Suara.com - Pasal 495 dalam draf Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP berpotensi mengkriminalkan kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). RKUHP ini kini tengah dibahas Panitia Khusus DPR RI.
Pasal 495 mengatur tentang perbuatan cabul yang dilakukan oleh sesama jenis yang diketahui atau patut diduga belum berusia di atas 18 tahun. Pasal ini dibagi dua ayat, ayat 1 berbunyi setiap orang yang melakukan perbuatan cabul kepada orang lain sesama jenis dibawah 18 tahun akan dipidana penjara paling lama sembilan tahun.
Sedangkan ayat 2 ancaman hukuman pidananya ditambah sepertiga, jika perbuatan cabul sesama jenis terhadap orang yang berumur diatas 18 tahun dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, melanggar kesusilaan di muka umum, dan publikasi mengandung unsur pornografi.
Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nakhei menilai pasal 495 RKUHP tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, dan prinsip hukum ultimum remedium. Menurutnya LGBT merupakan orientasi seksual seseorang yang tidak bisa dihukum, namun yang bisa dihukum adalah tindakan terlarangnya.
"Pertama, pahami apa itu LGBT? harusnya yang dihukum itu prilaku terlarang yang masuk dalam kejahatan, bukan orientasinya. Sebab orientasi itu ada di alam pikir, orientasi seharusnya tidak bisa dihukum," kata Imam dalam sebuah diskusi tentang RKUHP di Kekini Kafe, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis 25 Januari 2018.
Dia mengutarakan, selama ini dalam proses hukum dan peradilan di Indonesia, pembuktian korban dalam kasus seksual baik itu yang dilakukan seorang heteroseksual maupun homoseksual cukup sulit dibuktikan. Apalagi jika pasal 495 RKUHP itu diterapkan, akan menjadi sebuah permasalah yang akan pelik lagi.
"Sistem pembuktian korban dalam kasus seksual baik heteroseksual maupun homoseksual di sini saja sekarang sudah cukup sulit, bagaimana nanti setelah revisi (RKUHP ditetapkan). Kebanyakan di Aceh bahkan saat melapor malah ‘dikuliti’ dan dapat diancam karena dianggap sebagai pelaku berzina," ujar dia.
Oleh sebab itu, lanjut dia, pasal tersebut harus ditolak karena melanggar hak asasi manusia. Sebab, pasal itu ke depannya juga mengancam hak warga untuk berkumpul dan berorganisasi, salah satunya akan menyasar eksistensi kelompok LGBT.
"Siapapun bebas berorganisasi, jangankan orang baik, orang jahat juga bisa berorganisasi. Organisasi itu adalah bagian dari HAM. Menurut saya setan pun kalau mau berorganisasi, itu boleh," terang dia.
Baca Juga: Pasal Zina RUU KUHP Berpotensi Mengkriminalkan Kelompok Perempuan
Dalam forum yang sama, Ratna Batara Munti dari Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) mengatakan pasal 495 tersebut tidak masuk akal. Menurutnya dampak dari kelompok LGBT tidak besar, namun ancaman hukuman pidana terhadap kelompok ini lebih berat ketimbang heteroseksual.
"Yang harus dikriminalkan itu adalah perbuatannya, entah dia heteroseksual atau homoseksual. Misalnya dilakukan terhadap anak, atau di muka umum atau di depan orang yang tidak menghendaki. Dilakukan dengan seseorang yang pingsan dan tidak berdaya," tutur dia.
Dia berpendapat, seseorang seharusnya dapat dilaporkan hanya jika perbuatannya dianggap melanggar hukum. Namun ketika yang diatur adalah kasus homoseksualnya, maka negara mempermasalahkan preferensi seksualnya bukan bentuk kejahatannya.
"Harus nya hanya fokus ke bentuk kejahatannya. Perumusan yang ada pada pasal 495 ini malah membuat korban semakin takut untuk melaporkan, karena takut dianggap melakukan perzinahan," ujar dia.
Menurut Ratna, kasus kekerasan seksual orang dewas sulit pembuktiannya. Bahkan aparat penegak hukum saat menginterogasi cenderung menyurutkan korban.
"Mereka (korban) justru terjerat kasus zina, sehingga boro-boro bisa menuntut bahwa mereka korban perkosaan, tetapi mereka malah jadi tersangka tindakan perzinahan. Pasal ini tidak mencerminkan keadilan bagi hetero maupun homoseksual," kata dia.
Berita Terkait
-
Jaksa Agung: KUHP-KUHAP Baru Akan Ubah Wajah Hukum dari Warisan Kolonial
-
FIFA Cuek Bebek Soal Pride Match, Iran dan Mesir Bakal Boikot Piala Dunia 2026?
-
RUU Penyesuaian Pidana: Korban Perkosaan Kini Dapat Akses Obat Aborsi Tanpa Dipidana
-
Pemerintah Usul Hapus Pidana Minimum Kasus Narkotika, Lapas Bisa 'Tumpah' Lagi?
-
Wamenkum Sampaikan Pesan Mendesak Prabowo Terkait RUU Penyesuaian Pidana di DPR, Simak Penjelasannya
Terpopuler
- 5 Mobil Keluarga Bekas Senyaman Innova, Pas untuk Perjalanan Liburan Panjang
- 7 Rekomendasi Lipstik untuk Usia 40 Tahun ke Atas, Cocok Jadi Hadiah Hari Ibu
- 5 Mobil Kencang, Murah 80 Jutaan dan Anti Limbung, Cocok untuk Satset di Tol
- 4 HP Flagship Turun Harga di Penghujung Tahun 2025, Ada iPhone 16 Pro!
- 5 Moisturizer Murah yang Mencerahkan Wajah untuk Ibu Rumah Tangga
Pilihan
-
Bank Sumsel Babel Dorong CSR Berkelanjutan lewat Pemberdayaan UMKM di Sembawa Color Run 2025
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
Terkini
-
30 Tahun Jadi TPS, Lahan Tiba-tiba Diklaim Pribadi, Warga Pondok Kelapa 'Ngamuk' Robohkan Pagar
-
Baju Basah Demi Sekolah, Curhat Pilu Siswa Nias Seberangi Sungai Deras di Depan Wapres Gibran
-
Mubes NU Tegaskan Konflik Internal Tanpa Campur Pemerintah, Isu Daftarkan SK ke Kemenkum Mencuat
-
Jabotabek Mulai Ditinggalkan, Setengah Juta Kendaraan 'Eksodus' H-5 Natal
-
Mubes Warga NU Keluarkan 9 Rekomendasi: Percepat Muktamar Hingga Kembalikan Tambang ke Negara
-
BNI Bersama BUMN Peduli Hadir Cepat Salurkan Bantuan Nyata bagi Warga Terdampak Bencana di Sumatra
-
Relawan BNI Bergabung dalam Aksi BUMN Peduli, Dukung Pemulihan Warga Terdampak Bencana di Aceh
-
Pakar Tolak Keras Gagasan 'Maut' Bahlil: Koalisi Permanen Lumpuhkan Demokrasi!
-
Gus Yahya Ngaku Sejak Awal Inginkan Islah Sebagai Jalan Keluar Atas Dinamika Organisasi PBNU
-
Rais Aam PBNU Kembali Mangkir, Para Kiai Sepuh Khawatir NU Terancam Pecah