bank Optimistis Laba Tumbuh di atas 15 Persen Tahun Ini
-
BCA Syariah Wujudkan Harmoni Digitalisasi dengan Nilai Luhur Spiritual
-
Mayoritas Terus Merugi, Belasan BUMN Asuransi Akan Dipangkas dan Disisakan 3 Saja
-
Hana Bank Mulai Serius Garap UMKM
-
Perlindungan Dana Nasabah di Rekening Dormant
-
Janji Pangkas Waktu Pembayaran Kompensasi ke BUMN, Purbaya: Jangan Rugi Terus!