Suara.com - Komite III Dewan Perwakilan Daerah dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia setuju menolak hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual. Mereka yakin hukuman ini tidak mampu membuat pelaku jera, sebaliknya malah bisa memunculkan dendam.
Dalam rapat pembahasan Pandangan Umum Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Hukuman Kebiri bagi para pelaku kejahatan seksual yang berlangsung di gedung DPD, baru-baru ini, anggota Komnas HAM Nur Kholis menilai hukuman kebiri belum efektif karena belum ada bukti yang menyatakan memiliki kaitan yang signifikan terhadap penurunan tindakan kejahatan seksual.
“Hukuman kebiri belum tentu memberikan efek jera, dan justru dapat menimbulkan dendam," kata Nur Kholis.
Nur Kholis menilai pemberian hukum kebiri bertentangan dengan hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan Pasal 28 G ayat (2) UUD 1945.
"Pelanggaran yang terjadi adalah pelanggaran terhadap hak atas persetujuan tindakan medis (the right to informed consent) dan hak atas perlindungan atas integritas fisik dan mental seseorang (the protection of the physical and mental integrity of the person)," kata Nur Kholis.
Lebih jauh, Nur Kholis mengatakan tindakan yang seharusnya dilakukan pemerintah ialah mengembangkan upaya pemulihan melalui rehabilitasi secara menyeluruh, baik medis, psikologis, dan sosial.
“Yang perlu dikembangkan pemerintah adalah bagaimana mengubah cara pandang masyarakat terhadap relasi dengan perempuan dan anak, mengembangkan kurikulum tentang reproduksi, dan program pencegahan atau perlindungan anak secara terpadu. Perppu tentang pemberian hukuman kebiri sebaiknya dipertimbangkan lagi dan tidak ditertibkan,” katanya.
Menurut data Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan, jumlah kasus kekerasan seksual yang dilaporkan tercatat meningkat setiap tahunnya. Tahun 2010 sebanyak 2.645 kasus, tahun 2011 sebanyak 4.335 kasus, tahun 2012 tercatat 3.937 kasus, sedangkan tahun 2013 meningkat menjadi 5.629 kasus, dan data terakhir tahun 2014 sebanyak 4.458 kasus.
Nur Kholis mengungkapkan pelaku kekerasan seksual bisa siapa saja, baik orang yang memiliki hubungan darah, perkawinan atau kekerabatan dengan korban, maupun tidak. Mayoritas pelaku adalah orang yang dikenal korban.
“Kekerasan seksual menyasar semua umur, bukan saja orang dewasa tetapi juga anak bahkan balita,“ katanya.
Nur Kholis juga menjelaskan dampak kekerasan seksual. Dampaknya tak hanya pada kehancuran fisik, tetapi juga psikis, seksual, dan relasi sosial korban. Bahkan, keluarga dan komunitas korban pun ikut kena dampak.
"Mayoritas korban yang adalah perempuan dalam usia sekolah, juga terampas haknya untuk melanjutkan pendidikan,” ujar Nur Kholis.
Program pemerintah yang sudah berjalan dalam melindungi kelompok rentan kekerasan seksual, di antaranya pembentukan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak di kepolisian dan pemberian layanan kesehatan bagi korban yang datang ke institusi kesehatan.
Namun, program tersebut dinilai belum memadai. Misalnya, untuk program UPPA, sejauh ini belum merata di semua kantor polisi. Selain itu, kapasitas aparat penegak hukum juga masih kurang karena belum memahami kasus kekerasan seksual sebagai kekerasan berbasis gender.
“Saat ini belum ada upaya pemerintah atau negara untuk menyediakan layanan lainnya yang dibutuhkan korban, seperti penyediaan hukum acara khusus bagi penanganan kasus kekerasan seksual untuk mencegah reviktimasi korban dalam proses peradilan pidana,” katanya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Media Belanda Heran Mauro Zijlstra Masuk Skuad Utama Timnas Indonesia: Padahal Cadangan di Volendam
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Anak Wali Kota Prabumulih Bawa Mobil ke Sekolah, Padahal di LHKPN Hanya Ada Truk dan Buldoser
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Harta Kekayaan Wali Kota Prabumulih, Disorot usai Viral Pencopotan Kepala Sekolah
Pilihan
-
Kemiskinan dan Ketimpangan Ekonomi RI Seperti Lingkaran Setan
-
Core Indonesia Sebut Kebijakan Menkeu Purbaya Suntik Rp200 Triliun Dinilai Salah Diagnosis
-
When Botanies Meets Buddies: Sporadies Meramban Bunga Jadi Cerita
-
Ternyata Ini Rahasia Kulit Cerah dan Sehat Gelia Linda
-
Kontras! Mulan Jameela Pede Tenteng Tas Ratusan Juta Saat Ahmad Dhani Usulkan UU Anti Flexing
Terkini
-
Kemendagri Batalkan Mutasi Kepala SMPN 1 Prabumulih, Wali Kota Arlan Terancam Sanksi
-
DPW dan DPC PPP dari 33 Provinsi Deklarasi Dukung M Mardiono Jadi Ketua Umum
-
Menteri HAM Natalius Pigai Sebut Orang Hilang 'Belum Terlihat', YLBHI Murka: Denial!
-
Dari Dirut Sampai Direktur, Jajaran BPR Jepara Artha Kini Kompak Pakai Rompi Oranye
-
Pemeriksaan Super Panjang, Hilman Latief Dicecar KPK Hampir 12 Jam soal Kuota Haji
-
Dikira Hilang saat Demo Ricuh, Polisi Ungkap Alasan Bima Permana Dagang Barongsai di Malang
-
Tito Karnavian: Satpol PP Harus Humanis, Bukan Jadi Sumber Ketakutan
-
Wamenkum Sebut Gegara Salah Istilah RUU Perampasan Aset Bisa Molor, 'Entah Kapan Selesainya'
-
'Abuse of Power?' Kemendagri Sebut Wali Kota Arlan Langgar Aturan Copot Kepala SMP 1 Prabumulih
-
Strategi Baru Senayan: Mau RUU Perampasan Aset Lolos? UU Polri Harus Direvisi Dulu