Suara.com - Fahri Hamzah menyoroti kepemimpinan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD setelah peristiwa 8 Oktober 2020 di Jakarta dan sejumlah daerah pasca pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja.
"Saya pernah satu komisi dengan prof Mahfud di DPR satu periode. Saya kenal pribadi. Saya tahu beliau bisa diandalkan. Tapi mungkin ada hal yang beliau belum bisa hadapi, karena kuatnya feodalisme di sekitar istana. Inilah PR kita bersama kita harus doakan dan dukung beliau," kata wakil ketua umum Partai Gelora Indonesia.
Menurut Fahri tugas terbesar Mahfud sekarang adalah mengembalikan konstitusi sebagai jiwa kerja lembaga negara, khususnya lembaga-lembaga yang berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Fahri menilai lembaga-lembaga di bawah koordinasi Mahfud tidak memahami cara kerja dalam negara berdemokrasi.
"Nampak sekali bahwa lembaga-lembaga ini memerlukan arah baru yang membuatnya nampak lebih berjiwa Pancasila dan UUD 1945," kata Fahri.
Fahri meminta penangkapan terhadap anggota masyarakat oleh aparat karena menganggap mereka menyebarkan berita tidak benar, disudahi. Menurut Fahri, seharusnya informasi yang beredar dan dianggap tidak benar mestinya direspons dengan informasi yang lebih jelas.
"Pak Mahfud yang terhormat, mohon hentikan penangkapan rakyat hanya karena posting berita yang dianggap tidak benar. Bukankah pejabat negara punya podium dan digaji untuk membuat klarifikasi? Klarifikasilah ini. Menteri teknis harus berdiri siang malam di podiumnya. Bicaralah," kata Fahri.
"Sekeruh apapun situasi kita jika negara sebagai sumber mata air tetap jernih maka kejernihan akan jadi kenyataan. Tapi situasi akan makin keruh jika pemerintah sebagai mata air jua menjadi keruh. Menangkap orang adalah bikin keruh, tapi klarifikasi yang jujur bikin jernih."
Sebelumnya, Fahri Hamzah -- mantan wakil ketua DPR -- juga mengkritik respon Mahfud terhadap demonstrasi yang diwarnai dengan tindakan anarkis. Fahri menekankan demonstrasi berbagai elemen masyarakat dipicu oleh sikap pemerintah dan DPR yang disebutnya "abai dialektika."
Baca Juga: Enam Pengunjuk Rasa UU Cipta Kerja di Makassar Jadi Tersangka
"Pagi Pak Mahfud yang terhormat, amarah itu tidak rasional, tapi sebab lahirnya amarah sangat rasional. Memang pemerintah harus tegas, tapi yang lebih penting adalah introspeksi. UU Ciptaker ini lahir dengan proses aspirasi yang minim. Pemerintah dan DPR abai dialektika," kata Fahri yang dikutip Suara.com dari media sosial pada Jumat (9/10/2020).
Munculnya gelombang protes dari masyarakat terhadap UU Cipta Kerja, menurut Fahri, seharusnya ditanggapi dengan cara mencari tahu mengenai apakah ada sistem yang salah.
"Sambil membersihkan puing-puing akibat kerusuhan ini. Ada baiknya bapak mengajak Presiden, kabinet dan DPR memikirkan kembali kebuntuan sistem aspirasi dalam negara. Sungguh, rugilah jika kita tidak mau mengambil pelajaran besar dari 2 RUU terakhir; #RUUHIP dan #RUUOmnibusLaw," katanya.
"Kita pernah bersama-sama di DPR Pak Mahfud. Pasti bapak tahu maksud saya. Sistem perwakilan kita yang dikendalikan oleh partai politik itu tidak sehat. Aspirasi terlalu banyak dicampuri oleh pesanan. Dialog langsung antara rakyat dan wakilnya terhambat. Inilah akar kebuntuan," Fahri menambahkan.
Pemerintah menyayangkan demonstrasi menolak UU Cipta Kerja, Kamis (8/10/2020), diwarnai aksi anarkis dengan merusak fasilitas umum dan melukai petugas.
"Tindakan itu jelas merupakan kriminal dan tidak dapat ditolerir dan harus dihentikan," kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam konferensi pers secara virtual, pada Kamis malam.
Berita Terkait
-
Mahfud MD: Utang Whoosh Wajib Dibayar, tapi Korupsi Harus Tetap Diusut KPK
-
Mahfud MD Soroti Reformasi Polri, Sebut Polri Sedang Jadi Perhatian Publik!
-
Mahfud MD Bantah Dirinya Pernah Sebut Ijazah Jokowi Asli: Itu Pelintiran dan Bohong
-
Roy Suryo Jadi Tersangka, Mahfud MD: Tuduhan Tidak Jelas, Pembuktian Ijazah Harusnya di Pengadilan
-
Mahfud MD Soal Roy Suryo Cs Jadi Tersangka: Hukum Bisa Kacau Jika Ijazah Jokowi Tak Diadili Dulu
Terpopuler
- Erick Thohir Umumkan Calon Pelatih Baru Timnas Indonesia
- 4 Daftar Mobil Kecil Toyota Bekas Dikenal Ekonomis dan Bandel buat Harian
- Bobibos Bikin Geger, Kapan Dijual dan Berapa Harga per Liter? Ini Jawabannya
- 6 Rekomendasi Cushion Lokal yang Awet untuk Pekerja Kantoran, Makeup Anti Luntur!
- 5 Lipstik Transferproof untuk Kondangan, Tidak Luntur Dipakai Makan dan Minum
Pilihan
-
Pakai Bahasa Pesantren! BP BUMN Sindir Perusahaan Pelat Merah Rugi Terus: La Yamutu Wala Yahya
-
Curacao dan 10 Negara Terkecil yang Lolos ke Piala Dunia, Indonesia Jauh Tertinggal
-
Danantara Soroti Timpangnya Setoran Dividen BUMN, Banyak yang Sakit dan Rugi
-
Mengapa Pertamina Beres-beres Anak Usaha? Tak Urus Lagi Bisnis Rumah Sakit Hingga Hotel
-
Pandu Sjahrir Blak-blakan: Danantara Tak Bisa Jauh dari Politik!
Terkini
-
BPJS Kesehatan Angkat Duta Muda: Perkuat Literasi JKN di Kalangan Generasi Penerus
-
Kondisi Gunung Semeru Meningkat ke Level Awas, 300 Warga Dievakuasi
-
Soal Pelimpahan Kasus Petral: Kejagung Belum Ungkap Alasan, KPK Bantah Isu Tukar Guling Perkara
-
Semeru Status Awas! Jalur Krusial Malang-Lumajang Ditutup Total, Polisi Siapkan Rute Alternatif
-
Babak Baru Korupsi Petral: Kejagung Resmi Limpahkan Kasus ke Tangan KPK, Ada Apa?
-
DPR-Kemdiktisaintek Kolaborasi Ciptakan Kampus Aman, Beradab dan Bebas Kekerasan di Sulteng
-
Fakta Baru Sengketa Tambang Nikel: Hutan Perawan Dibabat, IUP Ternyata Tak Berdempetan
-
Survei RPI Sebut Tingkat Kepuasan Publik Terhadap Polri Tinggi, Ini Penjelasannya
-
Momen Roy Suryo Walk Out dari Audiensi Reformasi Polri, Sentil Otto Hasibuan: Harusnya Tahu Diri
-
Deteksi Dini Bahaya Tersembunyi, Cek Kesehatan Gratis Tekan Ledakan Kasus Gagal Ginjal