- OJK dan DPR sepakat terapkan skema risk sharing asuransi kesehatan swasta yang mewajibkan peserta bayar minimal 5 persen klaim mulai Januari 2026.
- Aturan baru ini akan diatur dalam Peraturan OJK (POJK) untuk memastikan penggunaan layanan kesehatan terukur dan berkelanjutan.
- Skema pembagian risiko ini bersifat opsional dan bertujuan menekan kenaikan premi akibat tingginya rasio klaim industri.
Suara.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan DPR pada pekan lalu akhirnya sepakat untuk menerapkan skema risk sharing, atau yang sebelumnya dikenal sebagai co-payment, untuk asuransi kesehatan swasta.
Skema ini bisa memberi ruang perusahaan asuransi swasta untuk meminta nasabah ikut membayar tagihan biaya rumah sakit bersama perusahaan asuransi, rencananya akan berlaku Januari 2026.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan rencana ini akan tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) tentang Penguatan Ekosistem Asuransi Kesehatan yang akan menggantikan ketentuan dalam Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025.
Aturan ini disepakati OJK dan DPR pada September lalu, dengan beberapa perubahan penting dari SEOJK Nomor 7 2025, yang pembahasannya mandek pada Juni lalu akibat tidak adanya kata sepakat di parlemen.
Meski demikian, rencana ini masih memantik beragam respons. Sebagian pihak sepakat, namun sebagian lagi menolak.
Yang sepakat mengatakan aturan baru ini akan menguntungkan nasabah, karena bisa menurunkan biaya premi yang harus dibayar. Selain itu juga mengurangi risiko moral hazard pada nasabah dan penyedia layanan kesehatan, yang selama ini merugikan industri.
Sementara yang menolak mengatakan regulasi ini justru akan semakin memberatkan nasabah sebagai pembayar premi dan berpotensi mengurangi kunjungan ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya.
Skema Risk Sharing Asuransi Kesehatan
Dalam rapat dengan DPR pada 4 Desember kemarin, Mahendra menjelaskan dalam skema risk sharing atau pembagian risiko kelak pemegang polis asuransi kesehatan swasta harus membayar minimal 5 persen dari total biaya klaim asuransi.
Baca Juga: OJK: Industri Asuransi Dilarang Naikkan Tarif Premi Tanpa Izin Nasabah
Tadinya dalam SEOJK, skema ini disebut sebagai co-payment atau tanggung renteng. Di dalamnya nasabah wajib membayar 10 pesen dari total klaim asuransi.
"Perusahaan asuransi dapat menawarkan produk dengan fitur risk sharing (co-payment) dengan kriteria, bahwa risiko yang ditanggung pemegang polis atau co-payment itu sebesar 5 persen dari total pengajuan klaim. Dengan batas maksimum untuk rawat jalan Rp300.000 per pengajuan klaim dan rawat inap Rp3 juta per pengajuan klaim," beber Mahendra.
Selain itu perusahaan juga wajib menetapkan jumlah tertentu (deductible) dari maksimal risiko yang ditanggung nasabah asuransi dalam setahun. Jumlah tersebut harus merupakan hasil kesepakatan antara perusahaan dan nasabah.
Mahendra menjelaskan, pengaturan mengenai pembagian risiko yang dimaksudkan tidak serta-merta memindahkan beban biaya ke nasabah, tetapi untuk memastikan bahwa penggunaan layanan kesehatan berjalan tepat, terukur, dan tidak berlebihan sehingga berkelanjutan.
Yang tak kalah penting, skema ini juga bersifat opsional. Artinya perusahaan asuransi wajib menawarkan produk tanpa skema risk sharing. Di saat yang sama, perusahaan juga bisa menawarkan produk asuransi kesehatan dengan skema pembagian risiko.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menjelaskan bahwa otoritas sedang melakukan proses harmonisasi aturan terkait co-payment asuransi kesehatan dengan Kementerian Hukum.
"Rancangan POJK tentang Penguatan Ekosistem Asuransi Kesehatan sudah beberapa kali dibahas dengan Kementerian Hukum, dan kami menunggu proses harmonisasinya lebih lanjut," lanjut Mahendra.
Pro dan Kontra
Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Prof Dr Budi Frensidy menilai skema co-payment atau risk sharing penting bagi industri asuransi dan akan menguntungkan nasabah. Dalam kajiannya, ia mengungkapkan rasio klaim asuransi kesehatan di Indonesia sudah jauh melampaui premi yang dibayarkan, yakni mencapai 131,2 persen pada 2023 dan 121,9 persen pada 2024.
Angka ini menunjukkan perusahaan asuransi secara kotor mengalami kerugian signifikan dari produk kesehatan yang mereka jual. Jika kondisi ini terus berlanjut, keberlangsungan industri asuransi jiwa (yang sering menjual produk kesehatan) terancam, yang berdampak pada stabilitas sektor keuangan.
