Suara.com - Represifitas militer Israel ternyata tak membuat takut warga sipil Palestina. Sebaliknya, justru menyemai bibit-bibit perlawanan. seperti Ahed Tamimi, gadis berusia 16 tahun yang menjadi ikon baru perlawanan Palestina.
Bocah yang mendapat penghargaan "Gadis Pemberani Palestina" dari pemerintah Turki untuk aksinya tahun 2015 silam, ditangkap militer Israel di rumahnya, desa Nabi Saleh, Tepi Barat, pada Selasa (19/12/2017).
Bak teroris, militer Israel menggerebek rumah keluarga dan menyeret Ahed kecil ke mobil tentara. Sejak saat itu ia ditahan di Israel.
Ia ditangkap bersama sepupunya laki-lakinya yang masih berusia 14 tahun, Nour Tamimi. Sementara sang ibu, Nariman, juga ditangkap saat ke kantor polisi untuk mencari Ahed dan Nour.
Kekinian, sang ayah, Bassem Tamimi, tinggal sendirian di rumah. Ia bertekat meneruskan perjuangan istri, putri, dan keluarga besarnya.
Bassem menceritakan perasaannya saat keluarganya ditangkapi, dan tekatnya untuk terus berjuang dalam sebuah tulisan yang dimuat dalam kolom opini media massa Israel, Haaretz, Jumat (29/12/2017).
Berikut tulisan sang ayah:
Baca Juga: Awal 2018, Pemerintah Pusat Benahi Citarum
Malam ini, seperti semua malam sejak puluhan tentara Israel menyerbu rumah kami di tengah malam buta. Istri saya Nariman, putriku yang berusia 16 tahun Ahed, dan sepupunya Nour, akan menghabiskan waktu di balik jeruji besi.
Meskipun ini adalah penangkapan pertama Ahed, dia tidak asing dengan penjara Anda (Israel). Putriku telah menghabiskan seluruh hidupnya di bawah bayang-bayang penjara Israel. Mulai dari penahananku saat ia masih kecil. Penangkapan berulang-ulang terhadap ibunya, saudara laki-lakinya, dan juga teman-temannya.
Putriku juga sudah tak lagi asing terhadap ancaman tersembunyi yang tersirat oleh kehadiran tentara Anda yang terus berlanjut di kehidupan kami, warga Palestina. Jadi penangkapannya sendiri hanya masalah waktu saja. Tragedi yang tak terelakkan menunggu terjadi.
Putriku sudah siap dengan semua risiko itu.
Beberapa bulan yang lalu, dalam perjalanan ke Afrika Selatan, kami membuat video dokumentasi mengenai perjuangan rakyat desa kami, Nabi Saleh, melawan penjajahan Israel. Video itu kami tayangkan kepada audiens di sana.
Saat lampu ruangan diskusi itu menyala kembali, Ahed berdiri untuk mengucapkan terima kasih kepada orang-orang atas dukungan mereka. Ketika dia melihat bahwa beberapa anggota audiens meneteskan air mata, dia berkata kepada mereka:
"Kami mungkin menjadi korban rezim Israel. Tapi kami memunyai kebanggaan atas pilihan kami. Kebanggaan atas perjuangan kami. Meski kami harus membayar semua itu dengan nyawa."
Putriku juga berkata kepada mereka, "Kami tahu di mana jalan ini akan membawa kami. Tapi identitas kami sebagai manusia dan individu, ditanam dalam perjuangan, dan menarik inspirasi dari sana. Di balik tekanan dan penindasan yang setiap hari diterima oleh kami yang ditahan Israel, mereka yang terluka dan terbunuh, kita juga tahu ada kekuatan luar biasa dari gerakan perlawanan ini: dedikasi, cinta, momen sublimasi dari keputusan untuk mendobrak dinding penjajahan."
