Bisnis / Keuangan
Senin, 08 Desember 2025 | 16:21 WIB
Mulai 2026 klaim biaya asuransi kesehatan bisa tidak mencapai 100 persen dengan adanya skema risk sharing yang telah disepakati oleh OJK dan DPR. Foto: Ilustrasi asuransi kesehatan (Freepik)
Baca 10 detik
  • OJK dan DPR sepakat terapkan skema risk sharing asuransi kesehatan swasta yang mewajibkan peserta bayar minimal 5 persen klaim mulai Januari 2026.
  • Aturan baru ini akan diatur dalam Peraturan OJK (POJK) untuk memastikan penggunaan layanan kesehatan terukur dan berkelanjutan.
  • Skema pembagian risiko ini bersifat opsional dan bertujuan menekan kenaikan premi akibat tingginya rasio klaim industri.

Suara.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan DPR pada pekan lalu akhirnya sepakat untuk menerapkan skema risk sharing, atau yang sebelumnya dikenal sebagai co-payment, untuk asuransi kesehatan swasta.

Skema ini bisa memberi ruang perusahaan asuransi swasta untuk meminta nasabah ikut membayar tagihan biaya rumah sakit bersama perusahaan asuransi, rencananya akan berlaku Januari 2026.

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan rencana ini akan tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) tentang Penguatan Ekosistem Asuransi Kesehatan yang akan menggantikan ketentuan dalam Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025.

Aturan ini disepakati OJK dan DPR pada September lalu, dengan beberapa perubahan penting dari SEOJK Nomor 7 2025, yang pembahasannya mandek pada Juni lalu akibat tidak adanya kata sepakat di parlemen.

Meski demikian, rencana ini masih memantik beragam respons. Sebagian pihak sepakat, namun sebagian lagi menolak.

Yang sepakat mengatakan aturan baru ini akan menguntungkan nasabah, karena bisa menurunkan biaya premi yang harus dibayar. Selain itu juga mengurangi risiko moral hazard pada nasabah dan penyedia layanan kesehatan, yang selama ini merugikan industri.

Sementara yang menolak mengatakan regulasi ini justru akan semakin memberatkan nasabah sebagai pembayar premi dan berpotensi mengurangi kunjungan ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya.

Skema Risk Sharing Asuransi Kesehatan

Dalam rapat dengan DPR pada 4 Desember kemarin, Mahendra menjelaskan dalam skema risk sharing atau pembagian risiko kelak pemegang polis asuransi kesehatan swasta harus membayar minimal 5 persen dari total biaya klaim asuransi.

Baca Juga: OJK: Industri Asuransi Dilarang Naikkan Tarif Premi Tanpa Izin Nasabah

Tadinya dalam SEOJK, skema ini disebut sebagai co-payment atau tanggung renteng. Di dalamnya nasabah wajib membayar 10 pesen dari total klaim asuransi.

"Perusahaan asuransi dapat menawarkan produk dengan fitur risk sharing (co-payment) dengan kriteria, bahwa risiko yang ditanggung pemegang polis atau co-payment itu sebesar 5 persen dari total pengajuan klaim. Dengan batas maksimum untuk rawat jalan Rp300.000 per pengajuan klaim dan rawat inap Rp3 juta per pengajuan klaim," beber Mahendra.

Selain itu perusahaan juga wajib menetapkan jumlah tertentu (deductible) dari maksimal risiko yang ditanggung nasabah asuransi dalam setahun. Jumlah tersebut harus merupakan hasil kesepakatan antara perusahaan dan nasabah.

Mahendra menjelaskan, pengaturan mengenai pembagian risiko yang dimaksudkan tidak serta-merta memindahkan beban biaya ke nasabah, tetapi untuk memastikan bahwa penggunaan layanan kesehatan berjalan tepat, terukur, dan tidak berlebihan sehingga berkelanjutan.

Yang tak kalah penting, skema ini juga bersifat opsional. Artinya perusahaan asuransi wajib menawarkan produk tanpa skema risk sharing. Di saat yang sama, perusahaan juga bisa menawarkan produk asuransi kesehatan dengan skema pembagian risiko.