Ia menilai aturan baru ini didasari oleh fakta bahwa tanpa pembagian risiko, perusahaan asuransi akan terus menaikkan premi secara drastis (kenaikan rata-rata premi bahkan mencapai 43 persen pada tahun lalu) agar tidak merugi.
Karenanya skema risk sharing harus dipandang sebagai bentuk kontrol untuk mengatasi moral hazard pemegang polis, pekerja medis, dan rumah sakit.
"(Dari sisi pasien), moral hazard penggunaan asuransi tidak bijak, seperti terjadinya overklaim, terutama untuk rawat jalan. Dari sisi pekerja medis atau rumah sakit, sembarangan membebankan obat atau sengaja menambah rawat inap tidak dibutuhkan pasien," ujarnya.
Tujuan akhirnya adalah agar kenaikan premi tahunan yang sangat tinggi dapat dihindari, sehingga premi asuransi kesehatan komersial tetap murah dan terjangkau bagi masyarakat.
"Dalam kondisi ekonomi sulit seperti saat ini, konsumen harus ikut menanggung biaya medis tentu memberatkan. Tetapi tanpa skema ini, premi asuransi yang naik tinggi dari tahun ke tahun akan menyebabkan asuransi kesehatan komersial semakin tidak terjangkau. Sehingga masyarakat hanya dapat bertumpu pada Jaminan Kesehatan Nasional dari Badan Penyelenggara Jaminan (BPJS) Kesehatan. Ini, pada akhirnya akan semakin memberatkan BPJS dan juga pemerintah," lanjutnya.
Sementara Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Budi Herawan mengatakan risk sharing yang digodok OJK sifatnya tidak memaksa, melainkan mewajibkan perusahaan menyediakan pilihan produk tanpa pembagian risiko, sekaligus memberi ruang bagi produk yang menggunakan fitur risk sharing atau deductible.
"Selain itu istilah risk sharing ini juga ada di beberapa negara seperti Jepang, Singapura dan Jerman. Jepang misalnya menetapkan co-payment sekitar 30 persen bagi mayoritas peserta jaminan kesehatan, dengan plafon perlindungan biaya untuk kasus besar," lanjut dia.
Sedangkan, Singapura menggunakan kombinasi deductible dan co-insurance melalui MediShield Life dan Integrated Shield Plan, dengan aturan minimal co-payment 5 persen yang diatur Kementerian Kesehatan.
"Yang paling penting ke depan adalah edukasi publik supaya skema ini dipahami bukan sebagai pengalihan beban, tetapi sebagai cara menjaga keberlanjutan manfaat kesehatan, mencegah moral hazard, dan tetap memastikan perlindungan bagi kelompok rentan melalui pengecualian yang sudah ditetapkan regulator," tandasnya.
Meski demikian menurut Tulus Abadi dari Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), konsumen atau nasabah akan dirugikan oleh aturan ini. Tulus dalam keterangannya mengatakan moral hazard dalam industri asuransi tidak hanya datang dari nasabah tapi juga penyedia jasa medis dan perusahaan asuransi itu sendiri.
Karenanya ia menilai, skema risk sharing hanya akan semakin memberatkan nasabah asuransi kesehatan.
Hal ini, lanjut dia, dikhawatirkan akan mengurangi minat masyarakat untuk berasuransi dan berpotensi menggerus rasio asuransi di Indonesia.
"Apalagi wajah industri asuransi dimata publik saat ini sedang mengalami down grade, oleh karena kasus kasus besar seperti gagal bayar pada konsumen, bahkan kasus korupsi," beber Tulus.
Sementara anggota Komisi XI DPR Fraksi PDI Perjuangan, Harris Turino, meminta OJK hati-hati menerapkan skema risk sharing. Ia menyoroti soal unsur deductible, yang dinilai bisa membuat nasabah atau konsumen bingung.
"Sekarang muncul tambahan kondisi deductible. Saya khawatir akan semakin ribet, terutama untuk kegiatan marketing dalam memasarkannya," kata Harris.
Alternatif Solusi
Menanggapi rencana aturan baru ini, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta OJK berhati hati menerapkan risk sharing karena berpotensi memberatkan konsumen soal klaim apalagi konsumen yang sudah lanjut usia dan tidak berpenghasilan lagi.
"Aturan tersebut bisa berpotensi konsumen switch ke asuransi nasional (JKN) karena full cover. Hal ini patut dipertimbangkan juga perihal potensial lost," terang Sekretaris Eksekutif YLKI Rio Priambodo.
Ketiga, Rio mengatakan harus ada penyesuaian polis asuransi untuk menindaklanjuti skema risk sharing. Selain itu, polis yang menjadi kesepakatan bersama tidak bisa diubah di tengah jalan.
"Karena kalau diubah di tengah jalan apalagi soal pertanggungan maka jelas konsumen dirugikan," tegas dia.
