Suara.com - Industri tektil dalam negeri tengah merana, setelah pabrik kimia dan serat polyester milik PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY) di Karawang tutup.
Kondisi ini menggambarka secara nyata tekanan yang terus dialami sektor hulu tekstil di tengah banjir impor dan kebijakan pemerintah yang dinilai belum berpihak secara menyeluruh pada ekosistem industri hulu-hilir.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Farhan Aqil, menilai tutupnya pabrik tersebut imbas perusahaan tak bisa memasok secara optimal di pasar domestik.
Hal ini terjadi, karena serbuan impor benang secara besar-besaran yang membuat serat polyester produksi dalam negeri seperti milik APF tidak terserap oleh pasar.
"Pabrik di Karawang itu memproduksi serat polyester, yang kemudian diproses menjadi benang. Tapi karena impor benang sangat tinggi, APF kesulitan distribusi. Kami mencatat sekitar 60 perusahaan terdampak sejak tahun 2022 hingga 2024, mayoritas di sektor benang dan kain," ujar Aqil di Jakarta, Selasa (29/7/2025).
Kemudian, lanjutnya, persoalan utang yang belum selesai juga memperburuk situasi. Aqil bilang meskipun APF ingin melunasi kewajibannya, pemerintah tetap meminta pembayaran utuh tanpa melihat kemampuan saat ini.
"Jadi tidak apple to apple. APF ingin menyelesaikan utangnya, tapi yang diminta justru lebih besar dari tanggung jawab mereka saat ini," jelasnya.
Aqil juga menyebut, penutupan APF mencerminkan masalah struktural yang selama ini membelit industri tekstil nasional. Ia menyayangkan pendekatan kebijakan yang selama ini cenderung berpihak pada sektor hilir seperti industri pakaian jadi, dengan alasan serapan tenaga kerja, tetapi mengorbankan kekuatan fondasi di sektor hulu.
Padahal industri tekstil di Indonesia sudah terintegrasi dari hulu hingga hilir sehingga menjadi satu kesatuan.
Baca Juga: Trump Minta Dihapus, Kemenperin Bakal Keluarkan Kebijakan Baru TKDI
Aqil menegaskan pentingnya perlindungan pasar domestik di tengah tantangan global seperti pembebasan tarif bea masuk ekspor dari perjanjian Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) dan kebijakan tarif impor 19% dari Amerika Serikat.
Ia mengingatkan bahwa dorongan ekspor produk jadi tidak boleh menekan industri hulu, apalagi jika bahan bakunya malah berasal dari luar negeri.
"Ekosistem tekstil kita sudah terintegrasi dari hulu ke hilir. Mau bikin viscose atau polyester, semua ada. Tapi kalau kebijakan tidak mendukung hulu, seluruh rantai bisa rusak. Nanti yang tumbuh hanya garmen, bahan bakunya semua impor. Itu berbahaya," bebernya.
Sebelumnya, Dikutip dari Keterbukaan Informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (21/7/2025), POLY mengaku sudah tak sanggup lagi menghadapi tekanan maha berat. Lesunya permintaan produk industri, baik dari pasar domestik maupun mancanegara, ditambah dengan maraknya serbuan tekstil impor dengan harga yang jauh lebih kompetitif, membuat POLY harus angkat tangan dan mengibarkan bendera putih untuk fasilitas produksinya di Karawang.
Manajemen POLY menjelaskan, keputusan sulit ini diambil setelah menghadapi berbagai tantangan bisnis yang bertubi-tubi. Kelebihan kapasitas global di industri tekstil, kenaikan tarif ekspor ke Amerika Serikat (AS) yang memberatkan, hingga kenaikan harga bahan baku menjadi deretan faktor eksternal yang menghimpit perusahaan.
Di dalam negeri, POLY juga mengeluhkan ketidakpastian kebijakan pemerintah, seperti penerapan bea anti-dumping dan revisi peraturan importasi yang belum juga sesuai harapan di luar negeri. Ini menunjukkan betapa kompleksnya permasalahan yang dihadapi produsen tekstil lokal.
"Oleh karena itu, perusahaan akan mendeklarasikan penutupan permanen unit produksi ini dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk merevisi proyeksi bisnisnya berdasarkan operasi pabrik Kaliwungu-Kendal di masa mendatang," terang Manajemen POLY.
Manajemen POLY juga telah berupaya keras menyelesaikan restrukturisasi utang dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) demi mencapai kesepakatan akhir atas perbaikan proposal yang diajukan. Namun, proses ini ternyata membutuhkan waktu lebih lama dari yang diperkirakan.
Meskipun perusahaan terus berupaya menjaga dan memelihara fasilitas produksi pabrik kimia dan serat di Karawang agar suatu saat dapat dioperasionalkan kembali, biaya pemeliharaan fasilitas unit produksi tersebut ternyata sangat tinggi.
Berita Terkait
Terpopuler
- Ameena Akhirnya Pindah Sekolah Gegara Aurel Hermanyah Dibentak Satpam
- Dana Operasional Gubernur Jabar Rp28,8 Miliar Jadi Sorotan
- Kopi & Matcha: Gaya Hidup Modern dengan Sentuhan Promo Spesial
- Breaking News! Keponakan Prabowo Ajukan Pengunduran Diri Sebagai Anggota DPR RI Gerindra, Ada Apa?
- Prabowo Incar Budi Gunawan Sejak Lama? Analis Ungkap Manuver Politik di Balik Reshuffle Kabinet
Pilihan
-
5 Transfer Pemain yang Tak Pernah Diduga Tapi Terjadi di Indonesia
-
Foto AI Tak Senonoh Punggawa Timnas Indonesia Bikin Gerah: Fans Kreatif Atau Pelecehan Digital?
-
Derby Manchester Dalam 3 Menit: Sejarah, Drama, dan Persaingan Abadi di Premier League
-
Disamperin Mas Wapres Gibran, Korban Banjir Bali Ngeluh Banyak Drainase Ditutup Bekas Proyek
-
Ratapan Nikita Mirzani Nginep di Hotel Prodeo: Implan Pecah Sampai Saraf Leher Geser
Terkini
-
Menkeu Purbaya Resmi Guyur Dana Jumbo Rp 200 Triliun ke Perbankan
-
Pabrik Baja di Surabaya Tumbang Imbas Gempuran Produk Impor
-
Emas Antam Kembali Mahal, Harganya Rp 2.095.000 per Gram
-
IHSG Loyo Sepekan, Asing Bawa Kabur Rp 31,59 Miliar
-
Menkeu Purbaya Janji Hentikan Sisa Anggaran Menumpuk di Akhir Tahun
-
Bos SMGR Akui Persaingan Industri Semen RI Makin Ketat
-
Pertamina Mau Gabung 3 Anak Usaha, DPR: Sesuai Keinginan Danantara
-
Rusun Jadi Fokus Solusi Pemukiman yang Semakin Mahal di Jakarta
-
Tidak Gratis, Pindahkan Rp 200 Triliun ke 5 Bank Menkeu Purbaya Minta Bunga Segini!
-
BNI Sambut Penempatan Dana Pemerintah, Tapi Minta Beberapa Penjelasan