Suara.com - Depresi pascamelahirkan (PPD) merupakan kondisi yang sangat umum terjadi setelah melahirkan.
Meski depresi pascamelahirkan pada ibu merupakan kejadian biasa, sebuah penelitian telah menemukan, kondisi itu juga bisa terjadi pada para ayah.
Menurut penelitian, menjadi orangtua bisa menjadi tantangan emosional bagi banyak laki-laki. Ada juga risiko utama bahwa kondisi depresi tersebut tidak terdeteksi dengan menggunakan metode yang ada hari ini, dan bahwa ayah tidak menerima bantuan yang mereka butuhkan.
Studi terhadap 447 ayah baru menunjukkan, metode untuk mendeteksi depresi EPDS (Edinburgh Postnatal Depression Scale) bekerja buruk pada laki-laki.
"Statistik saat ini mungkin tidak menceritakan keseluruhan kebenaran dalam hal depresi pada ayah baru," kata Elia Psouni, dari Universitas Lund di Swedia.
"Metode skrining tidak menangkap gejala yang sangat umum pada laki-laki, seperti iritasi, gelisah, toleransi stres yang rendah, dan kurangnya kontrol diri," ungkap Psouni.
Sepertiga dari ayah dalam penelitian ini mengaku depresi hingga memiliki pikiran untuk menyakiti diri sendiri. Namun, sangat sedikit yang berhubungan dengan sistem perawatan kesehatan atau medis.
Di antara mereka yang tergolong sedang mengalami depresi berat, 83 persen tidak berbagi penderitaan dengan siapapun.
"Mengatakan kepada orang-orang bahwa Anda merasa tertekan adalah tabu dan sebagai orangtua baru, Anda diharapkan untuk bahagia," papar Psouni.
Baca Juga: Beda dengan Lelaki, Perempuan Depresi Lebih Rentan Mati Muda
"Selain itu, penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa lelaki sering enggan mencari bantuan untuk masalah kesehatan mental, terutama depresi," sambungnya.
"Di antara para ayah, depresi biasa terjadi bahkan di akhir tahun pertama, yang mungkin karena mereka jarang mendapat pertolongan, tapi mungkin ada penjelasan lain," ujar Psouni.
"Apapun alasannya, penting untuk memantau kesejahteraan ayah karena bagian cuti orangtua mereka biasanya terjadi menjelang akhir tahun pertama anak itu," lanjut Psouni.
Mendeteksi depresi pada orangtua baru memang sangat penting, tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi juga karena orangtua yang depresi sering kali kurang tanggap terhadap kebutuhan anak mereka, terutama saat anak tersebut banyak menangis.
Bayi dengan orangtua yang depresi cenderung kurang mendapat stimulasi yang pada akhirnya, dapat menyebabkan perkembangan yang lebih lambat.
Dalam beberapa kasus, depresi dapat menyebabkan pengabaian anak atau bahkan perilaku yang tidak tepat. (Zeenews)
Berita Terkait
Terpopuler
- Erick Thohir Umumkan Calon Pelatih Baru Timnas Indonesia
- 4 Daftar Mobil Kecil Toyota Bekas Dikenal Ekonomis dan Bandel buat Harian
- 5 Lipstik Transferproof untuk Kondangan, Tidak Luntur Dipakai Makan dan Minum
- 5 Rekomendasi Sepatu Running Selevel Adidas Adizero Versi Lokal, Lentur dan Kuat Tahan Beban
- 8 City Car yang Kuat Nanjak dan Tak Manja Dibawa Perjalanan Jauh
Pilihan
-
Kisi-Kisi Pelatih Timnas Indonesia Akhirnya Dibocorkan Sumardji
-
Hasil Drawing Play Off Piala Dunia 2026: Timnas Italia Ditantang Irlandia Utara!
-
Pengungsi Gunung Semeru "Dihantui" Gangguan Kesehatan, Stok Obat Menipis!
-
Menkeu Purbaya Lagi Gacor, Tapi APBN Tekor
-
realme C85 Series Pecahkan Rekor Dunia Berkat Teknologi IP69 Pro: 280 Orang Tenggelamkan Ponsel
Terkini
-
Terobosan Penanganan Masalah Bahu: Dari Terapi Non-Bedah hingga Bedah Minim Invasif
-
Cuaca Berubah-ubah Bikin Sakit? Ini 3 Bahan Alami Andalan Dokter untuk Jaga Imunitas!
-
Review Lengkap Susu Flyon: Manfaat, Komposisi, Cara Konsumsi dan Harga Terbaru
-
BPOM: Apotek Jangan Asal Berikan Antibiotik ke Pembeli, Bahaya Level Global
-
Teknologi Jadi Kunci: Ini Pendekatan Baru Cegah Stunting dan Optimalkan Tumbuh Kembang Anak
-
Gak Perlu Marah di Grup WA Lagi, Call Centre 127 Siap Tampung Keluhan Soal Program MBG
-
5 Pilihan Sampo untuk Dermatitis Seboroik, Mengatasi Gatal dan Kulit Kepala Sensitif
-
Alasan Penting Dokter Bukan Cuma Perlu Belajar Pengobatan, Tapi Juga 'Seni' Medis
-
Dokter Kandungan Akui Rahim Copot Nyata Bisa Terjadi, Bisakah Disambungkan Kembali?
-
Klinik Safe Space, Dukungan Baru untuk Kesehatan Fisik dan Mental Perempuan Pekerja