Suara.com - Sebuah terobosan baru dilakukan oleh dokter-dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia untuk mengurangi risiko kematian karena serangan jantung.
Metode bernama CODE STEMI tersebut dikatakan mampu mampu menurunkan angka kejadian efek samping kardiovaskular dan tingkat kematian pada pasien dengan serangan jantung.
Dalam siaran pers yang diterima Suara.com, STEMI (ST elevation myocardial infarction) merupakan salah satu jenis serangan jantung berupa penyumbatan pembuluh darah arteri koroner secara total sehingga otot-otot jantung tidak mendapat suplai oksigen.
Pasien-pasien dengan gejala STEMI harus segera mendapatkan pertolongan agar kerusakan jantung lebih lanjut dapat dicegah.
Sementara itu CODE STEMI adalah sebuah sistem terintegrasi yang dibuat untuk membantu interdisiplin kesehatan dalam penanganan pasien serangan jantung tipe STEMI.
Subjek penelitian adalah seluruh pasien serangan jantung tipe STEMI yang datang ke RSCM antara bulan Januari 2015 dan Desember 2018.
Pasien dengan komorbiditas berat saat awal kedatangan seperti stroke akut, sepsis, penyakit autoimun, keganasan, sirosis hepar dan rekam medis yang tidak lengkap tidak diikusertakan dalam penelitian. Total ada 207 pasien yang dianalisis dalam penelitian ini.
Pasien-pasien ini diklasifikasikan menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama terdiri dari 72 pasien STEMI yang datang ke RSCM tahun 2015-2016 dan belum mendapat penanganan berdasarkan CODE STEMI (kelompok pre-CODE STEMI).
Sementara itu, kelompok kedua terdiri dari 135 pasien STEMI yang datang ke RSCM tahun 2017-2018 dan ditangani berdasarkan CODE STEMI (kelompok CODE STEMI).
Baca Juga: Kerap Rapat Virtual Hingga Malam? Waspadai Sejumlah Penyakit Ini
Dilihat dari sisi karakteristik demografisnya, tidak ada perbedaan jauh di antara kedua kelompok pasien ini.
Rata-rata pasien yang datang berusia 57 tahun dan sebanyak 86-87 persen pasien berjenis kelamin laki-laki. Dibandingkan dengan penelitian lainnya, rata-rata usia pasien penelitian ini lebih muda 10 tahun.
Pasien-pasien tersebut memiliki faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular yang hampir sama seperti hipertensi, diabetes melitus, obesitas, dislipidemia, dan penyakit ginjal akut atau kronik.
Perbedaan antara kedua kelompok terlihat dari rata-rata waktu yang dibutuhkan mulai dari pasien datang ke rumah sakit hingga tindakan kateterisasi (door to balloon time). Pada kelompok pre-CODE STEMI, rata-rata waktu yang dibutuhkan adalah 288 menit.
Sementara, kelompok CODE STEMI hanya membutuhkan waktu 158 menit atau lebih cepat 130 menit (45 persen) dibandingkan kelompok pre-CODE STEMI.
Waktu penanganan yang lebih cepat berdampak pada penurunan angka kejadian efek samping kardiovaskular dan tingkat kematian. Angka kejadian efek samping kardiovaskular pada kelompok CODE STEMI (38,78 persen) menurun sebesar 10,83 persen dibandingkan kelompok pre-CODE STEMI (48,61 persen).
Berita Terkait
-
5 Smartwatch Terbaik untuk Olahraga dan Pantau Detak Jantung, Harga Mulai Rp300 Ribuan
-
Kabar Terbaru Eks Chelsea Oscar yang Dilarikan ke RS karena Masalah Jantung
-
Sering Luput Dari Perhatian Padahal Berbahaya, Ketahui Cara Deteksi dan Pencegahan Aritmia
-
Penyakit Jantung Masih Pembunuh Utama, tapi Banyak Kasus Kini Bisa Ditangani Tanpa Operasi Besar
-
6 Manfaat Sakti Jalan Kaki yang Jarang Kamu Sadari: Jantung Lebih Kuat, Otak Jadi Gak Lemot
Terpopuler
- Breaking News! PSSI Resmi Umumkan Pelatih Timnas Indonesia
- 8 City Car yang Kuat Nanjak dan Tak Manja Dibawa Perjalanan Jauh
- 5 Rekomendasi Cushion Mengandung Skincare Anti-Aging Untuk Usia 40 Ke Atas
- Djarum Buka Suara soal Pencekalan Victor Hartono dalam Kasus Dugaan Korupsi Tax Amnesty
- 5 Smartwatch Terbaik untuk Olahraga dan Pantau Detak Jantung, Harga Mulai Rp300 Ribuan
Pilihan
-
Timnas Indonesia: U-17 Dilatih Timur Kapadze, Nova Arianto Tukangi U-20, Bojan Hodak Pegang Senior?
-
Harga Minyak Dunia Melemah, di Tengah Upaya Trump Tekan Ukraina Terima Damai dengan Rusia
-
Indonesia jadi Raja Sasaran Penipuan Lowongan Kerja di Asia Pasifik
-
Kisah Kematian Dosen Untag yang Penuh Misteri: Hubungan Gelap dengan Polisi Jadi Sorotan
-
Kisi-Kisi Pelatih Timnas Indonesia Akhirnya Dibocorkan Sumardji
Terkini
-
50 Persen Penduduk Indonesia Berisiko Osteoporosis, Kenapa Gen X Paling Terancam?
-
Waduh! Studi Temukan Bukti Hewan Ternak Makan Sampah Plastik, Bahayanya Apa Buat Kita?
-
Terobosan Penanganan Masalah Bahu: Dari Terapi Non-Bedah hingga Bedah Minim Invasif
-
Cuaca Berubah-ubah Bikin Sakit? Ini 3 Bahan Alami Andalan Dokter untuk Jaga Imunitas!
-
Review Lengkap Susu Flyon: Manfaat, Komposisi, Cara Konsumsi dan Harga Terbaru
-
BPOM: Apotek Jangan Asal Berikan Antibiotik ke Pembeli, Bahaya Level Global
-
Teknologi Jadi Kunci: Ini Pendekatan Baru Cegah Stunting dan Optimalkan Tumbuh Kembang Anak
-
Gak Perlu Marah di Grup WA Lagi, Call Centre 127 Siap Tampung Keluhan Soal Program MBG
-
5 Pilihan Sampo untuk Dermatitis Seboroik, Mengatasi Gatal dan Kulit Kepala Sensitif
-
Alasan Penting Dokter Bukan Cuma Perlu Belajar Pengobatan, Tapi Juga 'Seni' Medis