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menjelaskan bahwa otoritas sedang melakukan proses harmonisasi aturan terkait co-payment asuransi kesehatan dengan Kementerian Hukum.

"Rancangan POJK tentang Penguatan Ekosistem Asuransi Kesehatan sudah beberapa kali dibahas dengan Kementerian Hukum, dan kami menunggu proses harmonisasinya lebih lanjut," lanjut Mahendra.

Perubahan aturan OJK tentang skema risk sharing atau co-payment asuransi kesehatan yang rencananya berlaku pada 2026. [Suara.com/Liberty Jemadu]


Pro dan Kontra

Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Prof Dr Budi Frensidy menilai skema co-payment atau risk sharing penting bagi industri asuransi dan akan menguntungkan nasabah. Dalam kajiannya, ia mengungkapkan rasio klaim asuransi kesehatan di Indonesia sudah jauh melampaui premi yang dibayarkan, yakni mencapai 131,2 persen pada 2023 dan 121,9 persen pada 2024.

Angka ini menunjukkan perusahaan asuransi secara kotor mengalami kerugian signifikan dari produk kesehatan yang mereka jual. Jika kondisi ini terus berlanjut, keberlangsungan industri asuransi jiwa (yang sering menjual produk kesehatan) terancam, yang berdampak pada stabilitas sektor keuangan.

Ia menilai aturan baru ini didasari oleh fakta bahwa tanpa pembagian risiko, perusahaan asuransi akan terus menaikkan premi secara drastis (kenaikan rata-rata premi bahkan mencapai 43 persen pada tahun lalu) agar tidak merugi.

Karenanya skema risk sharing harus dipandang sebagai bentuk kontrol untuk mengatasi moral hazard pemegang polis, pekerja medis, dan rumah sakit.

"(Dari sisi pasien), moral hazard penggunaan asuransi tidak bijak, seperti terjadinya overklaim, terutama untuk rawat jalan. Dari sisi pekerja medis atau rumah sakit, sembarangan membebankan obat atau sengaja menambah rawat inap tidak dibutuhkan pasien," ujarnya.

Tujuan akhirnya adalah agar kenaikan premi tahunan yang sangat tinggi dapat dihindari, sehingga premi asuransi kesehatan komersial tetap murah dan terjangkau bagi masyarakat.

"Dalam kondisi ekonomi sulit seperti saat ini, konsumen harus ikut menanggung biaya medis tentu memberatkan. Tetapi tanpa skema ini, premi asuransi yang naik tinggi dari tahun ke tahun akan menyebabkan asuransi kesehatan komersial semakin tidak terjangkau. Sehingga masyarakat hanya dapat bertumpu pada Jaminan Kesehatan Nasional dari Badan Penyelenggara Jaminan (BPJS) Kesehatan. Ini, pada akhirnya akan semakin memberatkan BPJS dan juga pemerintah," lanjutnya.

OJK dan DPR sepakat memberlakukan opsi risk sharing atau pembagian risiko asuransi kesehatan mulai 2026 mendatang. Dalam skema ini ada opsi nasabah turut membayar klaim kesehatan di rumah sakit atau fasilitas medis lainnya. [Suara.com/Liberty Jemadu]

Sementara Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Budi Herawan mengatakan risk sharing yang digodok OJK sifatnya tidak memaksa, melainkan mewajibkan perusahaan menyediakan pilihan produk tanpa pembagian risiko, sekaligus memberi ruang bagi produk yang menggunakan fitur risk sharing atau deductible.

"Selain itu istilah risk sharing ini juga ada di beberapa negara seperti Jepang, Singapura dan Jerman. Jepang misalnya menetapkan co-payment sekitar 30 persen bagi mayoritas peserta jaminan kesehatan, dengan plafon perlindungan biaya untuk kasus besar," lanjut dia.

Sedangkan, Singapura menggunakan kombinasi deductible dan co-insurance melalui MediShield Life dan Integrated Shield Plan, dengan aturan minimal co-payment 5 persen yang diatur Kementerian Kesehatan.

