Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay. [suara.com/Bowo Raharjo]
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan gugatan uji materi terhadap jumlah persentase dukungan calon kepala daerah melalui jalur independen yang mengharuskan melalui 3,5 persen jumlah penduduk yang terkandung dalam Pasal 41 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. MK menilai apa yang terkandung dalam pasal tersebut salah karena sangat memberatkan calon independen untuk mengikuti pilkada.
Sebaliknya, MK berpendapat penentuan persentase bagi warga negara yang yang hendak mencalonkan diri sebagai calon kepala dan wakil kepala daerah harus menggunakan jumlah penduduk yang telah mempunyai hak pilih tetap di masing-masing daerah yang bersangkutan.
Atas putusan tersebut, Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilu meminta kepada DPR untuk memasukkan hasil putusan tersebut ke dalam perubahan undang-undang tentang pilkada. Hal tersebut agar KPU memiliki landasan kuat untuk menyelenggarakan pesta demokrasi.
"Lebih baik untuk mengokohkan itu, memastikan seperti apa, DPR memasukkan itu ke dalam perubahan undang-undang, supaya lebih kokoh lagi landasan kerja penyelenggara," kata Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay di gedung KPU, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (30/9/2015).
Hadar menegaskan KPU tidak merasa terbebani dengan putusan MK. Namun, katanya, putusan tersebut sudah tidak bisa dilaksanakan pada pilkada serentak tahun 2015.
"Kalau berbicara putusan itu, sudah tidak bisa dilaksanakan sekarang, dilaksanakan nanti pada pilkada berikutnya. Kami tidak bisa melakukan apa apa tentang itu, itu dilaksanakan baru nanti 2017, Februari, putusan itu menuju ke sana," katanya.
MK mengabulkan uji materi yang dilakukan M. Fadjroel Rachman dan kawan-kawan dari Gerakan Nasional Calon Independen karena menilai Pasal 41 Ayat 1 dan 2 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah memberatkan calon Kepala daerah dari jalur independen. Selain itu, ketentuan yang terkandung dalam pasal tersebut menunjukkan adanya ketidakadilan dan persamaan di hadapan hukum.
"Pasal 41 Ayat 1 dan 2 sekalipun memberikan kepastian hukum, namun mengabaikan keadilan sehingga dapat menghambat pemenuhan prinsip persamaan di hadapan hukum," kata Ketua Hakim MK Arief Hidayat dalam persidangan di gedung MK, Jakarta, Selasa (29/9/2015).
Sebaliknya, MK berpendapat penentuan persentase bagi warga negara yang yang hendak mencalonkan diri sebagai calon kepala dan wakil kepala daerah harus menggunakan jumlah penduduk yang telah mempunyai hak pilih tetap di masing-masing daerah yang bersangkutan.
Atas putusan tersebut, Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilu meminta kepada DPR untuk memasukkan hasil putusan tersebut ke dalam perubahan undang-undang tentang pilkada. Hal tersebut agar KPU memiliki landasan kuat untuk menyelenggarakan pesta demokrasi.
"Lebih baik untuk mengokohkan itu, memastikan seperti apa, DPR memasukkan itu ke dalam perubahan undang-undang, supaya lebih kokoh lagi landasan kerja penyelenggara," kata Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay di gedung KPU, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (30/9/2015).
Hadar menegaskan KPU tidak merasa terbebani dengan putusan MK. Namun, katanya, putusan tersebut sudah tidak bisa dilaksanakan pada pilkada serentak tahun 2015.
"Kalau berbicara putusan itu, sudah tidak bisa dilaksanakan sekarang, dilaksanakan nanti pada pilkada berikutnya. Kami tidak bisa melakukan apa apa tentang itu, itu dilaksanakan baru nanti 2017, Februari, putusan itu menuju ke sana," katanya.
MK mengabulkan uji materi yang dilakukan M. Fadjroel Rachman dan kawan-kawan dari Gerakan Nasional Calon Independen karena menilai Pasal 41 Ayat 1 dan 2 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah memberatkan calon Kepala daerah dari jalur independen. Selain itu, ketentuan yang terkandung dalam pasal tersebut menunjukkan adanya ketidakadilan dan persamaan di hadapan hukum.
"Pasal 41 Ayat 1 dan 2 sekalipun memberikan kepastian hukum, namun mengabaikan keadilan sehingga dapat menghambat pemenuhan prinsip persamaan di hadapan hukum," kata Ketua Hakim MK Arief Hidayat dalam persidangan di gedung MK, Jakarta, Selasa (29/9/2015).
Komentar
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Mobil Sedan Bekas Mulai 15 Jutaan, Performa Legenda untuk Harian
- Siapa Saja 5 Pelatih Tolak Melatih Timnas Indonesia?
- Jusuf Kalla Peringatkan Lippo: Jangan Main-Main di Makassar!
- 5 Pilihan Sunscreen Wardah dengan SPF 50, Efektif Hempas Flek Hitam hingga Jerawat
- Siapa Shio yang Paling Hoki di 5 November 2025? Ini Daftar 6 yang Beruntung
Pilihan
-
PSSI Kalah Cepat? Timur Kapadze Terima Tawaran Manchester City
-
Menkeu Purbaya Segera Ubah Rp1.000 jadi Rp1, RUU Ditargetkan Selesai 2027
-
Menkeu Purbaya Kaji Popok Bayi, Tisu Basah, Hingga Alat Makan Sekali Pakai Terkena Cukai
-
Comeback Dramatis! Persib Bandung Jungkalkan Selangor FC di Malaysia
-
Bisnis Pizza Hut di Ujung Tanduk, Pemilik 'Pusing' Berat Sampai Berniat Melego Saham!
Terkini
-
Misteri Ledakan SMA 72 Jakarta: Senjata Mainan Jadi Petunjuk Kunci, Apa yang Ditulis Pelaku?
-
Ledakan SMA 72 Jakarta: Pelaku Pelajar 17 Tahun, Kapolri Ungkap Fakta Mengejutkan
-
Update Ledakan SMAN 72: Polisi Sebut 54 Siswa Terdampak, Motif Masih Didalami
-
Ledakan di SMAN 72 Jakarta Lukai 39 Siswa, Enam Orang Luka Berat
-
Kasih Paham, Hidup ala ShopeeVIP Bikin Less Drama, More Saving
-
Pahlawan Nasional Kontroversial: Marsinah dan Soeharto Disandingkan, Agenda Politik di Balik Layar?
-
Pelaku Bom SMA 72 Jakarta Terungkap! Kapolri: Pelajar Sekolah Itu Sendiri, Korban Bully?
-
Ungkap Banyak Kiai Ditahan saat Orba, Tokoh Muda NU: Sangat Aneh Kita Memuja Soeharto
-
Soroti Dugaan Kasus Perundungan, Pimpinan Komisi X Desak Polisi Usut Tuntas Ledakan SMAN 72 Jakarta
-
Detik-detik Mencekam di SMAN 72 Jakarta: Terdengar Dua Kali Ledakan, Tercium Bau Gosong