Ahed juga menuturkan kepada mereka, "Saya tidak ingin dianggap sebagai korban, dan saya tidak akan memberikan Israel kuasa untuk menentukan siapa saya dan akan menjadi apa saya nanti. Saya memilih untuk memutuskan sendiri bagaimana Anda akan melihat saya. Kami tidak ingin Anda mendukung kami karena beberapa air mata fotogenik. Tapi aku ingin kalian mendukung kami karena perjuangan kami untuk keadilan. Inilah satu-satunya cara agar kita bisa berhenti menangis suatu hari nanti."
Beberapa bulan setelah kejadian di Afrika Selatan, Ahed-ku menantang tentara Israel yang bersenjata dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia sangat marah, karena sebelumnya, Israel menembak saudaranya, Mohammed Tamimi yang baru berusia 15 tahun.
Jadi, siapakah yang dianggap provokator? Ahed kecilku? ataukah militer Israel yang jelas-jelas tak diinginkan di Palestina.
Tidak, Ahed-ku tidak marah seperti anak kecil lalu menampar tentara itu. Dia berdiri di depan mereka karena inilah jalannya dan jalan kami. Karena kebebasan tidak diberikan sebagai amal, dan karena meski harganya mahal, kami siap membayarnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Erick Thohir Umumkan Calon Pelatih Baru Timnas Indonesia
- 4 Daftar Mobil Kecil Toyota Bekas Dikenal Ekonomis dan Bandel buat Harian
- 5 Lipstik Transferproof untuk Kondangan, Tidak Luntur Dipakai Makan dan Minum
- 5 Rekomendasi Sepatu Running Selevel Adidas Adizero Versi Lokal, Lentur dan Kuat Tahan Beban
- 5 Rekomendasi Bedak Tabur untuk Usia 50-an, Bikin Kulit Halus dan Segar
Pilihan
-
Pengungsi Gunung Semeru "Dihantui" Gangguan Kesehatan, Stok Obat Menipis!
-
Menkeu Purbaya Lagi Gacor, Tapi APBN Tekor
-
realme C85 Series Pecahkan Rekor Dunia Berkat Teknologi IP69 Pro: 280 Orang Tenggelamkan Ponsel
-
5 Rekomendasi HP Murah Rp 1 Jutaan RAM 8 GB Terbaik November 2025, Cocok Buat PUBG Mobile
-
Ratusan Hewan Ternak Warga Mati Disapu Awan Panas Gunung Semeru, Dampak Erupsi Makin Meluas
Terkini
-
Terjerat Kasus Korupsi Dinas PUPR, Wakil Ketua dan Anggota DPRD Kabupaten OKU Ditahan KPK
-
PSI Sorot Kinerja Pemprov DKI Atasi Banjir Rob Jakarta: Mulai Pencegahan dari Musim Kemarau
-
Jalani Sidang dengan Tatapan Kosong, Ortu Terdakwa Demo Agustus: Mentalnya Gak Kuat, Tiga Kali Jatuh
-
Pohon Tumbang Lumpuhkan MRT, PSI Desak Pemprov DKI Identifikasi Pohon Lapuk: Tolong Lebih Gercep!
-
Merasa Terbantu Ada Polisi Aktif Jabat di ESDM, Bagaimana Respons Bahlil soal Putusan MK?
-
Terbongkar! Sindikat Pinjol Dompet Selebriti: Teror Korban Pakai Foto Porno, Aset Rp14 Miliar Disita
-
Usut Kasus Korupsi Haji di BPKH, KPK Mengaku Miris: Makanan-Tempat Istirahat Jemaah jadi Bancakan?
-
Jember Kota Cerutu Indonesia: Warisan yang Menembus Pasar Global
-
Dissenting Opinion, Hakim Ketua Sebut Eks Dirut ASDP Ira Puspadewi Harusnya Divonis Lepas
-
Komisi III 'Spill' Revisi UU Polri yang Bakal Dibahas: Akan Atur Perpanjangan Batas Usia Pensiun