Suara.com - Kelahiran anak memang kerap mempengaruhi kesehatan mental seorang ibu. Banyak perempuan mengalami perubahan suasana hati setelah persalinan, entah hanya sementara dan singkat hingga depresi klinis yang bertahan lama, dan lebih dalam yang juga dikenal sebagai depresi pascamelahirkan.
Depresi pascamelahirkan atau PPD, juga sangat umum terjadi saat ini daripada yang mungkin disadari banyak orang.
Sesuai dengan data yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, depresi pascamelahirkan mempengaruhi satu dari enam perempuan sesaat setelah persalinan.
Sebuah penelitian terbaru juga memperingatkan, seseorang yang mengalami depresi pascamelahirkan cenderung mwmiliki kemungkinan lebih tinggi untuk terjadi lagi setelah kelahiran berikutnya.
Di antara lebih dari 450.000 ibu baru di Denmark yang tidak mengalami depresi sebelumnya, kurang dari satu persen mengalami depresi pascamelahirkan. Tapi mereka yang pernah, memiliki 27 sampai 46 kali lebih mungkin mengulang fase depresi pascamelahirkan kembali nantinya.
Tim peneliti mencatat dalam PLoS Medicine,sekitar lima persen sampai 15 persen dari semua ibu didiagnosis dengan depresi setelah melahirkan. "Risiko gangguan afektif postpartum (AD) di kalangan perempuan tanpa penyakit kejiwaan sebelumnya rendah," kata penulis studi terkemuka Marie-Louise Rasmussen kepada Reuters Health melalui email dilansir Zeenews.
Tapi bagi perempuan yang mengalami depresi pascamelahirkan, "risiko gangguan afektif kemudian meningkat dan risiko episode gangguan afektif postpartum yang berulang masih tinggi," kata Rasmussen lagi yang juga seorang peneliti dengan Statens Serum Institut di Kopenhagen.
Temuan ini, kata dia, menggarisbawahi keseriusan masalah depresi pascamelahirkan pertama kali dan kebutuhan akan adanya tindakan pencegahan primer dan sekunder.
"Sedangkan untuk semua perempuan yang merenungkan untuk memiliki lebih banyak anak, dukungan sosial dari pasangan dan lingkungan sangat penting bahkan mungkin lebih untuk perempuan dengan riwayat postpartum AD sebelumnya," terang Rasmussen.
Pada beberapa perempuan, tambah dia, obat pencegahan atau psikoterapi mungkin relevan.
Dr. Jonathan Alpert, ketua departemen Psikiatri dan Ilmu Perilaku di Sistem Kesehatan Montefiore di New York, mwngatakan bahwa temuan ini cukup meresahkan.
"Laporan tersebut menggarisbawahi pentingnya depresi pascamelahirkan sebagai prediktor episode gangguan mood atau depresi pascamelahirkan di masa depan," jelasnya.
Setiap perempuan dengan riwayat kejiwaan, menurut Alpert, harus dipantau secara ketat untuk risiko depresi pascamelahirkan. Begitu juga setiap perempuan dengan histori depresi pascamelahirkan pada kelahiran pertama, harus diikuti secara ketat di tahun-tahun berikutnya untuk risiko depresi secara umum dan depresi pascamelahirkan selanjutnya.
"Meskipun baby blues postpartum dan air mata setelah melahirkan adalah kejadian yang biasa, suasana hati yang terus-menerus tertekan, perubahan suasana hati yang parah, atau pemikiran terdistorsi adalah tanda-tanda yang membutuhkan pertolongan segera," katanya.
Seorang perempuan harus segera menghubungi ahli kandungan mereka untuk mendapatkan evaluasi dan kemungkinan pengobatan seperti antidepresan atau psikoterapi Alpert. "Setiap perempuan yang memiliki pikiran untuk menyakiti dirinya sendiri atau bayinya harus segera mencari bantuan darurat," tutupnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 2 Cara Menyembunyikan Foto Profil WhatsApp dari Orang Lain
- Omongan Menkeu Purbaya Terbukti? Kilang Pertamina di Dumai Langsung Terbakar
- Selamat Tinggal Timnas Indonesia Gagal Lolos Piala Dunia 2026, Itu Jadi Kenyataan Kalau Ini Terjadi
- Jemput Weekend Seru di Bogor! 4 Destinasi Wisata dan Kuliner Hits yang Wajib Dicoba Gen Z
- 6 Ramalan Shio Paling Beruntung di Akhir Pekan 4-5 Oktober 2025
Pilihan
-
Getol Jualan Genteng Plastik, Pria Ini Masuk 10 Besar Orang Terkaya RI
-
BREAKING NEWS! Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia, Ini Penyebabnya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
-
Bursa Saham 'Pestapora" di Awal Oktober: IHSG Naik, Transaksi Pecahkan Rekor
-
165 Kursi Komisaris BUMN Dikuasai Politisi, Anak Buah Prabowo Merajai
Terkini
-
Langkah Tepat Pengobatan Kanker Ovarium: Masa Remisi Lebih Panjang Hingga Tahunan
-
Katarak yang Tidak Dioperasi Berisiko Meninggal Dunia Lebih Awal, Ini Alasannya
-
Pemantauan Aktif Vaksinasi Dengue di DKI Jakarta: Kolaborasi Menuju Nol Kematian 2030
-
Atasi Pembesaran Prostat Tanpa Operasi Besar? Kenali Rezum, Terapi Uap Air yang Jadi Harapan Baru
-
Dukungan untuk Anak Pejuang Kanker, Apa Saja yang Bisa Dilakukan?
-
Anak Sering Mengeluh Mata Lelah? Awas, Mata Minus Mengintai! Ini Cara Mencegahnya
-
Dokter dan Klinik Indonesia Raih Penghargaan di Cynosure Lutronic APAC Summit 2025
-
Stop Ruam Popok! 5 Tips Ampuh Pilih Popok Terbaik untuk Kulit Bayi Sensitif
-
Fenomena Banyak Pasien Kanker Berobat ke Luar Negeri Lalu Lanjut Terapi di Indonesia, Apa Sebabnya?
-
Anak Percaya Diri, Sukses di Masa Depan! Ini yang Wajib Orang Tua Lakukan!