"Yang paling penting ke depan adalah edukasi publik supaya skema ini dipahami bukan sebagai pengalihan beban, tetapi sebagai cara menjaga keberlanjutan manfaat kesehatan, mencegah moral hazard, dan tetap memastikan perlindungan bagi kelompok rentan melalui pengecualian yang sudah ditetapkan regulator," tandasnya.

Meski demikian menurut Tulus Abadi dari Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), konsumen atau nasabah akan dirugikan oleh aturan ini. Tulus dalam keterangannya mengatakan moral hazard dalam industri asuransi tidak hanya datang dari nasabah tapi juga penyedia jasa medis dan perusahaan asuransi itu sendiri.

Karenanya ia menilai, skema risk sharing hanya akan semakin memberatkan nasabah asuransi kesehatan.

Hal ini, lanjut dia, dikhawatirkan akan mengurangi minat masyarakat untuk berasuransi dan berpotensi menggerus rasio asuransi di Indonesia.

"Apalagi wajah industri asuransi dimata publik saat ini sedang mengalami down grade, oleh karena kasus kasus besar seperti gagal bayar pada konsumen, bahkan kasus korupsi," beber Tulus.

Sementara anggota Komisi XI DPR Fraksi PDI Perjuangan, Harris Turino, meminta OJK hati-hati menerapkan skema risk sharing. Ia menyoroti soal unsur deductible, yang dinilai bisa membuat nasabah atau konsumen bingung.

"Sekarang muncul tambahan kondisi deductible. Saya khawatir akan semakin ribet, terutama untuk kegiatan marketing dalam memasarkannya," kata Harris.

Alternatif Solusi

Menanggapi rencana aturan baru ini, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta OJK berhati hati menerapkan risk sharing karena berpotensi memberatkan konsumen soal klaim apalagi konsumen yang sudah lanjut usia dan tidak berpenghasilan lagi.

"Aturan tersebut bisa berpotensi konsumen switch ke asuransi nasional (JKN) karena full cover. Hal ini patut dipertimbangkan juga perihal potensial lost," terang Sekretaris Eksekutif YLKI Rio Priambodo.

Ketiga, Rio mengatakan harus ada penyesuaian polis asuransi untuk menindaklanjuti skema risk sharing. Selain itu, polis yang menjadi kesepakatan bersama tidak bisa diubah di tengah jalan.

"Karena kalau diubah di tengah jalan apalagi soal pertanggungan maka jelas konsumen dirugikan," tegas dia.

Adapun menurut Budi Frensidy, skema yang lebih ideal untuk menolong industri asuransi adalah penetapan tarif premi berdasarkan faktor umur dan tingkat risiko kesehatan pemegang polis.

Individu berumur lebih tua atau berisiko tinggi (karena memiliki probabilitas klaim yang lebih besar) seharusnya membayar premi asuransi kesehatan yang lebih mahal dibandingkan mereka yang berisiko rendah pada usia yang sama.

Meski begitu, dalam realitanya, praktik ini sulit diterapkan, terlebih untuk asuransi kesehatan korporasi. Alasannya, karena adanya asimetri informasi, di mana konsumen cenderung menyembunyikan rekam medis buruk agar tidak dikenakan premi tinggi.

Bagi korporasi atau grup besar, ia menyarankan adanya alternatif lain, yaitu skema self-Insurance (asuransi mandiri), baik dengan atau tanpa co-payment.

Dalam skema ini, korporasi menanggung risiko kerugian sendiri. Premi yang seharusnya disetorkan ke perusahaan asuransi dikelola secara terpisah di dalam korporasi. Semua biaya kesehatan pegawai kemudian diambil dari dana yang dikelola sendiri tersebut.

"Skema ini terbukti berhasil diterapkan oleh beberapa korporasi besar, memberikan fasilitas yang lebih besar dan fleksibel bagi para pegawai," terang Frensidy.

Skema ini memiliki keuntungan fungsi berupa kontrol agar pemegang polis tidak menyalahgunakan layanan atau melakukan overklaim, terutama untuk rawat jalan. Selain itu juga menstabilkan premi karena risiko yang terbagi, mencegah kerugian besar secara terus menerus pada perusahaan asuransi, dan meringankan beban BPJS Kesehatan.

Load More