Suara.com - Terdakwa kasus dugaan merintangi penyidikan kasus e-KTP Fredrich Yunadi tak khawatir dengan ancaman Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menilainya tidak kooperatif dalam persidangan. Fredrich mengklaim KPK selalu menggunakan cara-cara seperti itu untuk menjerat terdakwa kasus korupsi.
"Itu lah yang selalu diklaim KPK. Terdakwa di dalam persidangan itu berhak, mengingkari saja boleh. Nah kalau membantah itu kan dilindungi Undang-undang," katanya di Gedung Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (12/4/2018).
Mantan pengacara Setya Novanto tersebut mengatakan yang paling menentukan dirinya bersalah dan layak dihukum berat atau ringan adalah majelis hakim.
"Dalam persidangan ada pemimpin sidang. Itu yang mengatur. Kalau terdakwa dianggap mengancam, mengintimidasi, kan ada pimpinan sidang," jelas Fredrich.
Lebih lanjut Fredrich malah mengklaim penyidik KPK telah menggiring setiap saksi dengan pertanyaan-pertanyaannya. Apalagi, katanya saat pemeriksaan saksi, tidak didampingi oleh pendamping seperti oleh penasihat hukum saat pemeriksaan tersangka.
"Tapi fakta di BAP (berita acara pemeriksaan) itu penyidik banyak justru yang melakukan pertanyaan yang sifatnya menggiring. Siapa yang mendampingi saksi (saat diperiksa). Kan nggak ada," lanjutnya.
Fredrich mengatakan apa yang dituduhkan oleh KPK bahwa dirinya mengnacam saksi tidak lah benar.
"Tapi, kalau terdakwa meneror, mengintimidasi, saya pikir nggak benar, kan ada pimpinan sidang kan. Kalau terdakwa nggak mengakui apa adanya, dianggap nggak koopertaif. Padahal menueut undang-undang, terdakwa boleh mengingkari," tutup Fredrich.
Sebelumnya, KPK melalui juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan Fredrich tidak kooperatif karena kerap meminta majelis hakim untuk menjalani sumpah pocong dan pemeriksaan menggunakam lie detector kepada saksi di persidangan. KPK pun menilai apa yang dilakukan Fredrich tersebut dapat memberatkan hukuman terhadap dirinya.
Berita Terkait
-
KPK: Penyidikan Korupsi Haji Tidak Mengarah ke PBNU
-
Modus Licik Eks Pejabat MA Zarof Ricar Sembunyikan Aset Rp35 Miliar, Ternyata Atas Nama Dua Anaknya
-
KPK Kejar Jejak Uang Korupsi Haji, Giliran Bendahara Asosiasi Travel Diperiksa
-
Korupsi Kuota Haji: KPK Endus Aliran Duit Haram Sampai ke Meja Dirjen, Hilman Latief Dicecar 11 Jam
-
KPK Panggil Nursatyo Argo sebagai Saksi, Korupsi LNG Temui Titik Terang?
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
6 Stadion Paling Angker: Tempat Eksekusi, Sosok Neti hingga Suara Misterius
-
Shell, Vivo Hingga AKR Bungkam Usai 'Dipaksa' Beli BBM dari Pertamina
-
Drama Stok BBM SPBU Swasta Teratasi! Shell, Vivo & BP Sepakat 'Titip' Impor ke Pertamina
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
Terkini
-
Tak Ada Tawar Menawar! Analis Sebut Reformasi Polri Mustahil Tanpa Ganti Kapolri
-
Menjelajahi Jantung Maluku: "Buru Expedition" Wanadri Ungkap Kekayaan Tersembunyi Pulau Buru
-
Polemik Ijazah Gibran Tak Substansial tapi Jadi Gaduh Politik
-
Klarifikasi Ijazah Gibran Penting agar Tidak Ulangi Kasus Jokowi
-
Menkeu Purbaya Ultimatum ke Pengelolaan Program Makan Gratis: Nggak Jalan, Kita Ambil Duitnya!
-
Eks Kapolri Tegaskan Polri di Bawah Presiden: Perspektif Historis dan Konstitusional
-
J Trust Bank Desak Crowde Lebih Kooperatif dan Selesaikan Kewajiban
-
KPK: Penyidikan Korupsi Haji Tidak Mengarah ke PBNU
-
Ancol Rencanakan Reklamasi 65 Hektare, Pastikan Tak Gunakan Dana APBD
-
Dirut PAM Jaya Jamin Investor Tak Bisa Paksa Naikkan Tarif Air Pasca-IPO