Suara.com - Di tengah upaya pencegahan pandemi virus corona, majelis hakim dituntut untuk lebih banyak menggunakan opsi alternatif pemidanaan non-pemenjaraan. Upaya ini dapat membantu mengurangi jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di dalam Rutan dan Lapas yang sudah mengalami overcrowding dan mencegah terjadinya potensi penularan virus corona di dalam penjara.
Dalam melaksanakan pencegahan penularan virus corona, seluruh masyarakat diminta untuk berpartisipasi. Upaya physical distancing banyak dilakukan untuk mencegah penularan yang lebih besar. Namun sayangnya, di tengah setting Rutan/Lapas sebagai tempat berkumpul napi ditambah dengan kondisi overcrowding di Indonesia, hal ini tidak mungkin dilakukan oleh warga binaan.
"Kerentanan Rutan/Lapas sebagai tempat penularan penyakit akibat virus harus ditanggapi dengan komprehensif oleh seluruh elemen dalam sistem peradilan pidana, tidak terkecuali hakim," kata Erasmus A.T. Napitupulu, Direktur Eksekutid ICJR dalam keterangan pers yang diterima Suara.com, Senin (30/3/2020).
Mahkamah Agung melalui SEMA Noomor 1 Tahun 2020 menyampaikan bahwa persidangan perkara pidana yang terdakwanya sedang ditahan dan penahanannya tidak dapat diperpanjang lagi selama masa pencegahan penyebaran Covid-19 tetap dilaksanakan. Kemudian pada 27 Maret 2020, Mahkamah Agung mulai memerintahkan pelaksanaan persidangan dengan teleconference. Dengan demikian, maka persidangan perkara pidana masih akan terselenggara, termasuk sidang dengan agenda putusan.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) menyampaikan bahwa upaya yang dilakukan peradilan saat ini harus mendukung pencegahan Covid-19.
Terkait dengan pemidanaan, hakim harus berusaha memproduksi putusan yang sejalan dengan pencegahan virus corona.
"Untuk mendukung hal itu telah banyak peluang dalam sistem peradilan pidana saat ini, salah satunya adalah alternatif pemidanaan non-pemenjaraan yang harus dimaksimalkan oleh hakim," ujar dia.
Erasmus menuturkan, kondisi overcrowding dan penyebaran virus corona menyebabkan Rutan/Lapas bukan lagi menjadi tempat yang aman untuk pelaksanaan pemidanaan. WHO telah menyerukan untuk mengurangi orang dalam tahanan untuk mencegah penyebaran masif terjadi.
Oleh karena itu, hakim harus memaksimalkan penggunaan pidana bersyarat dengan masa percobaan yang diatur dalam Pasal 14a KUHP, untuk tindak pidana tanpa korban dan tindak pidana tanpa kekerasan misalnya terkait dengan tindak pidana politik. Hakim harus mengupayakan pemidanaan dengan Pasal 14a KUHP. Terpidana akan menjadi klien dalam pengawasan Balai Pemasyarakatan.
Baca Juga: Sindiran Pedas Deddy Corbuzier ke Pemerintah Indonesia Terkait Corona
"Pidana bersyarat juga dapat diberlakukan bagi pengguna narkotika coba-coba atau yang tidak butuh perawatan medis," jelasnya.
Selain itu, memaksimalkan pengguna pasal pidana bersyarat dengan masa percobaan dengan menyertakan syarat khusus dalam Pasal 14c KUHP untuk tindak pidana dengan korban, kekerasan ringan ataupun tindak pidana dengan kerugian ekonomi. Hakim harus mengupayakan adanya syarat khusus berupa ganti kerugian atau kewajiban lain yang terkait dengan kompensasi kerugian korban sebagai syarat khusus. Nantinya terpidana akan berada di bawah pengawasan Balai Pemasyarakatan untuk diawasi pemenuhan syarat umum dan syarat khusus atas putusannya.
Namun, harus tetap diperhatikan syarat khusus yang diberlakukan dengan memperhatikan kepentingan korban dan pelaku.
Cegah Pemenjaraan Bagi Pengguna Narkoba
Untuk tindak pidana narkotika, sebagai perkara yang paling banyak diadili di Pengadilan Negeri, hakim bisa memperbaiki jalannya kebijakan narkotika yang saat ini kurang tepat dengan mengedepankan prinsip keadilan restoratif (restorative justice). Hakim harus mencegah pemenjaraan bagi pengguna narkotika, termasuk penguasaan dan kepemilikan untuk kepentingan pribadi.
Menurut ICJR hakim juga harus mencegah adanya penahanan bagi pengguna narkotika. Sekalipun telah ditahan hakim tetap harus mengupayakan adanya assessment atas kebutuhan rehabilitasi bagi pengguna narkotika. Hal ini sesuai dengan SEMA 4 Tahun 2010 jo. SEMA 3 Tahun 2011 bahwa hakim atas penilaiannya dibantu dengan surat keterangan dokter dan laboratorium dapat memutus dengan rehabilitasi, meski dalam proses penyidikan belum dilaksanakan proses assessment oleh Tim Asesmen Terpadu (TAT).
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Motor Matic Paling Nyaman Buat Touring di 2026: Badan Anti Pegal, Pas Buat Bapak-bapak
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Sambut HUT ke-130 BRI: Nikmati Promo Hemat Hingga Rp1,3 Juta untuk Upgrade Gaya dan Hobi Cerdas Anda
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- 3 Pilihan Mobil Bekas Rp60 Jutaan: Irit BBM, Nyaman untuk Perjalanan Luar Kota
Pilihan
-
Dampingi Presiden, Bahlil Ungkap BBM hingga Listrik di Sumbar Tertangani Pasca-Bencana
-
UPDATE Klasemen SEA Games 2025: Indonesia Selangkah Lagi Kunci Runner-up
-
6 Mobil Bekas Paling Cocok untuk Wanita: Lincah, Irit, dan Punya Bagasi Cukup
-
OJK Awasi Ketat Pembayaran Pinjol Dana Syariah Indonesia yang Gagal Bayar
-
Jejak Emas Rakyat Aceh Bagi RI: Patungan Beli Pesawat, Penghasil Devisa & Lahirnya Garuda Indonesia
Terkini
-
Mendagri Tito Jelaskan Duduk Perkara Pemkot Medan Kembalikan Bantuan Beras 30 Ton ke UAE
-
Minggu Besok, Pesantren Lirboyo Undang Seluruh Unsur NU Bahas Konflik Internal PBNU
-
Kementerian PU Tandatangani Kontrak Pekerjaan Pembangunan Gedung SPPG di 152 Lokasi
-
Eks Mensos Tekankan Pentingnya Kearifan Lokal Hadapi Bencana, Belajar dari Simeulue hingga Sumbar
-
Terjebak Kobaran Api, Lima Orang Tewas dalam Kebakaran Rumah di Penjaringan
-
SPPG, Infrastruktur Baru yang Menghubungkan Negara dengan Kehidupan Sehari-Hari Anak Indonesia
-
Jaksa Kejati Banten Terjaring OTT KPK, Diduga Peras WNA Korea Selatan Rp 2,4 Miliar
-
6 Fakta Wali Kota Medan Kembalikan 30 Ton Beras Bantuan UEA, Nomor 6 Jadi Alasan Utama
-
Cas Mobil Listrik Berujung Maut, 5 Nyawa Melayang dalam Kebakaran di Teluk Gong
-
Warga Aceh Kibarkan Bendera Putih, Mendagri Tito Minta Maaf