Adapun menurut Budi Frensidy, skema yang lebih ideal untuk menolong industri asuransi adalah penetapan tarif premi berdasarkan faktor umur dan tingkat risiko kesehatan pemegang polis.
Individu berumur lebih tua atau berisiko tinggi (karena memiliki probabilitas klaim yang lebih besar) seharusnya membayar premi asuransi kesehatan yang lebih mahal dibandingkan mereka yang berisiko rendah pada usia yang sama.
Meski begitu, dalam realitanya, praktik ini sulit diterapkan, terlebih untuk asuransi kesehatan korporasi. Alasannya, karena adanya asimetri informasi, di mana konsumen cenderung menyembunyikan rekam medis buruk agar tidak dikenakan premi tinggi.
Bagi korporasi atau grup besar, ia menyarankan adanya alternatif lain, yaitu skema self-Insurance (asuransi mandiri), baik dengan atau tanpa co-payment.
Dalam skema ini, korporasi menanggung risiko kerugian sendiri. Premi yang seharusnya disetorkan ke perusahaan asuransi dikelola secara terpisah di dalam korporasi. Semua biaya kesehatan pegawai kemudian diambil dari dana yang dikelola sendiri tersebut.
"Skema ini terbukti berhasil diterapkan oleh beberapa korporasi besar, memberikan fasilitas yang lebih besar dan fleksibel bagi para pegawai," terang Frensidy.
Skema ini memiliki keuntungan fungsi berupa kontrol agar pemegang polis tidak menyalahgunakan layanan atau melakukan overklaim, terutama untuk rawat jalan. Selain itu juga menstabilkan premi karena risiko yang terbagi, mencegah kerugian besar secara terus menerus pada perusahaan asuransi, dan meringankan beban BPJS Kesehatan.
Berita Terkait
-
Menkeu Purbaya Ngeluh Saham Gorengan, Apa Gebrakan OJK?
-
Peserta Asuransi Kesehatan Swasta Harus Ikut Bayar Biaya RS Mulai Januari 2026
-
Fraud Asuransi Kesehatan: Rugikan Triliunan Rupiah dan Pengaruhi Kualitas Layanan Medis!
-
OJK Turun Tangan: Klaim Asuransi Kesehatan Dipangkas Jadi 5 Persen, Ini Aturannya
-
Asuransi Kesehatan Keluarga Muda 2025: Jangan Cuma Lihat Premi Murah, Ini Cara Membedahnya!
Terpopuler
- 5 Body Lotion dengan Kolagen untuk Usia 50-an, Kulit Kencang dan Halus
- 8 Bedak Translucent untuk Usia 50-an, Wajah Jadi Flawless dan Natural
- Sepatu On Cloud Ori Berapa Harganya? Cek 5 Rekomendasi Paling Empuk buat Harian
- 6 Sabun Cuci Muka dengan Kolagen agar Kulit Tetap Kenyal dan Awet Muda
- 5 Sepatu Lari Rp300 Ribuan di Sports Station, Promo Akhir Tahun
Pilihan
-
Hasil SEA Games 2025: Mutiara Ayu Pahlawan, Indonesia Siap Hajar Thailand di Final
-
Stok BBM Shell Mulai Tersedia, Cek Lokasi SPBU dan Harganya
-
Kekuatan Tersembunyi Mangrove: Bisakah Jadi Solusi Iklim Jangka Panjang?
-
Orang Pintar Ramal Kans Argentina Masuk Grup Neraka di Piala Dunia 2026, Begini Hasilnya
-
6 Rekomendasi HP Rp 3 Jutaan Terbaik Desember 2025, Siap Gaming Berat Tanpa Ngelag
Terkini
-
Mantapkan Papua Sebagai Hub Digital Kawasan Timur Indonesia, Layanan neuCentrIX Hadir di Jayapura
-
Purbaya Target Kantongi Rp 23 Triliun dari Bea Keluar Emas dan Batu Bara Tahun Depan
-
Indonesia Eximbank Dorong Potensi Ekspor Kemiri Nusa Tenggara Barat
-
Purbaya Ungkap Bobrok Ekspor Komoditas RI, Ungkap Kinerja Bea Cukai
-
Tak Hanya Kredit, Bank Mandiri Buka Akses Pasar Ekspor UMKM di Jabar
-
PLTA Singkarak dan PLTU Teluk Sirih Tetap Beroperasi Pasok Listrik Sumbar
-
IHSG Pecah Rekor Lagi Ditutup Tembus Level 8.710, Apa Saja Pendorongnya?
-
Jelang Nataru, Mendag Busan Ungkap Kondisi Pasokan Bahan Pokok: Harga Cabai dan Bawang Mahal
-
Alasan Purbaya Tarik Bea Keluar Batu Bara Tahun Depan: Hilirisasi hingga Dekarbonisasi
-
Rupiah Jadi Mata Uang Asia Terlemah Hari Ini