Entertainment / Music
Rabu, 06 Agustus 2025 | 19:45 WIB
Anji Sentil LMK soal Royalti Suara Burung (Instagram/@duniamanji)

Suara.com - Anji menanggapi kabar Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) akan memberlakukan royalti berdasarkan jumlah ruangan atau kursi dalam sebuah usaha.

Royalti lagu yang diputar di suatu tempat kabarnya tidak akan berdasarkan penggunaan lagu.

Belum lagi kewajiban membayar royalti bahkan untuk suara burung sekalipun.

"Jadi bagaimana membaginya kepada pencipta? Apakah LMK tahu lagu apa saja yang diputar? Apakah akan adil sesuai penggunaannya?" tanya Anji.

Melalui unggahannya di Instagram pada Rabu, 6 Agustus 2025, Anji meminta kejelasan atas aturan penggunaan lagu di sebuah tempat.

"Kalau suara burung atau ambience (sering di RS, salon, spa) royaltinya dibayarkan ke siapa?" tanyanya lagi.

Sambil berlibur di Danau Ranau, Sumatera Selatan, Anji yang duduk di atas perahu menekankan bahwa polemik lagu di tempat usaha berbeda dengan gonjang-ganjing royalti sebelumnya.

"Ada perbedaan antara kasus mie gacoan dengan kasus pencipta lagu yang bertikai dengan musisi yang membawakan lagu-lagunya," ujar Anji.

Baca Juga: Satu Aturan, Dua Jeritan: Kesejahteraan Musisi Vs Beban UMKM dalam Polemik Royalti Musik

"Sama-sama performing rights, yang pertama mie gacoan dengan lembaga kolektif, lalu pencipta lagu dengan musisi yang membawakan lagunya. Itu berbeda," tegasnya.

Sebagaimana diketahui, Mie Gacoan Bali tengah menghadapi kasus hukum karena tidak membayar royalti lagu yang diputar mereka.

Sementara polemik royalti musisi Tanah Air berkaitan dengan keinginan para pencipta lagu untuk menerapkan sistem direct license.

"Ketika pencipta lagu meminta hak royalti atas penggunaan lagunya, jelas siapa pengguna lagunya. Jelas bayaran musisi yang menggunakan lagunya berapa," lanjut Anji dalam bentuk tulisan.

"Jika sistem penarikannya direct license, sudah pasti pencipta lagunya mendapat haknya sesuai dengan yang dibayarkan," sambungnya.

Menurut Anji, sistem direct license sebenarnya tidak menguntungkan pihak pencipta lagu saja.

Apabila para penyanyi tidak membawakan lagunya, pencipta lagu pun tak mendapatkan royalti.

Kendati dipandang sebelah mata, sistem direct license justru memberikan kejelasan yang selama ini tidak diberikan LMK.

"Ketika musisinya enggan membayar, lagunya tidak dibawakan. Pencipta tidak mendapat bayaran. Jelas," beber Anji.

"Berbeda dengan penggunaan lagu di resto, kafe, dll. LMK harus bisa menjelaskan kepada pihak pembayar, bagaimana cara membagi royaltinya," imbuhnya.

Lebih lanjut, Anji menjelaskan, baik lagu Indonesia maupun barat, bahkan kicauan burung sekali pun, tetap punya kewajiban membayar royalti.

Bukan makin ribet, aturan pembayaran royalti sebenarnya sudah lama ada, tetapi kurang tersosialisasi dengan baik.

Anji Manji [instagram/@duniamanji]

"Banyak gerai yang tidak mengerti atau belum tahu atau memang tidak peduli tentang hal ini. Dan memang belum terbiasa untuk hal seperti itu," tutur Anji.

Karena kasus royalti pencipta lagu vs penyanyi Indonesia melalui organisasi AKSI vs VISI sedang terangkat, maka tempat usaha pun kini diedukasi hal serupa.

Terlepas dari itu semua, pemerintah melalui lembaga-lembaga yang berwenang diharapkan Anji segera memperjelas aturan mengenai royalti ini.

"Menurut saya yang harus diperjelas adalah sistem penarikan dan pendistribusian hasil royaltinya," kata Anji.

Salah satu ide Anji adalah dengan menggunakan alat yang bisa mendeteksi penggunaan lagu. Negara diharapkan dapat menyediakan anggarannya.

Alat tersebut akan membuat para musisi maupun pelaku usaha menaruh kepercayaan kepada pengelola royalti dan diharapkan dapat menyalurkannya dengan benar.

"Jika sistem itu tidak juga tersedia, pencipta lagu pasti masih memiliki mosi tidak percaya pada hasil royalti yang diterima," terang Anji.

"Pihak resto, kafe dll juga selalu memiliki pertanyaan apakah jika mereka membayar maka pencipta lagu yang lagunya mereka putar pasti mendapatkan?" pungkasnya.

Kontributor : Neressa Prahastiwi

Load More