Suara.com - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamongan Laoly menegaskan ide revisi UU tentang KPK, terutama menyangkut kewenangan menyadap, bukan dari pemerintah, melainkan dari DPR.
"Mau membahas bagaimana? Orang barangnya tidak ada. Itu ide dari DPR bukan dari pemerintah," kata Yasonna usai buka puasa bersama di gedung Sekretrariat Jenderal Kemenkumham, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (25/6/2015).
Yasonna menghormati langkah DPR karena persetujuan dewan untuk merevisi UU KPK merupakan hak konstitusional mereka. DPR, katanya, mempunyai kewenangan untuk mengusulkan undang-undang, meskipun dalam pembahasannya harus tetap melibatkan Presiden.
"Menurut UU 1945, undang-undang dibahas bersama dengan DPR. Tetapi kita harus menghormati hak konsitusional, itu tidak boleh diabaikan, karena itu hak konstitusional DPR," katanya.
Namun, dia menjelaskan untuk keinginan DPR untuk merevisi UU KPK jalannya masih panjang, apalagi Presiden Joko Widodo sudah menolaknya. Selain itu, DPR juga masih harus turun ke daerah untuk sosialisasi rencana revisi. Setelah masih harus dibawa ke rapat paripurna, lalu dibahas dengan pemerintah.
"Itu masih jauh, nanti sebelum ke sana, DPR harus turun ke daerah, kemudian baru proses selanjutnya, nah setelah itu baru dengan Presiden, masih jauhlah," katanya.
Saat ini, Presiden memiliki posisi yang sangat penting untuk menyelamatkan KPK. Presiden pada Jumat, 19 Juni 2015 lalu, menolak agenda revisi UU KPK. Presiden dengan kewenangan yang dimiliki dapat menarik diri terlibat dalam pembahasan revisi dengan DPR.
Untuk diketahui, ketentuan terkait pembahasan bersama RUU antara pemerintah dan DPR diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada Pasal 49 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan: terhadap RUU Inisiatif DPR maka Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima.
Berdasarkan ketentuan di atas, jika dalam jangka waktu tersebut Presiden tidak menugaskan menteri terkait untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan revisi UU KPK, maka pembahasan tidak dapat dilakukan oleh DPR. Dengan demikian proses pembahasan revisi UU KPK yang tidak dihadiri oleh pemerintah dapat dikatakan sebagai cacat hukum sehingga tidak bisa berlaku.
Berita Terkait
Terpopuler
- Breaking News! PSSI Resmi Umumkan Pelatih Timnas Indonesia
- 8 City Car yang Kuat Nanjak dan Tak Manja Dibawa Perjalanan Jauh
- 5 Rekomendasi Cushion Mengandung Skincare Anti-Aging Untuk Usia 40 Ke Atas
- Djarum Buka Suara soal Pencekalan Victor Hartono dalam Kasus Dugaan Korupsi Tax Amnesty
- 5 Smartwatch Terbaik untuk Olahraga dan Pantau Detak Jantung, Harga Mulai Rp300 Ribuan
Pilihan
-
Timnas Indonesia: U-17 Dilatih Timur Kapadze, Nova Arianto Tukangi U-20, Bojan Hodak Pegang Senior?
-
Harga Minyak Dunia Melemah, di Tengah Upaya Trump Tekan Ukraina Terima Damai dengan Rusia
-
Indonesia jadi Raja Sasaran Penipuan Lowongan Kerja di Asia Pasifik
-
Kisah Kematian Dosen Untag yang Penuh Misteri: Hubungan Gelap dengan Polisi Jadi Sorotan
-
Kisi-Kisi Pelatih Timnas Indonesia Akhirnya Dibocorkan Sumardji
Terkini
-
Otak Pembakar Rumah Hakim PN Medan Ternyata Mantan Karyawan, Dendam Pribadi Jadi Pemicu
-
Dari IPB hingga UGM, Pakar Pangan dan Gizi Siap Dukung BGN untuk Kemajuan Program MBG
-
Menhaj Rombak Skema Kuota Haji: yang Daftar Duluan, Berangkat Lebih Dulu
-
Isu Yahya Cholil Staquf 'Dimakzulkan' Syuriyah PBNU, Masalah Zionisme Jadi Sebab?
-
Siap-siap! KPK akan Panggil Ridwan Kamil Usai Periksa Pihak Internal BJB
-
Bukan Tax Amnesty, Kejagung Cekal Eks Dirjen dan Bos Djarum Terkait Skandal Pengurangan Pajak
-
Menhaj Irfan Siapkan Kanwil Se-Indonesia: Tak Ada Ruang Main-main Jelang Haji 2026
-
Tembus Rp204 Triliun, Pramono Klaim Jakarta Masih Jadi Primadona Investasi Nasional
-
Nestapa Ratusan Eks Pekerja PT Primissima, Hak yang Tertahan dan Jerih Tak Terbalas
-
Ahli Bedah & Intervensi Jantung RS dr. Soebandi Jember Sukses Selamatkan Pasien Luka Tembus Aorta