Hipotesis ketiga, penghematan atau skimping. Katanya, “Menurunnya alokasi sumber daya untuk penjaminan dan pemantauan pinjaman bisa memengaruhi kualitas pinjaman.”
Bank yang ingin memaksimalkan laba, menurut dia, bisa saja menekan biaya dalam jangka pendek dengan menurunkan alokasi sumber daya untuk penjaminan atau pemantauan pinjaman.
“Ini bisa berpotensi buruk terhadap kinerja pinjaman di masa depan,” ucap Prof. Chandra.
Keempat, perilaku tidak bermoral atau moral hazard. “Di sini, bank-bank bermodal kecil meningkatkan risiko pinjamannya, sehingga menyebabkan pinjaman bermasalah menjadi lebih tinggi di masa mendatang,’ urai Prof. Chandra.
Hasilnya? Bank-bank konvensional di kawasan Asia ternyata memiliki rasio NPL 8,813%, sedangkan bank bank Islam 6,596%.
“Data itu menunjukkan bahwa untuk kawasan Asia, rasio NPL atau kredit bermasalah dari bank-bank Islam lebih rendah ketimbang bank konvensional,” ungkap Prof. Chandra.
Akan tetapi, lanjutnya, bank-bank konvensional di Asia ternyata memiliki skor efisiensi biaya 95%, lebih tinggi ketimbang bank-bank Islam yang 87,3%.
Untuk kawasan Timur Tengah dan Turkey, papar Prof. Chandra, gambarannya kurang lebih sama. Rasio NPL bank-bank konvensional di Timur Tengah dan Turkey mencapai 8,264%, atau lebih tinggi ketimbang bank-bank Islam yang 7,969%.
Sementara, efisiensi biaya dari bank-bank konvensional, lanjutnya, mencapai 93,7%, lebih tinggi dari bank-bank Islam yang 88,4%.
Baca Juga: Mantan Orang Dekat Sri Mulyani jadi Stafus Pramono Anung di DKI Jakarta
Masih ada lagi sejumlah data yang disajikan Prof. Chandra dalam orasi ilmiahnya. Merujuk data tersebut, ia menyimpulkan bahwa bank-bank konvensional di kawasan Asia, Timur Tengah dan Turkey melakukan proses skimping atau penghematan.
Lalu, untuk hipotesis bad luck, itu tidak terjadi pada bank-bank konvensional di kawasan Asia, Turkey dan Timur Tengah, tetapi terjadi pada bankbank Islam di kawasan tersebut.
Sementara, dalam paparannya Prof. Purwanto mengungkapkan bahwa pemerintah menggunakan layanan Lembaga Keuangan Mikro (LKM), termasuk Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS), sebagai strategi untuk mengurangi kemiskinan.
“Ini akibat kurangnya akses layanan dari lembaga-lembaga keuangan konvensional,” cetusnya.
Di antara LKMS, riset Prof. Purwanto fokus pada Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dan Koperasi Syariah (Kopsyah). Menurutnya, segmen pasar BMT dan Kopsyah memang masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah.
“Semakin kecil angsuran pinjaman, layanan BMT dan Kopsyah akan dapat menjangkau lebih banyak masyarakat miskin,” tegasnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Prabowo Disebut Ogah Pasang Badan untuk Jokowi Soal Ijazah Palsu, Benarkah?
- 3 Shio Paling Beruntung Pekan Ketiga 13-19 Oktober 2025
- 5 Rekomendasi Sunscreen Mengandung Kolagen untuk Hilangkan Kerutan, Murah Meriah Mudah Ditemukan
- 6 Hybrid Sunscreen untuk Mengatasi Flek Hitam di Usia Matang 40 Tahun
- 22 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 12 Oktober: Klaim Pemain 112-113 dan Jutaan Koin
Pilihan
-
6 Rekomendasi HP Murah Tahan Air dengan Sertifikat IP, Pilihan Terbaik Oktober 2025
-
6 Fakta Isu Presiden Prabowo Berkunjung ke Israel
-
Harga Emas Antam Hari Ini Cetak Rekor Tertinggi Pegadaian, Tembus Rp 2.565.000
-
Warisan Utang Proyek Jokowi Bikin Menkeu Purbaya Pusing: Untungnya ke Mereka, Susahnya ke Kita!
-
Tokoh Nasional dan Kader Partai Lain Dikabarkan Gabung PSI, Jokowi: Melihat Masa Depan
Terkini
-
Menteri Bahlil: 1 Sumur Minyak Rakyat Bisa Hasilkan Rp 2,4 Juta per Hari, Lebih Besar dari Gaji PNS
-
Satgas BLBI Mau Dibubarkan, Menkeu Purbaya Ngotot Turun Langsung Tagih Utang
-
Bahlil Sebut Pasokan Bahan Baku Emas Terganggu Atas Insiden Freeport
-
Purbaya Batal Bentuk Badan Penerimaan Negara: Pajak dan Bea Cukai Tetap di Kemenkeu!
-
Tahun Depan B50 Jalan, Bahlil Punya Opsi DMO CPO
-
Harga Emas Pecahkan Rekor Lagi: Apa yang Mendorong XAUUSD Terus Meroket?
-
Berawal Edukasi, Pertamina Patra Niaga Gaspol Jalankan Program Bioetanol 10 Persen
-
Purbaya Umumkan APBN Defisit Rp 371,5 Triliun per September 2025
-
Penyebab IHSG Anjlok Hampir 2 Persen Sampai 614 Saham Kebakaran
-
Ramai Gagasan Luhut soal Family Office, Ini Contohnya di Berbagai Negara