Suara.com - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly menyatakan revisi Undang-undang No 30 tahun 2002 tentang KPK membutuhkan persetujuan Presiden Joko Widodo. Bila presiden menolak, maka revisi tidak dapat dilakukan.
"Apalagi dalam UUD pascaamandemen, DPR punya hak kekuasaan membentuk UU. Tapi harus dibahas dengan presiden. Kalau presiden menolak, ya nggak jalan dong. Nggak bisa," kata Yasonna di Gedung Kementerian Hukum dan HAM Jakarta, Kamis (25/6/2015).
Selasa (23/6/2015) kemarin rapat paripurna DPR resmi memasukan revisi UU No 30 tahun 2002 tentang KPK dalam Proyeksi Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) 2015. Ketua Badan Legislasi DPR RI Sareh Wiyono beralasan itu mengakomodasi permintaan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly karena menilai ada beberapa alasan kegentingan yaitu terkait kewenangan penyadapan dengan pelanggaran HAM, penuntutan yang perlu disinergikan dengan kewenangan Kejaksaan, perlunya dibentuk dewan pengawas terkait pengaturan pelaksanaan tugas pimpinan jika berhalangan dan penguatan pengaturan kolektif kolegial.
Padahal pada 19 Juni 2015, Presiden Jokowi dalam rapat terbatas dengan sejumlah menteri dan pemimpin lembaga sudah menyatakan penolakan terhadap revisi UU KPK masuk dalam Prolegnas 2015.
"Jadi nanti setelah prolegnas DPR akan membentuk badan kelengkapan DPR yang bahas, apakah Baleg atau komisi 3, nanti mereka bikin draft. Prosesnya harus pergi ke daerah, dengar masukan pakar. Ini Belanda masih jauh ceritanya," ungkap Yasonna.
Selanjutnya menurut Yasonna, bila badan kelengkapan sudah selesai dibentuk maka diajukan ke paripurna kalau sudah disahkan. Setelah itu menjadi inisiatif DPR. Terlebih draft UU KPK juga belum ada.
"Prolegnas kan daftar keinginan DPR mengajukan revisi. Naskah akademik belum ada apalagi pasal-pasalnya. Nanti kalau memang DPR ngotot mengajuin revisi, ya silakan saja," tambah yasonna.
KPK sendiri meminta agar revisi UU KPK menunggu harmonisasi dengan UU lain yaitu UU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun UU No 6 tahun 2007 tentang ratifikasi atas United Nation Convention Agains Corruption (UNCAC) atau Konvensi PBB Antikorupsi. (Antara)
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Sedan Bekas yang Jarang Rewel untuk Orang Tua
- 8 Promo Makanan Spesial Hari Ibu 2025, dari Hidangan Jepang hingga Kue
- 5 Sepatu Lari Hoka Diskon 50% di Sports Station, Akhir Tahun Makin Hemat
- 5 Rekomendasi Sepatu Lokal Senyaman Skechers Buat Jalan-Jalan, Cocok Buat Traveling dan Harian
- 6 Mobil Bekas untuk Pemula atau Pasangan Muda, Praktis dan Serba Hemat
Pilihan
-
Bencana Sumatera 2025 Tekan Ekonomi Nasional, Biaya Pemulihan Melonjak Puluhan Triliun Rupiah
-
John Herdman Dikontrak PSSI 4 Tahun
-
Bukan Sekadar Tenda: Menanti Ruang Aman bagi Perempuan di Pengungsian
-
4 Rekomendasi HP Xiaomi Murah, RAM Besar Memori Jumbo untuk Pengguna Aktif
-
Cek di Sini Jadwal Lengkap Pengumuman BI-Rate Tahun 2026
Terkini
-
UMP Jakarta 2026 Kalah dari Bekasi dan Karawang, Said Iqbal: Tidak Mungkin Ibu Kota Lebih Rendah!
-
Libur Natal Kawasan Monas 'Diserbu' Ribuan Pengunjung, Wisatawan China hingga Brasil Ikut Meramaikan
-
Dekorasi Natal Katedral Jakarta Tampil Sederhana, Gunakan Bahan Daur Ulang dan Wastra Nusantara
-
Mendagri dan sejumlah menteri pantau kesiapan ibadah Malam Natal 2025 di Jakarta.
-
Said Iqbal Tolak Kenaikan UMP Jakarta 2026 Rp5,73 Juta, Nilai Tak Cukupi Kebutuhan Hidup Layak
-
Magis Natal di Jantung Jakarta: Kala Bundaran HI Bersolek dalam Lautan Cahaya
-
Agenda Natal di Katedral Jakarta: Misa Pontifikal hingga Misa Lansia
-
Sampah Jadi Listrik Dinilai Menjanjikan, Akademisi IPB Tekankan Peran Pemilahan di Masyarakat
-
Wapres Gibran ke Jawa Tengah, Hadiri Perayaan Natal dan Pantau Arus Mudik Akhir Tahun
-
Jurnalisme Masa Depan: Kolaborasi Manusia dan Mesin di Workshop Google AI