Bisnis / Energi
Jum'at, 05 Desember 2025 | 12:30 WIB
Wakil Ketua Umum KADIN Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Aryo Djojohadikusumo. (dok. ist)
Baca 10 detik
  • KADIN menganggap ketersediaan gas bumi sebagai faktor strategis penentu ketahanan energi, pangan, dan pertumbuhan industri nasional.
  • Kebutuhan gas domestik (2.600 MMSCFD) melebihi kapasitas lifting (2.000 MMSCFD), menandakan pasokan masih ketat hingga 2034.
  • Keberlanjutan sektor gas memerlukan koordinasi hulu-hilir, regulasi investasi yang jelas, dan tata kelola akuntabel.

Suara.com - Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) menegaskan bahwa ketersediaan gas bumi menjadi faktor strategis dalam menjaga keberlanjutan pembangunan nasional. Gas tidak lagi sekadar isu teknis, melainkan kunci bagi ketahanan energi, ketahanan pangan, serta pertumbuhan industri strategis.

Wakil Ketua Umum KADIN Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Aryo Djojohadikusumo, menekankan pentingnya gas dalam mendukung produksi pupuk yang menjadi tulang punggung ketahanan pangan.

“Tidak mungkin ada ketahanan pangan tanpa pupuk, dan tidak mungkin ada pupuk tanpa gas,” ujar Aryo dalam Energy Insights Forum bertajuk Gas Outlook 2026: Powering Energy Resilience with Strong Governance, Kamis (4/12) di Jakarta.

Forum ini merupakan kolaborasi bulanan KADIN dan Katadata Insight Center, dengan dukungan EY Indonesia sebagai knowledge partner, untuk mendorong ekosistem investasi energi yang transparan, inklusif, dan berorientasi ke depan.

Dalam paparan Pertamina Hulu Energi (PHE), Direktur Perencanaan Strategis Edy Karyanto menyatakan kebutuhan gas domestik saat ini mencapai 2.600 MMSCFD, sementara kapasitas lifting baru 2.000 MMSCFD.

“Tahun ini, 2026, bahkan sampai 2034, pasokan domestik masih ketat meski proyek baru menambah kapasitas,” kata Edy. Hal ini menunjukkan urgensi koordinasi hulu-hilir dan kesiapan infrastruktur.

Tren global juga menjadi perhatian. Partner EY-Parthenon Eric Listyosuputro menjelaskan bahwa suplai gas dunia diproyeksikan tumbuh lebih cepat dari permintaan, namun Asia, termasuk Indonesia, tetap menjadi kawasan dengan pertumbuhan konsumsi gas tertinggi. Gas, menurutnya, berperan sebagai transisi energi jangka panjang yang mampu menurunkan emisi industri berat hingga 40–60 persen dibanding batu bara.

Dari sisi hilir, Direktur PGN Eri Surya Kelana menyoroti tantangan biaya infrastruktur gas yang tinggi dan harga LNG yang mahal bagi pelanggan domestik. PGN mengupayakan skema blended energy untuk menjaga keterjangkauan harga sambil menyiapkan portofolio LNG mendekati 20 persen pada tahun depan.

Kepala Divisi Komersialisasi SKK Migas, Ufo Budiarius Anwar, menambahkan bahwa kebutuhan gas domestik akan terus meningkat, dan regulasi yang jelas menjadi kunci untuk menarik investasi serta memastikan proyek strategis seperti Masela dapat berjalan lancar.

Baca Juga: Mendagri Minta Pemda Gandeng Kadin untuk Perkuat Ekosistem Usaha di Daerah

Isu tata kelola juga menjadi perhatian. Partner Forensic & Integrity Services EY Indonesia, Stevanus Alexander Sianturi, menekankan risiko fraud dan kepatuhan di sektor gas. Mantan Wakil Ketua KPK Amien Sunaryadi menekankan pentingnya keputusan bisnis yang akuntabel di tengah KUHP baru terkait pidana korporasi.

KADIN menegaskan bahwa stagnasi adalah risiko terbesar. Aryo mengingatkan, “Harga yang harus dibayar karena kita tak melakukan apa-apa justru lebih mahal. Tugas kita memastikan energi tersedia, industri jalan, dan negara maju.”

Forum ini menunjukkan bahwa keberlanjutan sektor gas Indonesia memerlukan koordinasi lintas pemangku kepentingan, dari hulu, hilir, hingga regulasi, guna memastikan ketahanan energi, ketahanan pangan, dan pertumbuhan nasional.

Load More