Suara.com - Peta kolaboratif dan arahan zonasi yang sedang disusun Pemkab Sleman membagi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi menjadi sembilan zona. Batasan itu diberlakukan dengan kolaborasi empat regulasi yang sudah ada.
Regulasi yang dimaksud antara lain Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Kabupaten Sleman, Peta Area Terdampak Erupsi dan Lahar Dingin Gunung Merapi, dan Peta Kolaboratif Skala Besar Zona Rawan Bencana Erupsi Gunung Merapi. Sekretaris Bappeda Sleman Arif Setio Laksito mengatakan peta ini diharapkan membantu masyarakat khususnya yang tinggal di lereng Gunung Merapi.
“Kita sudah adakan FGD untuk menyepakati batas zona Kawasan Rawan Bencana [KRB] Merapi, dengan membandingkan aturan yang sudah berlaku,” katanya seperti dilansir Harian Jogja, Sabtu (30/12/2017).
Hal yang diperhatikan ialah arahan zonasi terkait pengelolaan yang dilakukan di KRB tersebut. Ia menguraikan jika zona L1 yaitu KRB Alam Geologi dan L2 sebagai KRB Alam Geologi yang terdampak langsung dilarang digunakan sebagai pemukiman. Dua zona itu berada paling atas dan dekat dengan puncak Gunung Merapi.
Sementara, L3 merupakan KRB yang berada pada sempadan sungai. Untuk L4, ujar Arif, merupakan KRB yang terdapat kantung permukiman. Kawasan itu diperbolehkan untuk rumah yang sudah terbangun dan aman pada erupsi Merapi 2010 lalu. Sementara, kegiatan perkantoran diperbolehkan di kawasan budidaya antara lain B3 dan B4, sedangkan kantor pemerintahan setempat di zona lindung terbatas.
Pengaturan itu juga termasuk kegiatan perdagangan dan jasa pada kawasan budidaya B1 dan B2, serta kegiatan peternakan dibatasi pada peternakan existing.
Terkait banyaknya sorotan soal kegiatan wisata, Arif menerangkan jika kegiatan pariwisata dalam kajian ini diarahkan dalam bentuk wisata alam dengan ketentuan bangunan hanya bagi sarana dan prasarana yang sifatnya minimal. Sedangkan untuk wisata budaya, dibatasi hanya dilakukan pada masa-masa tertentu.
Zona lindung diarahkan untuk tempat evakuasi sementara, penyediaan sarana air baku dan kegiatan tidak terbangun. Kegiatan industri dibatasi pada skala home industri yang dilakukan penduduk setempat dengan pemperhatikan kearifan lokal. Dinyatakan pula jika ingin melakukan pengembangan industri dalam skala lebih besar maka masyarakat harus mencari lokasi lain yang tidak masuk dalam deliniasi Peta Kolaboratif.
Baca Juga: Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Harus Berkonsep Ekowisata
Berita Terkait
Terpopuler
- Operasi Zebra 2025 di Sumut Dimulai Besok, Ini Daftar Pelanggaran yang Disasar
- 8 Mobil Bekas Sekelas Alphard dengan Harga Lebih Murah, Pilihan Keluarga Besar
- 5 Mobil Keluarga Bekas Paling Dicari 2025, Murah dengan Performa Mumpuni
- 5 Mobil Sedan Bekas Pajak Murah dan Irit BBM untuk Mahasiswa
- 5 Rekomendasi Smartwatch Selain Apple yang Bisa QRIS MyBCA
Pilihan
-
Aksi Jatuh Bareng: Rupiah dan Mata Uang Asia Kompak Terkoreksi
-
4 HP RAM 12 GB Paling Murah, Pilihan Terbaik untuk Gamer dan Multitasker Berat
-
Perusahaan BUMN dan Badan Negara Lakukan Pemborosan Anggaran Berjamaah, Totalnya Rp43 T
-
RKUHAP Resmi Jadi UU: Ini Daftar Pasal Kontroversial yang Diprotes Publik
-
Permintaan Pertamax Turbo Meningkat, Pertamina Lakukan Impor
Terkini
-
Eks Sekretaris MA Nurhadi Didakwa Lakukan TPPU Rp307,5 Miliar dan USD 50 Ribu
-
Kasatgas KPK Diadukan ke Dewas, Benarkah Bobby Nasution 'Dilindungi' di Kasus Korupsi Jalan Sumut?
-
Mardani Ali Sera Dicopot dari Kursi Ketua PKSAP DPR, Alasannya karena Ini
-
Melihat 'Kampung Zombie' Cililitan Diterjang Banjir, Warga Sudah Tak Asing: Kayak Air Lewat Saja
-
Jakarta Dikepung Banjir: 16 RT Terendam, Pela Mampang Paling Parah Hingga 80 cm
-
Program SMK Go Global Dinilai Bisa Tekan Pengangguran, P2MI: Target 500 Ribu Penempatan
-
21 Tahun Terganjal! Eva Sundari Soroti 'Gangguan' DPR pada Pengesahan RUU PPRT: Aneh!
-
110 Anak Direkrut Teroris Lewat Medsos dan Game, Densus 88 Ungkap Fakta Baru
-
Jejak Hitam Eks Sekretaris MA Nurhadi: Cuci Uang Rp308 M, Beli Vila-Kebun Sawit Atas Nama Orang Lain
-
Jaksa KPK Ungkap Pertarungan Gengsi dengan Penasihat Hukum di Kasus Hasto Kristiyanto